Film Filosofi Kopi yang tayang pada di tahun 2015, cukup menarik perhatian saya. Ketertarikan tersebut mengantarkan pada penelusuran asal muasal film tersebut. Adalah Dewi Lestari, yang akrab di sapa Dee, menulis sastra fiksi dengan judul Filosofi Kopi, lalu di adaptasi ke dalam film layar lebar. Meskipun, ada sedikit perubahan lakon, dari tokoh yang diangkat dalam cerita Dee dengan film tersebut, namun tidak menghilangkan citarasa makna yang hendak disampaikan dalam film Filosofi Kopi.
Sebagai pecandu filsafat dan Kopi, mendengar kata Filosofi
Kopi, sudah membuat saya menggeliat mencoba
menalar isi pikiran si penulis fiksi. Menurut Goenawan
Mohammad, tulisan fiksi Dee jauh dari “sastra wangi” yang identik dengan kaum
perempuan, seperti farfum, bedak, dan seluruh asesoris kewanitaan lainnya. Aforismenya
yang orisinal menunjukkan kemampuannya menggabungkan konseptualisasi dengan
metafor, yang abstrak dengan konkret. Dee, berhasil menjamah belantara sastra
yang selama ini terkesan gender. Keunikan dalam pendekatan sastra Dee,
menunjukkan kematangan hidup yang dijalaninya dalam menangkap setiap pesan
semesta, lalu, menyulamnya ke dalam
bentuk frosa yang indah.
Secara subyektif, saya ingin mengatakan menonton film Filosofi
Kopi, akan terasa hambar bila tidak membaca
karya fiksi Dee. Ibarat citarasa
kopi yang yang pahit tanpa gula. sayapun
sebenarnya mencintai film drama, seperti halnya kehidupan. Lakon drama yang dipenuhi citarasa, tidak selamanya
sesuai
dengan harapan.
Dikisahkan. Ben..adalah
seorang maniak Barista (peracik/peramu
Kopi). Seluruh hidupnya dihabiskan untuk mempejari kopi. Kecintaannya terhadap
kopi, mengantarkannya berkeliling dunia mencari biji kopi terbaik, dan belajar
kepada barista-barista handal demi
sebuah konsep ideal, meramu kopi terbaik yang pernah ada. Demi menggapai konsep
ideal tersebut, Ben, tidak segan-segan menyelusup masuk dapur, menyelinap ke
bar saji, hanya untuk mengetahui takaran paling pas untuk membuat café latte, cappuccino, espresso, macchiato
dan lain-lain. Ben..memiliki sahabat, bernama Jodi. Bukan seorang barista, tapi lebih kepada penikmat kopi
seperti saya. Dengan sedikit modal dan ilmu administrasi yang disandangnya,
bersama-sama dengan Ben mendirikan kedai Kopi, yang diberi nama kedai Koffie
Ben & Jodi. Dari sinilah, cerita drama dimulai.
Dengan keahlian dan kemampuan Ben dalam meramu
kopi, membuat kedai kopi milik Ben & Jodi, menjadi terkenal. Setiap
harinya, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari bersama mesin,
deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas dan segala macam perkakas seorang
barista. Bahkan, setiap inci dari
setiap ruanganpun tak luput dari uji kompatibilitas
versi Ben. Namun, yang membuat kedai kopi Ben & Jodi menjadi istimewa,
adalah melalui pengalaman ngopi yang
diciptakan Ben. Ia tidak sekedar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan
kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, sehingga terciptalah satu
filosofi untuk setiap ramuan kopi.
“Kopi ini sangat berkarakter,....Seperti
pilihan anda, cappuccino. Ini untuk
orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan”. kata Ben pada salah satu
pengunjung wanita.
“bagaimana, dengan kopi tubruk? Seseorang
bertanya iseng”. Ben menjawab dengan
cepat, “lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalinya lebih
dalam,…kopi tubruk tidak memperdulikan penampilan, kasar, membuatnya pun sangat
cepat,…tapi, tunggu sampai anda mencium aromanya,…kedahsayatan kopi tubruk
terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat.
Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya : aroma.”
Begitulah, kesehariannya Ben, penuh dengan nuansa filosofis dari menu kopi yang
disajikan. Puncaknya, Ben mengganti nama kedai kopi tersebut menjadi FILOSOFI
KOPI. Ditambah slogan Temukan Diri Anda
di Sini.
Suatu hari, Ben ditantang seorang pengusaha
untuk membuat kopi yang sempurna. Bila kopi diseruput, hanya bisa menahan nafas dan
berucap “hidup itu sempurna”. Untuk
menunjukkan kesungguhannya, pengusaha tersebut menjanjikan hadiah 50 juta
rupiah,. Ben pun, berhasil menjawab tantangan tersebut, lalu racikan kopi Ben
di beri nama Ben’s Ferfecto. Hingga suatu hari, seorang pria datang ke kedai
kopi, saat menyeruput kopi Ben’s ferfecto, pria tersebut hanya berucap “biasa
aja, lumayan”. Ben protes, tapi pria itu bersikukuh, bahwa kopi sempurna hanyalah
kopi “Tiwus”.
Tak terima dengan pernyataan tamunya, Ben’s
mengajak Jodi untuk mencari tahu keberadaan kopi tiwus. Dengan petunjuk alamat
seadanya, Ben dan Jodi akhirnya sampai pula ditempat tujuan. Tak percaya,
itulah yang ada dalam benak Ben. Setibanya di tempat tujuan, Seorang pria tua
dan istrinya, menyambut mereka dikedai yang sangat sederhana. Pak Seno,
begitulah orang-orang memangilnya.
Dengan senyum khas, pak Seno mempersilahkan
kedua tamunya duduk. Menyeduh kopi tiwus, sambil berkelakar, “menurut
orang-orang, kopi tiwus rasanya luar biasa, meskipun saya menganggapnya hanya
biasa-biasa saja”. Untuk menikmatinya, tidak perlu mengeluarkan biaya. Biji
kopinya pun sama dengan kopi pada umumnya, hanya dalam proses menanam sampai
pengolahan, kopi tiwus diperlakukan laiknya seorang ayah terhadap anaknya.
“Silahkan diminum”, kata pak Seno. Mempersilahkan tamunya, merasakan kopi buatannya. Dengan rasa penasaran yang memuncah, disertai keraguan. Ben mencium aroma, menyeruput kopi tiwus. Seketika itu pula, dada Ben terasa sesak, nanar matanya suram, badannya terasa lemas, lututnya pun ikut bergetar. Ada beban yang menghimpit jiwanya. Tak sanggup menerima kenyataan, bahwa memang kopi tiwus memiliki keistimewaan rasa. Ternyata, kopi sempurna ala Ben, hanyalah klaim simbolitas semata, ia tersadar bahwa kesempurnaan bukan soal “kata”, tetapi “yang merasakan”.
Jauh sebelumnya, Aristoteles mengatakan;
bahwa kesempurnaan itu adalah kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan
semu. Mungkin saja, Ben adalah cerminan
diri kita, memaknai hidup sebagai sebuah kompetisi, kita ingin sempurna, tapi
sulit menerima kenyataan. Ingin menjadi terbaik, tapi tidak terima kebaikan
yang lain. Sampai suatu saat, mulut kita bungkam, karena tidak lagi bisa
membohongi rasa.
Anggaplah kopi sebuah jalan kesempurnaan
rasa, setiap orang bisa memilih variannya. Pecandu kopi cappucino, tidak bisa memaksa pecandu kopi tubruk tentang rasa terbaik. Setiap orang berhak memilih
kesempurnaan rasanya, tapi bukan berarti perbedaan itu harus dipertentangkan,
toh..kita sama-sama pecandu kopi, bukan?. Dalam hidup, manusia merasakan
pengalaman ruhani yang berbeda, sesuai tingkatannya. Karena itulah, meskipun
sama-sama ingin meraih kebahagiaan, bukan berarti harus sejalan dalam rasa.
Setiap kita, berhak memilih dan menikmati rasa kopi, jangan memaksakan rasa
kopi.
Kopi mengajarkan kehidupan, dua sisi rasa
yang menyatu. Kita tidak bisa menghilangkan sisi pahit dengan manisnya gula,
karena akan kehilangan hakikat kopi. Biarkan saja ia menyatu dalam rasa, laiknya
kehidupan. Rasa pahit dan manis, silih berganti menguji kesungguhan kita
menempuh jalan kesempurnaan. Tak elok rasanya untuk lari dari kenyataan itu. Cobalah
untuk menikmati pahitnya hidup, sebagaimana pecandu kopi yang tak ingin
kehilangan rasa pahitnya kopi.
Cinta yang menentukan rasa, mungkin seperti
itulah resep kopi tiwus. Kopi yang disajikan dengan cinta, dapat menguatkan
rasa. Tanpa cinta, kita tidak akan merasakan kenikmatan kopi. Coba anda
bayangkan, bila anda ke kedai kopi, tapi tidak mendapatkan pelayanan yang baik,
kemungkinan besar anda akan mengejek rasa kopi. Karena itulah, sampai sekarang,
saya lebih bisa merasakan kenikmatan kopi, bila diseduh oleh orang-orang yang
penuh cinta, seperti istri dan sahabat terdekat.
Merasakan kebahagiaan dan cinta, adalah
harapan setiap manusia. Ben menemukan titik balik dalam kehidupan, tatkala
hijrah dari obsesinya menuju fitrahnya. Akahkah kita sama seperti Ben,
menemukan jalan kesempurnaan melalui seduhan rasa....???
Palopo, 29 april 2016
Muhammad Syahudin