Bab
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Asy’ariyah
adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy’ari, yang kemudian berkembang
menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, selanjutnya dikenal
dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Abu Hasan
al-Asy’ari sebagai peletak dasar-dasar aliran ini. Al-Asy’ari hidup antara
tahun 260-324 H. atau lahir akhir abad III dan awal abad IV H.[1]
Pada
abad ini dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran Islam, yaitu pertama,
Aliran Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal. Aliran ini
dikenal sangat tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai satu-satunya poros dan
alat dalam memahami aqidah-aqidah Islam; kedua, Aliran Filosof Islam
yang memahami aqidah-aqidah Islam dan membelanya harus berdasarkan akal dan
naql dengan bertolak pada kebenaran-kebenaran akal sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan; ketiga, aliran Mu'tazilah, aliran yang memadukan antara
akal dan naql dengan tetap menjadikan akal sebagai penentu bila lahiriah nash
bertentangan dengan kebenaran-kebenaran akal (dalil-dalil logika).[2]
Pada
masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan rasio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan
rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari
adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat
ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari
pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40
tahun. dan pada akhirnya beliau membentuk corak pemikiran yang berbeda dari
ketiga aliran tersebut, beliau berusaha memadukan keduanya dengan tetap
berpedoman bahwa akal harus tunduk pada nash.
Metode al-Asy’ari ini, diikuti oleh ulama yang
datang setelahnya dan menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada
al-Asy’ariyah, mereka inilah yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat
al-Asy’ari dengan menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri
kerasionalan Mu'tazilah.[3] Tokoh tersebut ialah
al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali. Berdasarkan latar belakang di atas,
pembahasan ini difokuskan pada ketiga tokoh tersebut yang meliputi riwayat
hidup, peran dan pandangan teologi mereka dalam pengembangan teologi
Asy’ariyah, serta perkembangannya sebagai Ahl
al-Sunnah wa al-Jama>’ah dan pengaruhnya di dunia Islam.
B.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Dengan
analisis latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dalam makalah ini diberikan
rumusan dan batasan masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana riwayat hidup al-Baqillani,
al-Juwaini, dan al-Ghazali ?
2.
Seperti apa peran dan pandangan
al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali terhadap pengembangan teologi
Asy’ariyah ?
3.
Seperti apa pengaruh teologi Asy’ariyah
dalam mazhab Ahl al-Sunnah wa
al-Jama>’ah terhadap dunia Islam.
C. Tujuan
Pembahasan
Pembahasan makalah tokoh-tokoh
Asy’ariyah yaitu : al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali merupakan bagian
dari proses mengkaji dan menganalisis tentang sejarah pemikiran Islam. Dan
setelah pembahasan makalah ini diharapakan :
1.
Dapat diketahui sejarah hidup
tokoh-tokoh Asy’ariyah yaitu; al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali
2.
Dapat ditelusuri peran dan pandangan
tokoh-tokoh Asy’ariyah terhadap pengembangan teologinya.
3.
Dapat diketahui pengaruh teologi
Asy’ariyah dalam Mazhab Ahl al-Sunnah
wa al-Jama>’ah terhadap duni Islam.
Bab
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
Untuk lebih mengenal tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh dalam teologi Asy’ariyah, berikut akan dinukilkan riwayat
hidup mereka.
1. Al-Qadhi
Abu Bakr al-Baqillani
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim,
yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, di samping sebagai
mutakkalim, beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan menetap di
Baqdad, tentang tahun kelahirannya tidak ada sumber yang pasti menyebutnya.[4]
Al-Baqillani
berguru dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu, antara lain: Abu
Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid al-Thai al-Maliki (sahabat dan
murid al-Asy’ari), Abu Bakr Ahmad bin Ja'far bin Malik al-Qathi'i, Abu Bakr
Muhammad bin Abdullah al-Abhari" seorang ahli faqih bermazhab Maliki.[5] Adapun karya beliau, Ibn
Katsir menyebutkan, bahwa beliau tidak tidur setiap malam, kecuali setelah
menulis 20 lembar,[6]
dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-Tabshirah, Daqaiq
al-Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Ibanah, dan lain-lain.
Al-Qadhi 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-Baqillani ada 99 kitab dalam
masalah teologi, ushul, fikih, dan I'jaz al-Qur'an, tapi yang ada sampai saat
ini hanya sebagian kecil.
Al-Baqillani
wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan dimakamkan di samping makam Ahmad bin
Hambal di pekuburan Bab al-Harb.
2.
Al-Iman Al-Haramaen Al-Juwaini
Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal
dengan nama Imam al-Haramaen, mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'ali Abd al-Malik
bin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin
Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih, beliau bermazhab Syafi'i.
Namun, al-Juwaini dinisbahkan pada satu tempat yang ada di Naisabur, beliau
bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam al-Haramen karena beliau pernah
menetap di Mekah dan Medinah selama empat tahun untuk belajar, berfatwa dan
mengumpulkan metode-metode mazbab. Beliau dilahirkan pada
tanggal 18 Muharram 419 H. [7]
Al-Iman al-Juwaini belajar dari sejumlah
ulama, antara lain dari ayahnya sendiri Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini,
seorang ulama al-Syafi'i dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang ada saat
itu. Ketika ayahnya meninggal tahun 438 H, beliau menggantikan ayahnya sebagai
mufti, di samping juga tetap belajar, dan selalu menghadiri pengajian al-Isfarayaini (wafat tahun 452 H) dan al-Khabbani (wafat tahun 449 H). Disaat
terjadinya fitnah antara Ahl al-Sunnah dan Syi'ah di Naisabur
pada tahun 446 H beliau pergi meninggalkan negeri ini menuju Baghdad dan
kemudian ke Hijaz. Di Hijaz inilah tinggal selama empat tahun.
Setelah berakhirnya fitnah dan naiknya
raja Alp Arselan seorang Sunni di kursi pemerintahan sekitar tahun 451 H,
al-Imam al-Juwaini kembali ke Naisabur dan mengajar di sekolah al-Nizhamiyah
salah satu sekolah yang dibangun oleh Nizham al-Mulk perdana menteri Raja
al-Arselan untuk mendukung mazhab Sunni. Pada saat inilah beliau lebih
berkosentrasi untuk mengajar dan menyusun kitab dalam membela dan
mempertahankan mazhab ahl al-Sunnah.
.
Adapun hasil karya beliau, antara lain;
kitab al-Nihaya (bidang fikih), al-Syamil dan al-Irsyad (bidang Theologi), al-Burhan
dan Talkhish al-Gharib wa al-Irsyad
(ushul al-fiqh). Beliau wafat pada tanggal 25 Rabiul akhir 478 H di Naisabur dan dimakamkan di samping ayahnya,
rahimahumallah. [8]
3.
Hujjat al-Islam al-Imam al-Ghazali
Nama
lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, beliau
bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din al-Syarif, Thusiy dan dipanggil dengan Abu
Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup dalam keluarga yang
sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam.[9]
Dari Thus beliau mulai belajar dari salah
seorang ulama besar Thus yaitu al-Iman Ahmad bin Muhammad al-Razkani, kemudian
beliau merantau ke Jurjan, di sini beliau belajar dari Nashr al-Ismaili.
Kemudian beliau kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun, merenung,
berpikir, dan menghafal apa yang telah diperolehnya dari Thus. Kemudian beliau
ke Naisabur dan berguru pada Imam al-Haramain, disinilah produktivitas beliau
sebagai seorang ilmuan nampak, dengan menulis berbagai masalah. Sehingga
al-Imam al-Haramain memberi julukan pada beliau dengan "Lautan yang
menenggelamkan.".
Sepeninggal al-Imam al-Haramain, al-Ghazali
berangkat ke Askar menemui al-wazir Nizham al-Mulk. Wazir ini sangat
menghormatinya lalu memberikan kepercayaan pada beliau untuk mengajar di
sekolahnya di Baghdad pada tahun 484 H. beliau mengajar sampai tahun 488 H.
Mulai bulan Rajab tahun 488 H kehidupan rohani beliau mulai bergejolak, dan ini
berlangsung selama enam bulan atau sampai pada awal tahun 489 H. Dari sinilah
kehidupan sufi mulai dijalaninya dengan beribadah, kehidupan sufi ini beliau
jalani dengan alasan yang sangat logis, sebagaimana yang dikatakan dalam
kitabnya al-Munqiz min al-Dhalal.
Para sejarawan berbeda dalam menentukan berapa
jumlah karya-karya beliau, tapi yang jelas beliau telah menulis puluhan kitab
tentang al-ushul (ushul al-din dan ushul al-fiqh), masalah khilaf, tasawuf,
bantahan terhadap aliran kebatinan, filosof dan mutakallimim. Dan jumlah yang
disepakati oleh sejarawan sekitar 70 buah karangan, di antaranya: al-Mankhul fi Ta'liqat al-Ushul,
al-Mustashfa fi ilm al-ushul, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Miyar
al-Ilm fi 'Ilm al-Mantiq, al-Munqiz min al-Dhalal, Ihya ulum al-Din, dan
lain-lain. [10]
Al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin 14
Jumadil akhir 505 H.
dan dimakamkan di Zhahir al-Thabaran salah satu tempat di Thus berdampingan
dengan makam Harun al-Rasyid.
B.
Peranan
dan Pandangan Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
Sebagaimana al-Asy’ari dalam meletakkan dasar-dasar
pemikiran teologi Ay’ariyah, keberadaan tokoh-tokoh setelah al-Asy’ari seperti al-Baqillani,
al-Juawaini dan al-Ghazali juga turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan
teologi al-Asy’ari.
Semangat yang berbeda dengan Mu’tazilah mempertemukan gagasan mereka.
Adapun peranan dan pandangan
tokoh-tokoh al-Asy’ari
dalam memperkuat argumetasi al-Asy’ari
adalah sebagai berikut :
1.
Peran
dan Pandangan al-Baqillani
Peran al-Baqillani dalam teologi
Asy'ariyah adalah pengembangan metode, Beliau mengembangkan metode (thariqah)
dan meletakan premis-premis logika yang menjadi dasar pijakan dalil-dalil dan
teori-teori, seperti menetapkan substansi primer (al-jauhar al-fard) dan
void (al-khala), dan accident (al-'ardh) tidak
mungkin berdiri di atas accident (al-'ardh), tidak mungkin dua
waktu yang bersamaan, dan semisalnya yang menjadi dasar pijakan dalil-dalil
mereka. Dan menjadikan kaidah-kaidah ini sebagai dasar untuk menetapkan
kewajiban dalam beraqidah, karena kesalahan atau tidak benarnya suatu dalil
berarti tidak benar pula apa yang menjadi obyek suatu dalil. Maka metode ini
merupakan metode yang terbaik dalam ilmu-ilmu teori dan agama.
Adapun pandangan-pandangan al-Baqillani
dalam teologi Asy’ariyah diantaranya membahas tentang Wujud Allah dan sifat-sifat-Nya,
teori al-ahwal dan kasab.
Tentang Wujud Allah, al-Baqillani berpandangan sama dengan al-Asy’ari. al-Baqillani berangkat dari
penetapan akan kebaharuan alam, alam yang terdiri dari al-jauhar atau al-'ardh,
keduanya adalah sesuatu yang baru dan yang baru pasti ada yang mengadakannya
dan yang mengadakannya itu adalah Allah. Dalil al-Baqillani antara lain dengan
menetapkan bahwa Allah adalah qadim dan alam adalah baru, dan sesuatu yang baru
pasti ada yang mengadakannya, dan yang mengadakannya tidak mungkin dari sesama
jenisnya yang baru, tetapi pasti adalah yang qadim, yaitu Allah swt.[11]
Sedangkan
Al-Baqillani menetapkan sifat-sifat bagi
Allah swt., seperti apa yang telah disebutkan dalam al-Qur’an. Beliau membagi sifat-sifat
tersebut atas dua bagian, yaitu: sifat-sifat al-zat dan sifat-sifat al-af'al.
Sifat zat adalah sifat yang tidak mungkin berpisah dengan zat, sifat al-'Ilm
misalnya tidak mungkin berpisah dengan zat Allah yang al-'Alim setiap saat
sejak azali dan selama-lamanya. Berbeda dengan sifat al-af'al yaitu
sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan perbuatannya, karena Allah swt. ada
sebelum perbuatannya itu ada.
Teori al-ahwal yang diajukan oleh
al-Baqillani merupakan kritik beliau terhadap pemikiran tokoh Mu’tazilah
Abu Hasyim tentang al-hal, bahwa Allah Alim bagi zat-Nya,
yang berarti bahwa dia mempunyai keadaan yaitu sifat yang diketahui di balik
Dia sebagai zat yang ada, tapi sifat dapat diketahui tidak berdiri sendiri,
maka ahwal adalah sifat-sifat yang tidak terwujud dan tidak berwujud, diketahui
dan tidak diketahui. Adapun menurut al-Baqillani bahwa al-hal tidak
bersifat kontradiksi.[12]
Adapun
dalam teori al-kasab yang dikemukakan
oleh al-Baqillani merupakan pengembangan yang sedikit berbeda dari Pendapat
al-Asy’ari bahwa kuasa manusia tidak mempunyai pengaruh untuk mewujudkan
perbuatannya, karena kuasa dan kehendaknya adalah ciptaan Allah swt.
Al-Asy’ari
memberikan pemahaman tentang al-kasab adalah mewujudkan kehendak dalam
perbuatan, yaitu Allah swt. menciptakan kuasa pada manusia bersifat sementara
yang berkaitan dengan perbuatan, dan kuasa tersebut tidak mempunyai pengaruh
yang hakiki dalam mewujudkannya, tapi kuasa Allah yang memberikan pengaruh yang
sebenarnya.
Al-Baqillani
dengan tetap berpegang pada teori al-kasab secara umum, yaitu Allah-lah yang menciptakan perbuatan
manusia, tapi beliau lebih memperjelas bahwa perbuatan manusia tercipta karena
pengaruh dua kuasa yaitu kuasa Allah dan kuasa manusia yang diciptakan, kuasa
Allah mempengaruhi pada perbuatan (al-fi'l) dan kuasa manusia
berpengaruh dalam realisasi perbuatan. Perbuatan inilah yang menjadi standar
apakah baik atau buruk, mendapat pahala atau siksa. [13]
2.
Peran
dan Pandangan al-Juwaini
Perkembangan kedua dalam teologi
al-Asy’ariyah berada di tangan Imam al-Haramain al-Juwaini, Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa metode yang dipakai oleh al-Baqillani sangat baik, namun
dalam hal penetapan dalil belum sistematis, maka melalui al-Juawaini yang tertuang
dalam kitabnya al-Syamil
dan al-Irsyad, menetapkan bentuk
dalil yang telah tersusun secara sistematis dengan mengklarifikasi antar
ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu logika serta menjadikan metode berpikir logika
sebagai standar untuk menetapkan kebenaran suatu dalil.
Beliau sangat mengandalkan akal, untuk
mencapai keinginannya, namun dalam masalah akidah yang bersifat sam'yat,
menurut beliau tidak usah dipertentangkan atau dengan kata lain cukup dengan
keimanan tanpa ikut campur akal.
Pandangan al-Juwaini dalam pengembangan
teologi Asy’ariyah, tidak terlalu berbeda jauh dari pendahulunya, beliau juga
memberikan pendapatnya tentang sifat-sifat
Allah, seputar teori al-ahwal dan al-kasab.
Menurut pendapat al-Juwaini, sifat-sifat
Allah dapt dibagi dua bagian yaitu sifat-sifat nafsiyah dan sifat-sifat ma'nawiyah.
Sifat nafsiyah adalah semua sifat Allah yang harus ada, tidak pernah
berpisah baik tidak mempunyai sebab (ghair al-Syarif, mu'allah),
dan sifat ma'nawiyah adalah sifat-sifat al-ahkam yang ada, tapi
keberadaannya disebabkan (mu'allalah) dengan sebab-sebab ('illa-'illah).
Sifat-sifat nafsiyah seperti al-wujud; al-qidam, al-qiyam
bi al-nafish, al-wahdaniyah, al-baqa dan tidak serupa dengan yang baru. Al-Imam al-Juawaini sependapat
dengan al-Asy’ari, namun sifat-sifat al-khabariyah atau anthropomorphism,
seperti wajah tangan, dan istawa 'ala al-'arsy mereka berbeda. Beliau
mentakwilkan tangan dengan kuasa (al-qudrah), wajah dengan al -wujud,
dan Allah istawa 'ala al-arsy ditakwilkan dengan berkuasa dan maha
tinggi. [14]
Menyangkut teori al-ahwal al-Juwaini sependapat dengan tokoh Mu’tazilah Abu Hasyim
bahwa al-ahwal tidak dapat diketahui karena hal-hal yang
diketahui (al-ma'lumat) terbagi dua, yaitu ada dan tidak ada, al-Imam
al-Juwaini menjadikan penghubung antara ada dan tidak ada adalah sifat dari al-wujud.
Sedangkan dalam konsep al-Kasab
yang dikemukakan al-Juwaini dianggap lebih mendekati pemikiran Mu’tazilah
dibandingkan Asy-ariyah, bahkan Harun Nasution berpandangan bahwa al-Juwaini
berbeda jauh dari Asy’ariyah dan lebih condong kepada Mu’tazilah dalam hal ini. [15]
Al-Juwaini
berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban agama (al-takalif
al-syar'iyah) tidak logis bila ditanggung oleh manusia tanpa ada kuasa
untuk melaksanakannya, demikian juga kuasa yang Allah berikan pada manusia
tidak berarti bila tidak berpengaruh dalam mewujudkan perbuatannya, sama dengan
menafikan kuasa itu sendiri. Sehingga menisbatkan perbuatan pada manusia adalah
penisbahan yang hakiki, tetapi tidak berarti bahwa manusia yang menciptakan
perbuatannya, karena sifat pencipta hanya milik Allah semata.
3.
Peran
dan Pandangan al-Ghazali
Pengaruh al-Ghazali sangat kuat dalam
kaitannya dengan teologi Asy’ariyah sehingga beliau digelari Hujjatul Islam. Bahkan sebagian ilmuan
seperti Ahmad Mahmud Shubhi memposisikan al-Ghazali seperti Aristoteles dalam
peradaban Yunani, Desacrtes dan Immanuel Kant dalam peradaban Eropa. Salah satu
sumbangsih terbesar al-Ghazali adalah kitab ihya ulum al-Din,
sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan rujukan
yang utama dalam membahas teologi Asy’ariyah.
Kesamaan pendapat al-Ghazali dan al-Asy’ari
dalam teologi dapat ditelusuri dari kitab beliau al-Iqtishad fi al-I'tiqad meliputi
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat-Nya dan
mempunyai wujud diluar zat, Alquran bersifat qadim dan bukan makhluk, perbuatan
dan daya manusia Tuhanlah yang menciptakannya. Ru'yatullah dapat terwujud,
karena sesuatu yang mempunyai wujud dapat dilihat, keadilan Tuhan, tidak dapat
diukur dengan keadilan hamba (manusia), serta sifat-sifat Tuhan yang lain, al-qudrah,
al-iradah, al-'Ilm.[16]
Salah satu pandangan al-Ghazali yang
berbeda dari tokoh Asy’ariyah yang lainnya, adalah konsep Causalitas (hubungan sebab akibat) yang merupakan adopsi dari
pemikiran Aristoteles kemudian disesuaikan dengan teologi yang dipahami oleh
al-Ghazali.
Al-Ghazali berpendapat bahwa
menghubungkan antara apa yang diyakini dalam hal yang biasa antara sebab dan
yang disebabkan tidaklah mesti, dan menetapkan salah satunya tidak berarti
menetapkan yang lain begitupun sebaliknya, karena semuanya telah diawali dengan
takdir Allah, memberi contoh antara lain bahwa kenyang tidak mutlak harus
dengan makan, tapi Allah bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa kenyang tanpa
melalui makan.[17]
C.
Pengaruh
Teologi Asy’ariyah dalam Mazhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama>’ah Terhadap dunia Islam.
Pikiran-pikiran
al-Asy’ari dan tokoh-tokoh setelahnya, merupakan jalan tengah antara
golongan-golongan yang berlawanan, atau antara aliran rasionalis dan textualis.
Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dan naqal
bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur’an dan al-Hadis, ia mencari alasan-alasan dari
akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak menganggap akal pikiran sebagai
hakim atas nas-nas agama untuk mena’wilkan dan melampaui ketentuan arti
lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguatan arti lahir nas
tersebut.
Dalam
perkembangannya aliran Asy’ariah lebih condong kepada segi akal pikiran murni,
mendahulukannya sebelum nas dan memberinya tempat yang lebih luas daripada
tempat untuk nas-nas itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan
terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali pertalian antara
dalil akal dengan dalil syara’, ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi
suatu bangunan, maka dalil syara’ merupakan bangunan itu sendiri.[18]
Istilah
Ahl al-sunnah sudah dipakai sejak
sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi suatu
peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi al-Quran dan al-Hadis, dan apabila tidak didapatinya
maka mereka diam saja, karena tidak berani melampauinya. Mereka lebih terkenal
dengan sebutan ahli hadis. Berbeda dengan ahli ra’yi yang selalu menggunakan
akal pikiran untuk menyelesaikan persoalan. Meskipun pada waktu itu sudah ada
orang yang selalu terikat dengan hadis dalam lapangan fiqih, namun mereka tidak
dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah.[19]
Asy’ariyah
mulai mengalami perkembangan ketika perdana menteri Tugril yang menganut
pandangan Mu’tazilah wafat (1063), dan digantikan oleh Alp Arselan (1063-1092)
yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri. Perdana menteri
baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula aliran ini
cepat berkembang, sedang aliran Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan
sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, diantaranya di Bagdad di mana
al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan
teologi Asy’ariah. Pembesar-pembesar Negara juga menganut aliran Asy’ariah.
Dengan demikian faham-faham Asy’ariah meluas bukan hanya di daerah kekuasaan
Saljuk, tetapi juga di dunia Islam lainnya.[20]
Ahl al-sunnah wal-Jama’ah
pertama-tama dipakai untuk aliran Asy’ariyah, menjadi aliran Theologi Islam.
Akan tetapi kemudian sebutan itu diperluas arti kandungannya, sehingga meliputi
mazhab-mazhab fiqih dan lapangan-lapangan ilmu keislaman lainnya yang tidak tersangkut
dengan paham-paham Mu’tazilah atau aliran lain.[21]
Adapun
arti sebenarnya ahl al-sunnah adalah
Penganut Sunnah Nabi, sedangkan arti wal-Jama’ah
ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. I’tiqad
nabi dan sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Quran dan dalam sunnah Rasul
secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi
kemudian dikumpulkan dirumuskan dengan rapi oleh Abu Hasan al-Asy’ari.[22]
Sedangkan
pemaknaaan yang lebih luas tentang Ahl
al-sunnah wal-Jama’ah adalah:
1.
Orang-orang yang mengetahui benar-benar
soal ketauhidan, kenabian, hukum-hukum janji dan ancaman, pahala dan siksa,
syarat ijtihad, imamah dan pimpinan umat (za’amah) dengan mengikuti metode
aliran mutakalimin sifatiah (yang menetapkan sifat-sifat tuhan) yang tidak
tersangkut dengan paham tasybih dan tahlil serta bid’ah.
2.
Imam-imam dalam fiqih, baik dari ahl al-ra’yi maupun dari ahl al-Hadis, yang menganut
mazhab golongan sifatiah dalam soal-soal pokok agama, mengenai zat tuhan dan
sifat-sifatNya yang azali, dan menjauhkan diri dari paham Qadariah dan
Mu’tazilah, menetapkan adanya ru’yat, (melihat tuhan dengan mata kepala),
kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga, jembatan, syafaat dan pengampunan dosa
selain syirik keadaan pahala ahli surga
dan siksa bagi ahli neraka. Mengikuti khalifah-khalifah yang empat dan memuji ulama
salaf, mengatakan wajib shalat
dan shalat
Jum’at
di belakang imam-imam yang tidak terkena bid’ah dan mengatakan wajibnya
pengambilan hukum (istinbat) dari al-Qur’an, al-hadis, Ijma’. Termasuk dalam golongan
ini pengikut-pengikut Imam Malik, Syafi’i,
Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal.
3.
Mereka yang mengetahui jalan-jalan al-hadis dan atsar yang datang dari nabi,
membedakan antara yang benar dan yang tidak, dan mengetahui sebab-sebab
kebaikan seorang dan kelemahannya (al-jarhu
wat ta’dil), dengan tidak tersangkut kepada bid’ah yang sesat.
4.
Mereka yang mengetahui kebanyakan persoalan
nahwu-sharaf dan mengikuti jejak Imam-imam bahasa (Arab) seperti al-Khalil, Abu
“Amr bin al-A’la, Sibawaihi, al-Farra’, dan ulama-ulama nahwu lainnya, baik dari
aliran Basrah maupun Kufah
5.
Mereka yang mengetahui
macam-macam qiraat Quran dan tafsir ayat-ayatnya serta pena’wilan yang sesuai
dengan aliran Ahl al-sunnah wal-Jama’ah,
bukan ta’wilan orang-orang bid’ah.
6.
Ahli zuhud dan golongan tasawuf yang
giat beramal dengan tidak banyak bicara, menepati ketauhidan dan meniadakan
tasybih, serta menyerahkan diri kepada Tuhan.
7.
Mereka yang bertempat di pos-pos
pertahanan kaum muslimin untuk menjaga keamanan negeri Islam dan
mempertahankannya serta melahirkan mazhab ahl al-sunnah wal-Jama’ah.[23]
Ahl
al-sunnah wal-Jama>’ah memiliki aqidah yang berbeda dengan golongan-golongan
lain, adapun aqidah tersebut adalah;
- Tuhan bisa dilihat diakhirat dengan mata kepala
2.
Sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat
positif atau ma’ani, yaitu kodrat, iradat, dan seterusnya adalah sifat-sifat
yang lain dari zat Tuhan juga lain dari zat
3.
Al-Qur’an sebagai manifestasi Kalamullah yang
qadim adalah Qadim, sedang al-Qur’an yang berupa huruf dan suara adalah
baru.
- Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.
- Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
6.
Tuhan tidak berkewajiban; membuat yang
baik dan yang terbaik, mengutus utusan (Rasul-Rasul), memberi pahala kepada orang yang taat dan
menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
- Tuhan boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.
- Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal semata-mata.
- Pekerjaan manusia Tuhanlah yang menjadikannya.
- Ada syafaat pada hari kiamat.
- Utusannya Nabi Muhammad diperkuat dengan mukjizat-mukjizat.
12. Kebangkitan
diakhirat, pengumpulan manusia, pertanyaan Munkar dan Nakir di kubur,
siksa kubur, timbangan amal perbuatan manusia, jembatan, kesemuanya
adalah benar.
- Surga dan Neraka makhluk kedua-duanya.
- Semua sahabat nabi adil dan baik.
- Sepuluh sahabat nabi yang dijanjikan masuk surga oleh nabi pasti terjadi
- Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
17. Orang
Mukmin yang mengerjakan dosa besar, akan masuk neraka sampai selesai menjalani
siksa dan akhirnya akan masuk surga.[24]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Riwayat hidup tokoh-tokoh Asy’ariyah
diantaranya, pertama, Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim,
yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, di samping sebagai
mutakkalim, beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan menetap di
Baqdad. Kedua, Al-Iman al-Juwaini
yang juga dikenal dengan nama Imam al-Haramaen, mempunyai nama lengkap Abu
al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin
Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih,
beliau bermazhab Syafi'i. Ketiga, Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain
al-Din al-Syarif, Thusiy
dan dipanggil dengan Abu Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup
dalam keluarga yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam.
2.
Peranan dan pandangan tokoh-tokoh
Asy’ariyah dalam proses pengembangan teologinya diantaranya, penjelasan tentang
Wujud Allah, sifat-sifat Allah, teori al-ahwal dan al-kasab, yang dikembangkan
oleh Al-Baqillani dan al-Juwaini dari pemikiran Asy-ari. Sedangkan al-Ghazali
menambahkan teori Causalitas, yang cenderung berbeda dari tokoh-tokoh
Asy’ariyah yang lainnya.
3.
Teologi Asy’ariyah dalam perkembangan
mazhab Ahl al-sunnah wal-Jama>’ah
sangat berpengaruh besar. Hal ini dapat dipahami dari penisbatan istilah ahl
al-sunnah wal-jama>’ah yang semula dikhususkan kepada Asy’ariyah, namun dalam
perkembangannya ahl al-sunnah wal-jamaa>’ah meliputi
mazhab-mazhab fiqih dan lapangan-lapangan ilmu keislaman lainnya yang tidak tersangkut
dengan paham-paham Mu’tazilah atau aliran lain.
B.
Saran
dan kritik
Dalam mengulas dan membahas makalah
ini, penulis banyak mengambil literatur-literatur dari buku-buku bacaan dan
sumber-sumber lainnya.
Namun analisa penulis terhadap sumber yang dimaksudkan memungkinkan terjadinya
bias interpretasi dan kemungkinan tidak persis sama dengan pendapat yang
dikutip.
Oleh karena itu, demi memperkaya
khazanah pengetahuan dan keilmuan seputar sejarah Pemikiran Islam, penulis
mengharapkan saran-saran dan kritik untuk membudayakan tradisi ilmiah. Atas
masukan saran dan kritik yang disampaikan, penulis
mengucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1978.
Abdullah,
Muhammad Ramadhan. al-Baqillani wa Arauhu al-Kalamiah. Baghdad:
Mathba'ah al-Ummah, 1986.
Al-Baqillani,
'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib. al-Inshaf. Tahqiq
‘Imad al-Din Ahmd al-Haidar. Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub, 1986.
Al-Maraghi, Abdullah Musthafa. t.th. Al-Fath
al Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi.
Al-Rifa'i Ishla, Abd al Salam. Taqrib
al-Turats "Ihya Ulum al-Din" li al-Imam al-Ghazali. Cet. I.
Cairo: Markaz al-Ahram li al-Taljamah wa wal-Nasyr, 1988.
Al-Ghazali,
al-Imam. Tahafut al-Falafisah. Tailqiq DR. Solaiman Donya. St. VII.
Cairo: Dar al Ma'arif , 1987.
Al-Taftazani, al-Imam Mas'ud bin Umar
bin Adullah Sa'd al-Din. Syarh al-Maqashid. Tahqiq Abd al-Rahman
'Umairah, juz IV. Cet. I; Beirut: 'Alam al-Kutub, 1989.
Hanafi,
M, Theologi Islam, Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992
Ibnu Katsir. al-Bidayah wa
al-Nihayah. juz VII. Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr I, 1996.
Imarah,
Muhammad. Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq, 1991.
Nasution , Harun, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V, Jakarta: UI Press
Shubhi, Ahmad Mahmud. Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria:
Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah, 1992.
[1]
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa
al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr. 1996, Cet. I, hal. 581
[2]
Muhammad Imarah, Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq, 1991.
Hal. 165
[3]
Ibid, h. 171
[4]
Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Al-Fath al
Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi. t.t. h.
233
[5]
Ibnu katsir, op.cit.. h. 112
[6]
Ibnu katsir, op.cit.. h. 111
[7]
Ibnu Katsir, loc.cit., h. 261
[8]
Abdullah Musthafa Al-Maraghi, op.cit.,
h. 274-275
[9]
Ibid., hal. 8
[10]
Abd. Salam Al-Rifa'i Ishla, Taqrib al-Turats
"Ihya Ulum al-Din" li al-Imam al-Ghazali. Cet. I. Cairo: Markaz
al-Ahram li al-Taljamah wa wal-Nasyr. 1988. h. 31
[11]
Al-Baqillani, 'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib,. al-Inshaf.
Tahqiq ‘Imad al-Din Ahmd al-Haidar. Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub.
1986. h. 43-48
[12]
Muhammad Ramadhan Abdullah, al-Baqillani wa Arauhu al-Kalamiah. Baghdad:
Mathba'ah al-Ummah. 1986. h. 487
[13]
al-Imam Mas'ud bin Umar bin Adullah Sa'd al-Din
Al-Taftazani, Syarh al-Maqashid. Tahqiq Abd al-Rahman 'Umairah, juz IV.
Cet. I; Beirut: 'Alam al-Kutub. 1989. h.
223
[14]
Ahmad Mahmud Shubhi,. 1992. Fi 'Ilm al-Kalam.
juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah. 1992. h. 157
[15] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press, 1986,
Cet. V. h. 72
[16]
Ibid, h. 73.
[17]
Al-Imam al-Ghazali, 1987. Tahafut al-Falafisah. Tailqiq DR. Solaiman
Donya. St. VII. Cairo: Dar al Ma'arif, 1987. h. 239
[19]
Ibid., h. 125.
[20]
Harun Nasution., loc.cit. h. 75
[21]
Ibid., h. 128
[22]
Siradjuddin Abbas, I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1978), h.16
[23]
Harun Nasution., op.cit. h. 128-130
[24]
Ibid., h. 127-128. Bisa juga dilihat dalam bukunya
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah,
(Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1978).