60 HARI DI HOTEL PRODEO


Oleh: Muhammad Syahudin

Saat menata buku-buku bacaan, dan arsip dilemari buku. Secarik potongan koran, tiba-tiba menarik perhatianku. Sebuah berita di koran Palopo pos, dipenghujung tahun 2000. Tepatnya, pada hari selasa tanggal 19/12/2000. Diberitakan secara dramatis bahwa situasi Palopo masih mencekam pasca tragedi bentrokan, antara Polisi dengan massa FPM (Forum Peduli Moral). Disitu, diceritakan peristiwa bentrok yang berujung diciduknya beberapa aktivis mahasiswa dan masyarakat oleh aparat keamanan. salahsatu nama yang tak asing, tertulis dikoran itu. Iya...betul, itu nama saya sendiri. Lalu, kunyalakan laptop kemudian mulai menulis rangkain peristiwa tersebut.

Malam selasa (18/12/2000), sebelum peristiwa bentrok. Sebuah pesan berantai, sampai ketelinga saya tentang rencana aksi demonstrasi di DPRD kota palopo. Dari tempat kos di Balandai, dengan mengayuh sepeda Mustang, saya mencoba mengkonfirmasi aksi tersebut di sekretariat HMI. “Betul ada aksi demonstrasi”, kata seorang senior sepulang shalat tarwih. Pada saat itu, memang lagi bulan puasa Ramadhan. Penggagas gerakan saat itu adalah Alm. Ust. Zaenal Abidin, seorang aktivis LSM, juga seorang alumni HMI.

Latar belakang aksi, dipicu oleh maraknya patologi sosial yang terjadi di kota Palopo, meskipun di bulan puasa kegiatan patologis tetap menggeliat. Adapun, praktek patologi yang dimaksud, adalah Prostitusi, Judi, Kupon putih dan Miras. Untuk merespon kondisi yang terjadi, dibentuklah Forum Peduli Moral (FPM), yang merupakan koalisi lembaga Mahasiswa dan masyarakat. Dengan didukung oleh lembaga Eksekutif, aparat keamanan dan lembaga keagamaan di kota Palopo, FPM percaya diri menganggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mencegah praktek patologi di bulan puasa. Sayapun, beberapa kali ikut menyisir beberapa wisma dan THM, yang diduga melakukan praktek prostitusi dan toko yang menjadi bandar judi kupon putih.

Aksi yang terjadi di DPRD, dipicu oleh sebuah informasi dari sumber yang dipercaya, bahwa bandar judi kupon putih, dibebaskan dari tahanan Polres palopo dengan membayar uang jaminan 1,5 juta Rupiah.  Informasi tersebut memicu kekecewaan para aktivis FPM. Saya yang pernah menukangi aksi, juga kehilangan kontrol akan perlunya manajemen aksi. Dengan berbekal informasi, langsung berkumpul di DPR kota palopo.

Selasa (19/12/2000), selepas makan sahur dan shalat subuh, sejenak saya berbaring untuk menghilangkan kantuk, baru terbangun sekitar pukul 08.30 wita. Saat terbangun, saya melihat beberapa teman di HMI masih tertidur. Sayapun beranjak mandi, lalu berangkat dengan mengayuh sepeda ke DPRD, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekretariat HMI di jalan anggrek. Sekitar pukul 09.30 wita, Saat tiba di kantor DPRD, saya menyaksikan massa sudah berkumpul dengan atribut dan bendera masing-masing. Tuntutan aksi adalah meminta klarifikasi dari Kapolres, perihal informasi dilepasnya bandar judi dari tahanan Polres.

Beberapa senior dan rekan aktivis, silih berganti membakar semangat massa melalui mikrofon. Suara-suara lantang dan agitatif, memompa semangat para demonstran tentang perjuangan suci di bulan ramadhan. Menjelang shalat dhuhur, Kapolres belum juga datang, informasi yang kami terima saat itu bahwa Kapolres sedang berada di luar daerah. Kecewa dengan informasi tersebut, orasi-orasi yang berkumandang semakin lantang saja. Puncaknya, selepas shalat dhuhur berjamaah di depan pelataran kantor DPRD, seorang aktivis yang namanya juga Zaenal Abidin, membawa massa larut dengan orasinya yang revolusioner. Entah siapa yang memulai komando, massa tiba-tiba sepakat langsung bergerak menuju tempat yang diduga pusat kupon putih dan prostitusi. Toko “L” yang terletak di depan pasar subuh, di jalan andi djemma dan hotel “J” di jalan diponegoro adalah targetnya.

Sekitar pukul 13.00 wita, massa bergerak menuju sasaran aksi. Saya yang ke kantor DPRD mengendarai sepeda, menyempatkan diri kembali ke sekretariat HMI untuk menyimpan sepeda. ada keraguan dalam benak untuk turut bergabung kembali dalam aksi, akibat menahan rasa lapar dan dahaga karena puasa. Namun, naluri perjuangan memaksa saya akhirnya memilih kembali bergabung dengan massa. Kerumunan massa aksi, bergerak dari kantor DPRD, mengitari jalan Jendral sudirman, berjalan gegap gempita disiang hari sambil menahan lapar dan dahaga. Sayup-sayup, terdengar orasi memekakkan dada, memicu adrenalin, bercampur dengan peluh dan keringat, terus bersahutan mendongkrak semangat dan amarah massa. Sebuah pengadilan rakyat akan terjadi, begitulah yang terlintas dalam benak saya.

Dengan setengah berlari, sayapun menyusul massa yang sudah bergerak cukup menjauh. Setibanya, di depan pasar subuh. Sayup-sayup terdengar suara dari microfon, seruan untuk tidak berbuat anarkis. Tapi, tampaknya seruan itu justru memicu terjadinya kemarahan massa. Entah siapa yang menyulut emosi massa, tiba-tiba ada yang memulai melempar kaca toko “L”, beberapa orang merusak plang, dan mengobrak-abrik sebagian isi toko. Aparat keamanan dan beberapa aktivis, mencoba untuk menghentikan massa, tapi situasi sudah tidak terkendali. Perusakan itu, sudah berubah menjadi aksi pelemparan massal. Tak puas menggagahi toko bandar kupon putih, massa bergerak ke jalan diponegoro, hasilnya hotel “J” menjadi sasaran  empuk kemarahan massa. Saya ikut terpancing melempar batu ke hotel itu, hingga senior saya Kak Lukman melarangnya. Sayapun menghentikannya.

Massa yang tidak terkendali, menyebabkan aparat keamanan mulai bersikap tegas. Beberapa kawan, sempat disergap namun masih bisa melepaskan diri. Saya dan rekan-rekan mahasiswa, memilih untuk bergerak sebelum terjadi penangkapan oleh pihak kepolisian. Mesjid Agung luwu, adalah tempat yang disepakati untuk berkumpul. Sambil berjalan mengitari jalan diponegoro, dipersimpangan jalan menuju mesjid agung sudah berkumpul para “preman” yang siap menjegal aksi. Saat menghindari kontak langsung dengan preman, ternyata kita berhadapan dengan polisi yang bersenjata lengkap. DOR..DOR..DOR..bunyi letupan senapan ke udara, menyebabkan massa bergerak acak mencari perlindungan. Saya dan teman-teman HMI, ingin juga berlindung, tapi sekelebat itu, saya menyaksikan alm. Uzt. Zaenal Abidin sedang tersudut di dalam got, sementara di injak-injak oleh beberapa oknum aparat kepolisian. Sayapun berlari, menerobos kerumunan polisi bersenjata, bersama beberapa senior mencoba menghentikan eksploitasi tersebut. Akhirnya, dengan upaya keras ditengah todongan senjata, kami berhasil membebaskan Alm. Ust. Zaenal Abidin, dari cengkraman eksploitasi oknum aparat keamanan. Menjelang shalat ashar, kamipun dengan tergesa-gesa menuju mesjid agung, berkumpul mengevaluasi aksi.

Saat tiba di pelataran mesjid agung, kami tidak lagi menyaksikan aparat keamanan. Kami mengira, aparat keamanan tidak lagi membututi kami. Dugaan itu, ternyata meleset. 15 menit setibanya kami di pelataran mesjid agung, Aparat polisi dengan personil lengkap dibantu oleh Kodim, turun langsung menyisir dan mengepung akses keluar masuk mesjid Agung. Seorang Polisi Militer (PM), dua kali menangkap saya, tapi saya berhasil melepaskan diri, dengan dibantu oleh beberapa rekan-rekan mahasiswa. Aparat keamanan, menyisir hingga kedalam mesjid. Setelah lepas dari tahanan, saya mendengar beberapa kelucuan sempat terjadi. Ada yang langsung shalat sunnah, ada yang duduk berzikir dan ada juga yang sembunyi di balik mimbar mesjid.

Saat mencoba menjauh dari kerumunan, saya kaget saat dicegat seorang yang tampaknya intel. Dengan mencengkram tangan saya, memaksa saya untuk ikut dengannya. Saya bersikukuh untuk menolak, tapi dia mengatakan bahwa saya hanya akan dimintai keterangan. Dengan penuh keengganan, saya terpaksa mengikuti tarikan tangannya. Lalu, saya dimasukkan kedalam mobil patroli. PLAKKK....sebuah tamparan tiba-tiba sudah mendarat di pipi kanan saya. kepala saya sampai pusing akibat ditampar, lalu saya tersadar. saya akan menjadi tumbal dari sebuah aksi pengadilan rakyat ini.

Tak lama berselang, seorang kawan mahasiswa yang bernama Mas’ud, ikut dimasukkan kedalam mobil patroli di tempat saya juga sedang berada. Kemudian, kami digelandang ke kantor Polisi. sore hari menjelang waktu berbuka puasa, kami bukannya ngabuburit, sambil menanti waktu berbuka puasa. Tapi, sedang menanti eksekusi apa yang akan terjadi. Di dalam ruang sel, setelah dikumpulkan, baru saya bertemu dengan beberapa senior dan rekan mahasiswa yang ikut diciduk. Diantara, Mat Baharuddin (Presiden BEM STAIN Palopo), Lukman Mallo, Munajab Alwy, Talmiadi Achmad (Ketum HMI Cab. Palopo), Mas’ud, Muh. Hamzah, dan saya sendiri, saat itu masih ketua HMI Kom. STAIN Palopo. Turut juga Kak Sapar Safruddin (Ketum IMM Cab. Palopo) dan Gunawan (PMII). Dua nama terakhir, langsung dibebaskan karena dianggap tidak terlibat aksi. Di kalangan masyarakat ada H. Jamal dan Rian. Ada juga dari Dosen UNCOKRO yaitu Pak Paisal Halim, sekarang sudah Profesor. Yang masih menjadi misteri hingga sekarang, andil dari nama yang terakhir, selama aksi tidak pernah terlibat. Tapi, ikut pula diciduk.

Setelah dikumpulkan, kami ditempatkan di dalam ruangan sel secara terpisah. Saya agak lupa, apakah kami sempat berbuka puasa saat itu. Satu persatu kami semua di interogasi oleh penyidik juga secara terpisah. Sayapun demikian. Saat berada dalam ruang penyidikan, saya dipaksa untuk mengakui perbuatan melakukan perusakan. Saya menolak untuk mengakuinya. Karena memang demikian adanya. Tanpa saya sadari, sebuah tangan kekar mencengkram leher saya, saya tercekat, kerongkongan saya serasa mau lepas. Entah, tangan siapa lagi, ikut memberi tanda lebam di wajah saya. Hingga, salahsatu tulang pelipis kanan saya menjadi retak sampai sekarang. Tak kuat menanggung hantaman, dengan terpaksa saya mengakui turut melakukan pelemparan. Barulah intimidasi itu berhenti. Kemudian, saat itu juga saya ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam Surat Perintah Penahanan dan Penyidikan, ditetapkan masa tahanan saya selama 20 hari. Bermula dari tanggal 19 desember 2000 s/d 07 Januari 2001, kemudian diperpanjang lagi selama 40 hari dari tanggal 09 Januari s/d 17 Februari 2001. Setelah proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dengan rasa letih yang mendera, saya digelandaang kembali ke dalam sel tahanan, diantar seorang yang nampaknya baru selesai pendidikan, saya disuruh jalan mundur masuk ke ruang tahanan. Saat berjalan itulah, tulang kering kaki saya ikut retak sampai sekarang, akibat ditendang dengan menggunakan sepatu laras berkali-kali, hingga saya tidak mampu untuk berdiri.

“Kunci sel cepat”, terdengar suara petugas, pada malam pertama kami diruangan sel tahanan. Dengan sedikit keberanian, kami bertanya, ada apakah gerangan?. Seorang petugas mengatakan, bahwa malam ini, 2 SSK (satuan Setingkat Kompi) Brimob dari Pare-Pare, 1 SSK dari Baebunta dan 1 SSK dari Toraja. Sudah tiba di kantor polisi. Ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, katanya lagi. Suasana sel semakin mencekam, apa lagi ini. Untuk itu kami semua disuruh menjauh dari pintu sel. Alhamdulillah, apa yang kami takutkan tidak terjadi.

3 hari di dalam sel, kami semua masih tetap berpuasa. Sahur dan berbuka disiapkan dengan menu yang sudah kami hafal. Nasi yang dibungkus daun pisang, dengan beberapa lembar sayur kangkung serta beberapa ekor ikan teri, menjadi menu mewah kami di hotel prodeo. Namun, saya belum bisa mengadaptasikan makanan, kedalam kerongkongan akibat dicekik tangan jahil. Saya lebih banyak minum air, meskipun juga terasa sakit untuk menelan.

8 hari kemudian, beberapa senior dan teman-teman HMI dibebaskan, diantaranya Kak Lukman mallo, Munajab Alwy, Mat Baharuddin, Talmiadi Achmad dan Muh. Hamzah. Mereka dibebaskan karena tidak pernah mengaku melakukan perusakan. Tinggallah, saya dan Mas’ud, yang tetap ditahan karena pengakuan kami. Hari-hari saya lalui, begitu terasing, di dalam ruangan pengap yang dibatasi jeruji besi saya merasakan kemerdekaan yang terbelenggu. Makanan, pakaian, dan tidur semua dikendalikan. Kami tidak diperbolehkan, memakai celana levis, dilarang menggunakan sendok dan piring kaca, maupun memakai sarung. Bila hujan turun, ruangan sel tergenang air karena buruknya sistem drainase.

Puncak emosional terjadi saat kumandang Takbir bergema, tanda umat Islam merayakan Hari raya Idul Fitri. Itulah kali pertama, saya tidak merayakan lebaran dengan orangtua. Harapan untuk dapat berlebaran dengan keluarga tidak dipenuhi. Tanpa terasa, butiran bulir air meluncur deras dari mata saya. Bukannya meratapi nasib, tapi membayangkan kesedihan orangtua, yang membuat saya tak kuasa membendung kesedihan pula. Dengan mengucap Takbir di dalam ruang sel, saya menyampaikan seuntai doa kepada Pencipta alam semesta, bahwa inilah takdirku yang kuukir dalam tinta sejarah manusia. Semoga pengorbanan ini, laiknya pengorbanan Ibrahim dan anaknya Ismail serta derita perpisahan Ya’qub dengan yusuf. Meskipun tak pantas, harapan yang teruntai dalam doa itu, menguatkan batinku untuk berada di jalan takdir yang kupilih, yaitu perjuangan untuk kebenaran.

Setelah melalui hari-hari yang berjalan lamban, pada tanggal 17 Februari 2001. Saya dan Mas’ud pun dilepaskan dengan jaminan pihak Kampus. 60 hari menginap di hotel prodeo, tidak ada kemewahan yang saya rasakan. Tetapi hikmah dibalik semua itu, Tuhan telah mengajarkan kepada saya makna kebahagiaan dibalik penderitaan.

Catatan akhir.
Beberapa kejadian, tidak ditulis secara mendetail dengan berbagai pertimbangan.

Ditulis ulang setelah 16 Tahun kejadian.

Palopo, 27 April 2016

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog