MENCARI JAWABAN *


Berada dalam kebuntuan, sungguh menyedihkan. Tak bisa lagi berbuat, untuk sesuatu yang berarti. Enggan rasanya memelihara asa, yang kian padam. Harapan-harapan palsu itu, telah memasung semangat. Kemanakah semua arti itu? Sudahkah makna itu, terjawab? Ah..sedemikian memuncah saja tak karuan. Apa gunanya terus mengutuk keadaan ini, bila mereka sudah tak peduli lagi.

Aku menyaksikan, penguasa suka memberi nasehat, tapi tidak punya keteladanan. Ada yang berceramah, tapi ditinggalkan. Ada yang pintar, tapi bobrok. Kejujuran hanya pemanis bibir. Kerusakan moral jadi tontonan. Kepalsuan menjadi identitas. Predikat menjadi Dewa. Status sosial, menjadi harga diri. Agama diperdebatkan dalam ruang hampa. Keadilan, hanya menjadi cita-cita. Kebohongan disamarkan dengan bahasa intelek. Orang miskin digadai. Uang menjadi berhala. Politik dan kekuasaan menyingkirkan persaudaraan. Orang-orang dungu memberikan pengajaran. Orang baik di asingkan. Para penipu, dipuja sedemikian rupa. Hukum tak ubahnya seperti pasar. Pendidikan dinilai dari angka-angka.


Kemana harus mencari jawaban? Rasanya kemuakan ini berakhir tragis dalam perang  jiwaku. Aku tertegun, dan mencoba termangu dengan keadaan seperti ini. Haruskah, segala idealisme bisu ini bergerilya mencari pembuktian. Interpretasi, konteks, sudut pandang, argumentasi, tinggal menjadi pajangan dalam perdebatan akal-ku sendiri. Setiap menempuh dahagaku ini, hampir selalu saja aku melihat mata air, yang tercemar oleh ambisi. Keserakahan sudah sedemikian akut merajang dan menusuk sukmaku. Aku seakan terhenti pada titik nadir yang berkepanjangan. Setiap aku mencoba berlari, langkah kakiku terikat oleh masa lalu. Mencoba bertarung dengan pedang waktu, namun lupa aku mengasahnya. Sekarang aku hanya bisa terbaring dan terkapar, tak berdaya dibuai angin kepalsuan yang menyesaki dada-ku.

Heran..aku sungguh heran. Bunglon, seakan sudah menjadi watak identitas. Setiap perubahan yang terjadi hanya menipu keadaan. Tapi tidak merubah apapun selain kepalsuan. Saat bicara, mulut-nya berbau kebohongan kalau bukan penipuan. Kalau menangis, tangisannya hanyalah klise agar dianggap “ber-iman”. Saat bersikap, gerakan tubuhnya dibuat setangguh mungkin. Semakin intelek, tapi justru bertambah tolol. Edan...aku hidup di zaman canggih dalam kepalsuan.


Pencarian ini hanya menyiksa. Hanya sia-sia. Aku mendaku...terus mendaku. Bagaimana mungkin ada sebuah jawaban dari persoalan yang tidak jelas.

*) Oleh: Muhammad Syahudin (Penggiat dan Peminat Literasi Sureq Institute)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog