PUASA, MAKNA KEMBALI DAN KEMENANGAN


Oleh: Muhammad Syahudin

Ramadan, mungkin bisa disebut bulan instrospeksi. Di dalamnya, umat Islam diberikan berbagai macam keutamaan dalam ibadah. Semacam angpao yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya, untuk dapat meraih predikat takwa. Dengan cara, mengendalikan nafsu, hasrat dan keinginan kita.

Puasa secara leksikal disebut as-syiam, as-shaum dan imsak; yang berarti menahan. Hal ini menandakan, bahwa puasa secara maknawi, menahan kita dari perbuatan yang melanggar ajaran Tuhan. Pada saat berpuasa, kita menahan diri dari makan dan minum hingga tiba waktu berbuka. Rasa lapar dan dahaga, mengingatkan kita akan kehidupan orang miskin. Kita juga merasakan empati, tiba-tiba mengalir dalam detak sanubari untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Tak ayal, di berbagai panti asuhan dan kantong-kantong kemiskinan di sesaki para pencari amal, untuk menyalurkan sedekah dan infaq.


Puasa juga berarti mengendalikan hawa nafsu, meskipun halal di luar bulan puasa. Ini dimaksudkan bahwa, keinginan manusia harus ditundukkan pada titik yang dapat dikendalikan. Agar manusia menempatkan setiap pilihannya semata-mata untuk kebaikan. Bisa dibayangkan ketika hasrat manusia tidak terkendali, ia bisa memangsa apa saja, dan mengambil apa saja yang bukan haknya. Bila hawa nafsu diperturutkan, maka sudah pasti agama ditinggalkan. Demikian pula, orang yang cenderung dikuasai hawa nafsu akan dengan leluasa bertindak zalim. Untuk itulah, puasa mengajarkan kita akan makna pengendalian yang sesungguhnya.

Puasa juga mengajarkan kita akan arti kejujuran. Sebuah kalimat yang terkesan mudah, namun sangat sulit dilakukan. Padahal, kejujuran adalah sesuatu yang sangat mudah bila dilakukan dengan ikhlas. Salah satu penyakit bangsa ini, berupa perilaku korupsi disebabkan adanya sikap tidak jujur. Ini petanda kepada kita semua, bahwa kejujuran menjadi faktor utama mencegah perilaku menyimpang. Sebagaimana puasa, hakikatnya hanya orang yang berpuasa dengan Tuhannya saja yang mengetahuinya.

Puasa membawa kita kepada suatu capaian manusia, yaitu perjalanan menuju Tuhan. Artinya, kita diberikan kesempatan terbaik untuk menempa amal ibadah kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia. Diantara keistimewaan bulan ramadan, adalah Nuzulul Qur’an dan malam Lailatul Qadr. Keutamaan ini diberikan kepada kita, untuk sebaik mungkin beribadah, memohon ampun, dan berjanji menjadi pribadi yang fitri. Dari keutamaan itulah, Tuhan mengajarkan kepada kita hakikat manusia sebagai hamba. Betapapun, kejatuhan kita dalam lingkaran dosa, Tuhan akan memberikan pengampunannya. Untuk itu juga, Tuhan mengajarkan kepada kita untuk saling memaafkan kepada sesama.

Di Indonesia, momentum diakhir ramadan dihiasi dengan fenomena mudik. Sebuah ritus budaya, bagi kalangan perantau kembali pulang ke kampung halaman, untuk bersua dengan keluarga dan handaitaulan. Mudik, sering dimaknai sebagai simbolitas makna kembali kepada asal. Bisa diartikan, sebagai perumpamaan kembali kepada fitrah manusia. Karena itu, mudik sejatinya tidak hanya ditafsirkan kembali ke kampung halaman, tapi bisa juga dimaknai sebagai proses kembalinya kita kepada fitrah manusia, yaitu kesucian.

Tak lama lagi, ramadan meninggalkan kita. Apakah kita sudah memenangkan pertarungan dalam jihad Akbar kali ini? Jawabannya akan kita temukan dalam perjalanan pada tahun selanjutnya.


Semoga kita termasuk di dalamnya.....

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog