BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Metode adalah satu sarana untuk
mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks pemahaman al-Quran, metode
bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat
tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran
merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh mufassir
(penafsir) ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Lahirnya metode-metode tafsir
disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu dinamik. Dinamika
perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks.
Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak
boleh tidak, para mufassir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat
al-Quran yang berbeda-beda.
Apabila diamati, akan terlihat bahwa
metode penafsiran al-Quran akan menentukan hasil penafsiran. Ketepatan
pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman yang tepat, begitu juga
sebaliknya.
Al-Quran secara tekstual memang
tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan
konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai
alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan
tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Quran itu.
Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.[1]
Selama empat belas abad ini,
khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai macam perspektif dan
pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Walaupun demikian terdapat kecenderungan
yang umum untuk memahami al-Quran secara ayat per-ayat bahkan kata perkata.
Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama didasarkan pada pendekatan
filologis gramatikal. Pendekatan ayat per-ayat atau kata per-kata tentunya
menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan al-Quran. Bahkan,
sering terjadi penafsiran semacam ini secara tidak semena-mena menggagalkan
ayat dari konteks dan dari aspek kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu.
Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran teologis, filosofis, dan
sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke dalam al-Quran tanpa
memerhatikan konteks kesejarahan dan kesusasteraan kitab suci itu.[2]
Itulah sebabnya upaya meraih
kebenaran teks dan konteks sebuah ayat, membutuhkan ilmu alat. Dengan ilmu
alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan makna-makna al-Quran dalam kehidupan
sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Quran yang berkategori mutasyâbih,
tentu kian rumit dan pelik. Dengan demikian, penulis akan membahas tentang
metode tafsir al-Quran dengan berbagai pembahasan antara lain pengertian metode
tafsir dan macam-macam metode tafsir yang insya Allah akan dibahas lebih luas
dalam makalah ini.
B.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Berdasarkan analisis
permasalahan sebelumnya telah dijelaskan tentang dinamika yang terjadi dalam
metode penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibatasi
pembahasannya sebagai berikut :
1. Apa
pengertian metode tafsir al-Qur’an
2. Seperti
apa Macam-macam metode tafsir al-Qur’an
C.
Tujuan
Pembahasan
Dengan
dilakukannya pembahasan makalah berkenaan metode tafsir al-Qur’an, tentunya
dapatlah diketahui serta difahami segala hal yang berkenaan cara pandang dalam
melakukan penafsiran yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Oleh karena itu,
diantara tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Dapat
difahami pengertian metode tafsir al-Qur’an
2. Dapat
dimengerti macam-macam metode tafsir al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa
Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan”. Di dalam bahasa Inggris
kata ini ditulis “method” dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan “tharîqah”
dan “manhaj”. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”[3]
Sedangkan tafsir secara bahasa
mengikuti wazan “taf’îl”, berasal dari akar kata al-fasr (f,
s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadhribu-dharban“
dan “nashara-yanshuru-nashran”. Dikatakan “fasara – yafsiru” dan yafsuru
– fasran”, dan “fasarahu”, artinya “abânahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsîr dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisânul ‘Arab
dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata
“at-tafsîr” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafazh yang musykil
dan pelik.[4]
Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau
maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir). [5]
Tafsir menurut istilah, sebagaimana
yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya
baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Jadi, yang dimaksud metode tafsir
al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat
al-Quran atau lafazh-lafazh yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi
Muhammad s.a.w..
B.
Metode-metode
Penafsiran al-Qur’an
Al-Farmawi membagi tafsir dari segi
metodenya menjadi empat bagian yaitu: metode tahlîliy, ijmâliy, muqâran
dan maudhû’iy. sedangkan metode tahlîliy dibagi menjadi beberapa
corak tafsir yaitu: at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, at-Tafsîr bi al-Ra’yi,
at-Tafsîr ash-Shûfiy, at-Tafsîr al-Fiqhiy, at-Tafsîr
al-Falsafiy, at-Tafsîr al-‘Ilmiy, at-Tafsîr al-Adabiy wa
al-Ijtimâ’iy.[6]
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode
tafsir dengan mengikuti pola pembagian al-Farmawi.
a. Metode Tafsir Tahliliy (analitik)
1)
Pengertian
Metode Tafsir Tahlîliy adalah
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran
dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat
sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf. Penafsir memulai uraiannya
dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat. Ia juga mengemukakan munâsabah (korelasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula,
penafsir membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar belakang turunnya ayat)
dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para
tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu
sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula
bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat
membantu memahami nash (teks) al-Quran tersebut.[7]
Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut
tafsir metode tahlîliy ini dengan tafsir tajzî’iy, yang secara
harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir
parsial”.[8]
2)
Bentuk Tafsir al-Quran dengan Metode Tahlîly
Metode Tahlîly kebanyakan
dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Diantara mereka,
sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnâb),
sebagian mengikuti pola singkat (i’jâz) dan sebagian mengikuti pula
secukupnya (musâwâh). Mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan
metode tahlîliy, namun dengan corak yang berbeda.[9]
Para ulama membagi wujud tafsir
al-Quran dengan metode tahlîly kepada tujuh macam (bentuk) yaitu: At-Tafsîr
bi al-Ma’tsûr, At-Tafsîr bi ar-Ra’yi, At-Tafsîr ash-Shûfiy, At-Tafsîr
al-Fiqhiy, At-Tafsîr al-Falsafiy, At-Tafsîr al-‘Ilmiy, dan At-Tafsîr
al-Adabiy al-Ijtimâ’iy.
3) Kelebihan dan Kekurangan
Metode Tahlîliy
a) Kelebihan Metode Tahlîliy
- dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf
- mudah mengetahui relevansi/munâsabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya
- memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama
- mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain[10]
b)
Kelemahan Metode Tafsir Tahlîliy
- menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam[11]
- faktor subjektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya
- terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama[12] masuknya pemikiran isrâîliyyât.
b. Metode Tafsir Ijmâliy (Global)
1)
Pengertian
Metode Tafsir Ijmâliy adalah
suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara
mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan
membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mush-haf; kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.[13]
Mufassir dengan metode ini, dalam
penyampaiannya, menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan
idiom yang mirip, bahkan sama dengan al-Quran. Sehingga pembacanya merasakan
seolah-olah al-Quran sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian
dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah
kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb
al-nuzûl atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara
meneliti Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang
diberikan tafsir al-Jalâlain terhadap 5 ayat pertama dari surat
al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui
rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang alif lâm mîm (الم ), misalnya, dia hanya berkata:
Allah Maha Tahu maksudnya.
2) Kelebihan
dan Kekurangan Metode Ijmâliy
a)
Kelebihan Metode Tafsir Ijmâliy
- praktis dan mudah dipahami
- bebas dari penafsiran israiliyat
- akrab dengan bahasa al-Quran
b)
Kekurangan metode Tafsir Ijmâliy
- menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial
- midak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang aktual dan problematis
c. Metode Tafsir Muqâran
a.
Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ini
adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh sejumlah
para mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Quran,
kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat
tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari
generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu at-tafsîr bi
al-ma’tsûr maupun at-tafsîr bi ar-Ra’yi.[14]
Kemudian ia menjelaskan bahwa
diantara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang
dikuasainya. Ada diantara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni
segi-segi i’râb, seperti Imam az-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya
ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balâghah, seperti ‘Abd
al-Qahhar al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz al-Qurân dan Abu
Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab tafsirnya al-Majâz, dimana ia
memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’âniy, bayân, badî’,
haqîqah dan majâz.[15]
Jadi metode tafsir muqâran
adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran dengan cara membandingkan
antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat
ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang
dibandingkan itu.
b.
Objek Kajian Metode Tafsir Muqâran (Perbandingan)
Objek kajian tafsir dengan metode
muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
1.
Perbandingan ayat al-Quran dengan
ayat lain
Penafsiran disebabkan perbedaan
redaksi namun peristiwa yang dibicarakannya sama, di antaranya yang terdapat
dalam QS al-An’âm, 6: 151 dan QS al-Isrâ’, 17: 31.
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu[16].
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Penafsiran dengan redaksi yang
hampir sama (mirip) dengan pembicaraan dengan masalah yang berbeda, di
antaranya terdapat QS Âli ‘Imrân: 126 dan QS al-Anfâl, 8: 10,
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu
melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)-mu, dan agar tenteram hatimu
karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” [17]
2.
Perbandingan Ayat al-Quran dengan Hadis
Cara
kerjanya adalah:
- menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadis dha’if tidak diperbandingkan karena, disamping nilai otentisitasnya rendah, dia justeru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran
- membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam kedua redaksi yaitu ayat dengan hadis itu.
- membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan hadis tersebut
Contohnya adalah: perbedaan antara
ayat al-Quran QS an-Nahl, 16: 32 dengan hadis riwayat (HR Ahmad dari Abu Hurairah) di bawah
ini:
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh
para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salâmun’alaikum, masuklah
kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”
بِعَمَلِهِ الْجَنَّةَ أَحَدُكُمْ يَدْخُلُ لَا
“Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga
disebabkan perbuatannya”.
(HR Ahmad dari Abu Hurairah)[18]
3.
Perbandingan Penafsiran Mufassir dengan Mufassir Yang Lain
Contoh:
QS al-An’âm, 6: 103,
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah
yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
Sedangkan dalam perbedaan penafsiran
mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali,
menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu bila
mungkin, dan mentarjîh salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.[19]
c. Kelebihan
dan Kekurangan Metode Tafsir Muqâran
1)
Kelebihan Metode Tafsir Muqâran
- membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.
- tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
- dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
2) Kekurangan Metode Tafsir Muqâran
Di
antara kekurangan metode ini adalah:
- penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para pemula.
- metode muqâran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
- metode muqâran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif.
d. Metode Tafsir Maudhû’iy
a.
Pengertian
Metode tafsir maudhû’iy juga
disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang
mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut.
Kemudian penafsir mulai memberikan
keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat
ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu
yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan,
sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul
menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam
dan dapat menolak segala kritik. [20]
b.
Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy (Tematik)
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah
fî al-Tafsir al-Maudhû’iy [21] secara
rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya
tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
- memilih atau menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)
- melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
- menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
- mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
- menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
- melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
- mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.
- menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas[22]
c.
Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini tafsir maudhû’iy
mempunyai dua bentuk, yaitu: Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh
dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,
menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat
itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
Menurut M. Quraish Shihab, biasanya
kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama
tersebut bersumber dari informasi Rasulullah s.a.w.. Ia mencontohkan surah
al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung
oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari
ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi
yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah
tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam surah itu kemudian
diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.
Upaya mengaitkan antara satu ayat
dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada
kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Quran.
Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan
dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Quran mengenai hal tersebut.
Contoh: ayat-ayat khusus mengenai
harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’âm, 6:152).
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh)
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar”.
(QS an-Nisâ, 4’: 2)
Dan
surat QS an-Nisâ, 4: 10 dan 127.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(Qs. an-Nisâ, 4’: 10)
“Dan mereka minta fatwa kepadamu
tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahuinya.”(Qs. an-Nisâ, 4: 127)
e.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy
1)
Kelebihan Metode Maudhû’iy
- hasil tafsir maudhû’iy memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
- sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.
- studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashâhah dan balâghah al-Qurân.
- kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
- tafsir maudhû’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
2)
Kekurangan Metode Maudhû’iy
- Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
- Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah ini, yang mengurai tentang Metode tafsir al-Qur’an dan
pembagian-pembagiannya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya :
1. yang dimaksud metode tafsir al-Quran
adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran atau
lafazh-lafazh yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad
s.a.w..
2. Metode tafsir al-Qur’an secara garis
besar terdiri dari empat macam (metode), yaitu: tahlîlî (analitik), ijmâlî
(global), muqârin (perbandingan) dan maudhû’î (tematik).
B.
Saran
dan Kritik
Dalam Makalah ini, penulis
menggunakan referensi yang mendukung argumentasi berupa buku-buku terkait
pembahasan, sumber bacaan internet serta analisis penulis terhadap pokok
pembahasan.
Walaupun demikian, penulis
menyadari sangat besar kemungkinan pembahasan dalam makalah ini masih
membutuhkan perbaikan berupa saran-saran dan kritikan yang bersifat
konstruktif. Harapannya dengan adanya saran dan kritikan terhadap makalah ini,
dapat dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
[1] M. Umar Shihab, Kontekstualitas
Al-Quran Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Quran, (Jakarta:
Penamadani, 2005), h. 3.
[2] Ahmad
Ash-Shauwiy, Mukjizat Al-Quran dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema
Insani Preass, 1995), h. 24.
[3] M. Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 75.
[6] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.
11.
[9] Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 70.
[10] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman
Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h.
218-219.
[11] Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan
Metodologi Tafsir Al-Quran (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur
Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), h. 24.
[16] Kedua ayat tersebut, menggunakan
redaksi yang berbeda, namun membicarakan masalah yang sama, yakni larangan
membunuh anak-anak. Menurut az-Zarkasyi, perbedaannya tampak pada khithâb.
Ayat pertama khitâbnya orang-orang fakir (fuqarâ’) dengan dhamir kum,
sehingga menggunakan redaksi min imlâq, yang berarti karena
miskin. Sedangkan ayat kedua khithâbnya orang-orang kaya (aghniyâ’)
dengan dhamir hum, sehingga memakai redaksi khasyyah imlâq, yang
berarti takut miskin. Jadi pada ayat pertama, dhamir kum didahulukan
bertujuan untuk menghilangkan kekhawatiran orang miskin karena tidak mampu
memberi nafkah kepada anak-anaknya, sedangkan pada ayat kedua dhamir hum didahulukan
agar orang kaya yakin bahwa yang memberi nafkah kepada anak-anaknya itu Allah
bukan orang kaya (lihat, Supiana dan Karman), h. 323.
[17] Ayat yang pertama berkaitan dengan
pertolongan Allah kepada kaum Muslimin dalam perang Uhud, sedangkan pada ayat
kedua berkaitan dengan perang Allah kepada kaum Muslimin dalam perang Badr.
Variasi didahulukannya penempatan kata bih dan penambahan inna (taukîd),
dimungkinkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan ayat tersebut, yakni
janjian bantuan dari Allah bagi kaum muslimin dalam perang Badr yang masih
lemah. Sedangkan ayat yang berkaitan dengan perang Uhud tidak ada taukîd,
karena kaum muslimin sudah kuat dan pertolongan Allah terbukti dalam perang
Badr. (ibid., h. 324.)
[18] Antara ayat al-Quran dan hadis di
atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu,
az-Zarkasyi mengajukan dua cara: Pertama, dengan menganut
pengertian harfiah hadis, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal
perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas
tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan
peringkat surga yang akan dimasukinya. Kedua, dengan menyatakan
bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada
pada hadis tersebut. Pada ayat itu berarti “imbalan”, sedangkan pada hadis
tersebut berarti “sebab”. Jadi, dengan penafsiran seperti itu, maka kesan
kontradiksi antara ayat al-Quran dan hadis di atas dapat dihilangkan. (lihat M.
Quraish Shihab dkk., Sejarah dan ‘Ulûm al-Qurân), h. 190-191.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur,
t.t.
Arif Junaidi, Akhmad, Pembaharuan Metodologi Tafsir
Al-Quran (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang:
CV. Gunung Jati, 2000.
Baidan, M. Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.
Buchori, Didin Saefuddin, Pedoman Memahami Kandungan
Al-Quran, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.
Al-Farmawiy, Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu
Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996..
Al-Munawar, Said Agil Husin., Al-Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Al-Qaththan Manna’ Khalil., Studi Ilmu-Ilmu Quran,
Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
As-Shauwy, Ahmad, Mukjizat Al-Quran dan Sunnah Tentang
IPTEK, Jakarta: Gema Insani Preass, 1995.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bndung: Mizan, 1999.
———, Sejarah Dan ‘Ulum Al-Quran, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999.
Shihab, M. Umar, Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik
atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Quran, Jakarta: Penamadani, 2005.
1 komentar:
komentarUntuk pemula,enaknya pake metode yg mana bang?mohon saran dan alasanya
Reply