Mullâ Shadrâ, Kiprahnya dalam Dunia Filsafat


Biografi
Namanya adalah Shadr Al-Dîn Al-Syirâzî yang terkenal dengan sebutan nama Mullâ Shadrâ, Mullâ Shadrâ dilahirkan di Syiraz pada 1572, lalu pindah ke Isfahan, yakni sebuah kota pusat studi di wilayah Persia yang penting pada masa itu. Di Isfahan, Mullâ Shadrâ berguru kepada dua filosof yang terkenal sebelumnya, yaitu Mîr Dâmad dan Mîr Abû Al-Qâsim Findereski (w. 1640), lalu ia kembali lagi kekota kelahirannya untuk menjadi dosen pada sebuah perguruan tinggi di sana. Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Bashrah sekembalinya dari ibadah haji yang ketujuh pada tahun 1641.


Pondasi bangunan teori filsafat Mulla Shadra berasal dari empat hal:
Yang pertama, Ishalatul Wujud, yang menjelaskan bahwa dalam benak akal kita, suatu benda terbagi menjadi dua, yaitu esensi dan ketiadaan.
Kedua, Gradasi Wujud, yang menjelaskan bahwa apa yang kita lihat adalah banyak dari wujud. Baik persamaannya maupun perbedaannya kembali pada wujud. Hubungannya atas yang lain adalah kausalitas. Hakikat wujud pada tingkat atas juga dimiliki oleh tingkatan bawahnya, hanya saja kualitasnya berbeda.
Ketiga, adalah Gerak Substansi, atau sebuah perubahan yang berasal dari susunan titik-titik.
Keempat, Penyatuan antara yang mengetahui dengan yang diketahui, yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa segala sesuatu yang kita ketahui menjadi bagian dari diri kita.
Dewasa ini, dikarenakan begitu kayanya teori-teori yang dihasilkan oleh beliau, maka muncul para penafsir-penafsir filsafat Mulla Shadra yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang beraneka ragam. Seperti contoh Allamah Mulla Hadi Sabzavari, yang menafsirkan karya Mulla Shadra dalam bentuk syair, contohnya: “Wujûd mafhûmah adzhar wa haqîqatuh ahfâ” (“Wujud konsepnya jelas, akan tetapi hakikatnya tersembunyi”). Kemudian Ayatullah Jawadi Amuli, yang menafsirkan karya Mulla Shadra lebih cenderung kepada bahasan aspek sufistiknya. Diteruskan oleh Ayatullah Fayyazi, yang menafsirkan karya Mulla Shadra lebih banyak cenderung kepada bahasan ilmu kalam. Lalu berlanjut kepada Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi, seorang filosof aliran neo-peripatetik yang menafsirkan karya Mulla Shadra lebih banyak pada pembahasan peripatetiknya.
Alhasil, banyak sekali karya-karya filsafat hasil sumbangan Mulla Shadra. ulasannya atas karya Suhrawardi, Hikmah Al-IsyraqAl-AbhariAl-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Al-Syifa’-nya Ibn Sina bersanding dengan risalah-risalahnya tentang awal penciptaan dan hari akhir. Namun karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya’ir(keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (menghancurkan arca-arca paganism) dan “Hikmah Transendental”, yang lebih dikenal sebagai “empat pengembaraan” (Al-Asfar Al-Arba’ah).
Bahasan Al-Asfâr Al-Arba’ah (Imamah)
Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar Al-Arba’ah, Mulla Shadra menyesalkan sikap keberpalingan masyarakat muslim dari filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi. Dia menyuarakan keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat dan agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, karena orang-orang Yunani semula menjadi penyembah bintang akan tetaapi dalam perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim. Lalu para Sufi, dan akhirnya para filosof pada umumnya (khususnya filosof muslim).
Dalam konteks ini Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai dari Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Kategori kedua dimulai dari Phytagoras yang menerima filsafat dari Sulaiman dan rahib Mesir, seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di antara “tiang-tiang filsafat” Mulla Shadra banyak menyebutkan nama Empedocles, Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Mulla Shadra seperti kebanyakan filosof muslim lainnya sama sekali bersikap diam. Semua “tiang filsafat” Yunani yang disebutkan di atas menurut Mulla Shadra menerima cahaya hikmah dari mercusuar kenabian. Oleh karena itu, banyak dari teori-teorinya bersesuaian dengan para nabi. Yakni menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan eskatologi.
Selain itu Mulla Shadra juga berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah dunia berakhir pada wafatnya Nabi Muhammad saww. Tahapan selanjutnya adalah imamah yang terdiri dari dua belas imam syi’ah. Mulla Shadra menyatakan bahwa tahapan imamah sebenarnya telah dimulai sejak Nabi Syits, yang kedudukannya terhadap Adam sama dengan kedudukan Ali terhadap Nabi Muhammad saw, yaitu sebagai pengganti dan penerus. Mulla Shadra menemukan dasar filosofi dn mistis bagi pandangan ini dari konsep Ibn ‘Arabi tentang kebenaran profetik atau logos Tuhan dengan Nabi Muhammad saw merupakan manifestasi terakhir dan puncaknya.
Seperti halnya Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra juga meyakini bahwa kebenaran ini memiliki dua aspek, yakni aspek lahir dan aspek batin. Dan karena Muhammad saww sendiri merupakan manifestasi dari kebenaran kenabian, maka ‘Ali imam pertama dan penerus kenabian merupakan seluruh manifestasi penerus kebenaran. Ketika Al-Mahdi atau imam yang dinanti muncul pada akhir zaman, maka keseluruhan makna wahyu akan terurai secara utuh, dan manusia akan kembali pada keyakinan monotheis murni yang digalakkan Ibrahim dan trerakhir yang diperteguh oleh Muhammad saww.
Bahasan Al-Asfâr Al-Arba’ah (Eksistensi dan Esensi)
Bagian pertama Mulla Shadra membahasa persoalan-persoalan metafisikyang juga dibahasa oleh Ibn Sina. Langkah awalnya adalah menganalisis atas tesisi Ibn Sina bahwa eksistensi tidak mempunyai differntia atau spesies, dan karenanya tidak bias didefinisikan. Perbedaan eksistensi dan esensi hanya secara konseptual. Atas statement ini Mulla Shadra berkesimpulan bahwa obyek ciptaan Tuhan bukanlah esensi seperti yang telah dikemukakan Suhrawardi dan Al-Dawwani, akan tetapi eksistensi yang bias dinisbahkan kepada esensi. Maka konsekuensinya esensi adalah bentuk turunan dari eksistensi. Jika tidak bias dikatakan secara inhern, setidaknya hal itu terjadi melalui hubungan esensi dengan tindakan Tuhan menciptakan alam. Dengan demikian Mullâ Shadrâ memandang realitas easensi sepadan dengan entitas entitas tunak dalam konsep Ibn ‘Arabî yang merupakan bentuk universal bagi penciptaan alam semesta.
Dualisme esensi dan eksistensi merupakan sifat entitas-entitas ciptaan yang sama sekali tidak terdapat pada zatwâjib al-wujûd. Zat mulia ini member bentuk spesifik eksistensi pada semua entitas ciptaan melalui radiasi atau iluminasi (isyrâq). Wâjib al-wujûd ini bersinonim dengan cahaya di atas cahaya, dank arena itu bisa digambarkan sebagai sumber bagi entita-entitas materi yang sedikit banyak bercahaya dan menyerupai wâjib al-wujûd. Akan tetapi yang membuat entita-entitas materi ini berbeda dengan Tuhan adalah watak gelapnya itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi berbeda dengan cahaya di atas cahaya. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara alam akal atau yang sering dijuluki oleh para sufi sebagai alam perintah dan alam materi atau alam ciptaan.
Bahasan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah
Hakikat filsafat dinamai oleh para pemikir muslim sebagai Al-Hikmah, akan tetapi mereka berbeda-beda dalam menafisirkan maksud dari kata Al-Hikmah itu sendiri.
Ibn Sînâ, dalam suatu karyanya mendifinisikan Al-Hikmah sebagai “kesempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi terhadap berbagai persoalan dan pembenaran terhadap realitarealitas teoritis maupun praktis sesuai dengan kemampuan manusia.”
Kelompok pemikir seperti Ikhwân Al-Shafâ, juga tak ketinggalan dalam memberikan maksud dari filsafat atau Al-Hikmah, mereka menyatakan bahwa,“awal filsafat adalah kecintaan terhadap berbagai ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas segala yang ada sesuai dengan kemampuan manusia, dan akhirnya adalah kata-kata dan tindakan yang sesuai dengan pengetahuan tersebut.”
Syekh Al-Isyrâq Suhrawardî Maqtûl, mengatakan bahwa filsafat adalah sebagai dimensi esoteric/pemahaman wahyu dalam agama dan praktek agama, yang dalam Islam dikaitkan dalam tasawuf.
Berbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah filsafat atau Al-Hikmah menemukan konsep puncaknya melalui sintesis yang dilakukan oleh Mullâ Shadrâ yang dinamakan dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah. Pada Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Shadra tidak saja ditemukan suatu sintesis dari berbagai aliran pemikiran Islam terdahulu, tetapi juga suatu sintesis dari berbagai pandangan terdahulu seputar makna dari istilah dan konsep filsafat.Penyebutan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan pertama kali oleh salah seorang murid dan sekaligus menantunya yang bernama ‘Abd Al-Razzâq Lahiji (w. 1072 H/1661 M).
Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al-Hikmah Al-Muta’aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau falsafah. Menurutnya, kedua istilah tersebut adalah identik, dan ketika ia berbicara tentang hikmah atau falsafah dalam perspektifnya sendiri, maka yang dimaksudkan tidak lain adalah Al-Hikmah Al-Muta’aliyah. Setelah melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla Shadra mendefinisikan falsafah sebagai:
“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangunkan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar sangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”
Sedangkan tentang sumber-sumber dari Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sudah barang pasti bahwa Al-Qur’ân dan dan juga hadîts baik dari Syi’ah melalui Abû Ja’far Al-Kulaynî dan Muhammad ibn Ja’far Bâbawaih Al-Qummî/Syekh Ash-Shadûq, maupun dari Sunni melalui jalur Ibn Abbâs, yang kesemuanya itu merupakan esoterik dari ayat-ayat Al-Qur’ân. Selain itu sebagai suatu teori yang dilahirkan dari lingkungan Syi’ah, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah juga bersumber kepada ucapan-ucapan para A’immah.
Selain sumber-sumber fundamental di atas, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah menggunakan sumber-sumber yang bersifat historis seperti Kalâm yang berasal dari kalam Asy’âriyah, Syi’ah maupun Mu’tazilah.
Al-Hikmah Al-Muta’aliyah berdiri tegak dengan menggunakan tiga topangan utama, yaitu intuisi intelektual/kasyf/dzauq/isyraq, penalaran dan pembuktian rasional//‘aql/burhân/istidlâl dan agama serta wahyu.
Seperti yang banyak kita ketahui bahwa filsafat hanya menekankan pada peran ‘aql, sedangkan peran qalb sangat minim. Akan tetapi ini tidak terjadi pada Hikmah Muta’aliyah. Ayatullah Jawadi Amuli, berpendapat tentang Hikmah Muta’aliyah, bahwa Mulla Shadra dalam teori filsafatnya, beliau menempatkan qalb dan ‘aql dalam tatanan yang sejajar, dan hal ini tertulis dalam Hikmah Muta’aliyah. Yang menjelaskan bahwa seorang Hâkim Muta’alîh dapat berpijak Al-Qur’ân yang dijadikan pijakan bagi para mufassir, berpijak pada disiplin ilmu filsafat yang menjadi pijakan filosof, dan juga berpijak pada irfan yang menjadi pijakan oleh para ‘Arifîn atas segala pandangannya. Oleh karena itu menurut Ayatullah Jawadi Amuli, seorang Hâkim Muta,alîh tidak boleh berhenti hanya pada mukasyafah, tetapi harus bisa menjelaskan hal tersebut dengan metodologi Burhân yang didapat.
Mullâ Shadrâ meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah kasyf, yang ditopang oleh wahyu dan tidak bertentangan dengan burhân. Menurutnya hakikat pengetahuan seperti itu tidak bisa diperoleh kecuali melalui pengajaran langsung dari Tuhan, dan tidak akan terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian yang jauh dari segala hawa nafsu, acuh terhadap kemegahan duniawi dan menjalani proses penyucian kalbu.
Akan tetapi dia menegaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh pada tingkat kewalian sekalipun tuidak bisa diterima jika mustahil menurut akal. Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa akal terhadap pengetahuan yang sejati dan al-burhân merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena posisnya yang saling bergantung.
Referensi
Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. Mizan. Bandung. 2001
Murtadha Muthahhari. Pengantar Pemikiran Shadra. Mizan. Bandung. 2002
Dr. Syaifan Nur. Mulla Shadra “Pendiri Mazhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah. Mizan. Bandung. 2003


http://ridhoyahya89.blogspot.com/2009/07/mulla-shadra-kiprahnya-dalam-dunia.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog