Bab I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang Masalah
Filsafat sebagai sebuah
pengetahuan dengan metode berfikir yang analisis dan kritis sejak kemunculannya
oleh Socrates di Yunani pada mulanya adalah sebagai upaya untuk melakukan
counter attack atas pandangan-pandangan kaum sofis yang berarti bijak atau berilmu pada abad ke-5 sebelum Masehi.[1] Kaum sofis menjadikan tolak ukur kebenaran tergantung dari sebuah argumentasi dengan mengukuhkan sebarang klaim dan menolak segala klaim tandingan. Socrates mencoba memberikan batasan yang tegas sehubungan dengan tolak ukur pengetahuan yang kemudian menyebut dirinya Philosophus; pencinta kebijaksanaan.[2]
counter attack atas pandangan-pandangan kaum sofis yang berarti bijak atau berilmu pada abad ke-5 sebelum Masehi.[1] Kaum sofis menjadikan tolak ukur kebenaran tergantung dari sebuah argumentasi dengan mengukuhkan sebarang klaim dan menolak segala klaim tandingan. Socrates mencoba memberikan batasan yang tegas sehubungan dengan tolak ukur pengetahuan yang kemudian menyebut dirinya Philosophus; pencinta kebijaksanaan.[2]
Perkembangan pemikiran Filsafat di
dunia Eropa ditandai dengan berkembangnya filsafat Skolastik yang dipelopori
oleh kaum gereja. Meskipun dalam pandangan filsafat yang berkembang
bertentangan dengan teologi kaum gereja, akan tetapi seorang Santo Thomas Aquinas
dapat mendamaikan gagasan filsafat dengan ideologi Kristen.[3]
Pertentangan dan perdebatan sengit
antara kaum gerajawan dan ilmuan, membuat filsafat skolastik mengalami
kemandekan, sampai suatu ketika berkembanglah filsafat ilmu yang membagi
pembahasannya dalam Ontologi, Epistemologi dan Axiologi. Gagasan-gagasan
para filosof Muslim seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn Rusyd (Averroes)
awalnya begitu mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat di Eropa, sampai
terjadi perubahan menyeluruh dalam pola pikir dan nilai pengetahuan yang
disebut dengan Renaisans.
Puncaknya ketika Positivisme merambah dunia Eropa yang
dipelopori oleh Auguste Compte, seorang sosiolog asal Perancis pada awal abad
ke-19 yang memberikan gagasan ilmu (sains) yang bersifat mandiri dan terpisah dari
nilai apapun. Dari analisis tersebut, dalam makalah ini akan dibahas salah satu
bagian dari filsafat Ilmu yaitu axiologi yang berkenaan dengan masalah
bebas nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
B.
Rumusan dan batasan Masalah
Dalam makalah ini, akan diuraikan
beberapa rumusan dan batasan masalah sebagai berikut :
1.
Pengertian Bebas Nilai
dalam Ilmu Pengetahuan
2.
Paradigma Bebas Nilai
dalam Ilmu Pengetahuan
3.
Jalan Keluar mengatasi
Pandangan Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
C.
Tujuan Pembahasan
Pembahasan yang menyangkut Masalah
Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dalam makalah ini bertujuan untuk :
1.
Memahami pengertian
Bebas Nilai dalam Ilmu pengetahuan.
2.
Mengetahui landasan
paradigma yang dimiliki menyangkut Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
3.
Menemukan jalan keluar
atas pandangan Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
Bab
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bebas Nilai
dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam bahasa
Inggris bebas nilai disebut dengan value free, bahwa ilmu dan
juga tekhnologi bersifat otonom untuk dikembangkan
dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar Ilmu
pengetahuan.[4]
Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali denga nilai.
Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu.
Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmiah
harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu
pengetahuan, tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain
diluar ilmu pengetahaun.
Kriteria yang menentukan apakah sebuah
kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang
peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip
bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri.[5]
Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan.
Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas
nilai (value-neutral).
B.
Paradigma Bebas Nilai
dalam Ilmu Pengetahuan
Madzhab
positivistime, sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang dalam alur
sejarahnya sendiri. Madzhab pemikiran ini berkembang sebagai bagian dari
upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara
memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi
bebas-kepentingan (sikap teoritis murni).
Akar
sejarah perkembangan madzhab positivisme dapat diruntut dari mulai munculnnya
pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani yang bermaksud melakukan
demitologisasi pemikiran-pemikiran mistis. Sebelum munculnya pemikiran
filosofis ini, kebutuhan untuk memperoleh pengetahuan yang benar telah ada
dalam tradisi pemikiran Yunani purba.
Pada
masa itu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar, dilakukan dengan
mempertautkan antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari, yang
senantiasa mengacu pada cita-cita etis, seperti: kebaikan, kebijaksanaan atau
kehidupan sejati, baik secara individual maupun secara kolektif, di dalam polis
(negara kota). Melalui teori, manusia memperoleh suatu orientasi untuk
bertindak secara tepat, sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan
kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, dalam tradisi
pemikiran Yunani purba, pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan konkret.
Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu tertuang secara padat dalam
istilah bios theoretikos. [6]
Bios
theoretikos merupakan suatu bentuk kehidupan,
suatu “jalan” untuk mengolah dan mendidik jiwa, dengan membebaskan manusia dari
perbudakan dan doxa[7]
dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup.
Dalam
filsafat modern. Pada jalur pertama tampil aliran rasionalisme, yang dirintis
oleh René Descartes, dan kemudian diikuti oleh Malebrache, Spinoza, Leibniz,
dan Wolf. Para pendukung aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan sejati
dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat a-priori, yang
teraplikasi dalam bentuk pernyataan logis dan matematis. Pengetahuan
murni semacam ini disebut pengetahuan trensedental, karena mengatasi pengamatan
empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia
bersifat universal dan trans-historis.
Pada
jalur lain tampil aliran empirisme yang didukung oleh para pemikir seperti
Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati
dapat diperoleh hanya melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat a-posteriori.
Teori ilmiah semacam ini dapat diperoleh melalui “evidensi pengamatan
indrawi”. Meskipun kedua aliran tersebut menawarkan cara berbeda untuk
memperoleh pengetahuan murni, akan tetapi keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa
teori murni hanya mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari
dorongan dan kepentingan manusia.[8]
Upaya-upaya
untuk melakukan pemisahan antara teori dengan praxis tersebut semakin
mendapatkan bentuknya ketika Francis Bacon berupaya meninggalkan ilmu
pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut Bacon, hakikat
pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui
persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut
pengalaman.
Bacon
berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat partikular akan
menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin bahwa pengalaman
adalah sumber pengetahuan sejati. Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon
merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi
yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang teliti
dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio
dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura).
Puncak
pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab
positivisme yang dirintis oleh Auguste Compté. Filsafat Compte adalah
filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance,
dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh
karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang
dulunya menjadi refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang
kenyataan.
Manusia
bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh
orotitas yang manapun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali
otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance
itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung, yang ternyata
telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri
atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa
depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya
dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk
menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi.
Semenjak
itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu
pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi
kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern
yang mereka miliki, sebagaimana dapat dilihat sekarang ini. [9]
watak
sains modern adalah “netral”, yaitu tidak berprasangka, tidak memberikan
penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi.
Watak-watak objektivistis semacam ini, secara meyakinkan melekat pada ilmu-ilmu
alam, dan secara tegas dibedakan dengan etika, yang justru berciri preskriptif,
personal dan menilai tindakan. Dengan watak-watak macam ini, sains
merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar dikalangan komunitas
ilmiah, seperti sikap toleran, tak memihak, rasional dan demokratis, karena
penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif
yang tidak tergantung pada perspektif, dan autoritas subjektif.
Asumsi inilah yang kemudian oleh Tom Sorrel disebut saintisme, atau menjelma
menjadi ideologi sebagaimana dikemukan oleh Herbert Marcuse.[10]
Berubahnya
positivisme menjadi saintisme, berawal bergesernya pendulum epistemologi, dari
subjek (yang dipergunakan oleh Renĕ Descrates sebagai tokoh aliran
rasionalisme, menjadi objek. Kondisi ini tidak hanya mereduksi manusia
ke matra objektifnya, tetapi karena terjadi fragmentasi ilmu-ilmu terjadi juga
fragmentasi kenyataan, yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan
tentang manusia.[11]
Menurut
Herbert Marcuse teknologi dan ilmu pengetahuan bukan lagi dipandang sebagai
salah satu teori tentang pengetahuan, akan tetapi telah berubah menjadi cara
berfikir masyarakat (yaitu cara berpikir yang positif), Ilmu pengetahuan dan
teknologi telah menjadi ideologi, karena telah menjelma menjadi sistem total
yang melegitimasi masyarakat dan keadaannya. Ilmu ditempatkan sebagai
satu-satunya penafsir realitas dan kebenaran, dan menjadi sistem pandangan
dunia yang menyeluruh.
C.
Jalan keluar Mengatasi
Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
Filsafat sebagai “phylosophy of life”
mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan berfungsi sebagai
pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori
nilai berfungsi mirip dengan agama yang
menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan
bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai,
bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan,
bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan-
kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami
perubahan. Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah
berlandaskan pada asas-asas moral.
Ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat
atau mengubah hakikat kemanusiaan, dengan pertimbangan; (1) ilmu secara faktual
telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya
dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu
telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah
penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. [12]
Jalan keluar dari Bebas Nilai dalam
ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dengan dua cara berikut :
a.
Context of Discovery
Menyangkut konteks dimana ilmu
pengetahuan ditemukan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan
berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang
dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan tidak muncul
secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak
dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang
sekaligus sangat mempengaruhi nilai obyektifnya dan sejauhmana ia dapat
mengungkapkan realitas (kebenaran). [13]
b. Context of Justification.
Menyangkut konteks dimana kegiatan
ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni
ilmiah. Kegiatan
ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni
ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan
metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan
lain di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris
dan penalaran logis – rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau
teori, semua faktor ekstra ilmiah harus
ditinggalkan dan yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran
logis-rasional. Satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai
kebenaran pada hal-hal yang dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.[14]
Dari sintesis ini dapat dipahami bahwa
dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi
dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam
context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai
nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification,
satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu
berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
Lalu, apakah perdebatan tentang
masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk
dibicarakan? Jawabannya adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan
yang mendukung. Alasan pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu
pengetahuan memiliki tujuan yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan
murni ilmiah. Harapannya, ilmu pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan
alat bagi pihak tertentu yang ingin melegitimasikan otoritas demi
kepentingannya semata. Kedua, perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu
pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya check and balances, yang
bisa ditinjau dengan sintesis context of discovery maupun context of
justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran ilmuwan agar
tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat destruktif, tetapi
juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal
tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu pengetahuan, hanya
untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus diwujudkan, tapi apakah perlu,
tentunya itu dikembalikan kepada para ilmuwan sendiri.
Bab
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, berkenaan dengan
masalah bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Bebas Nilai disebut dengan value free, yang
mengandung pengertian bahwa ilmu dan
juga tekhnologi bersifat otonom untuk dikembangkan
dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar Ilmu
pengetahuan.
2.
Paradigma Bebas Nilai
dalam Ilmu Pengetahuan dipengaruhi oleh pandangan Positivisme Auguste Compte
sebagai upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara
memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi
bebas-kepentingan (sikap teoritis murni). Berkembangnya Renaisance dan Aufklarung
dan penegasan Francis Bacon merupakan landasan perkembangnya Positivisme
menjadi saintisme. Yang selanjutnya menjadi ideologi positif bebas Nilai.
3.
Untuk mengatasi
masalah bebas Nilai dalam Ilmu pengetahuan dapat di lihat dari dua kontek,
yaitu : (1) context of discovery,
ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, yang berarti ilmu pengetahuan mau tidak mau
peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan. (2) context of
justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. satu-satunya yang
menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan
bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
B.
Saran dan kritik
Dalam Makalah ini, penulis
menggunakan referensi yang mendukung argumentasi berupa buku-buku terkait
pembahasan, sumber bacaan internet serta analisis penulis terhadap pokok
pembahasan.
Walaupun demikian, penulis
menyadari sangat besar kemungkinan pembahasan dalam makalah ini masih
membutuhkan perbaikan berupa saran-saran dan kritikan yang bersifat konstruktif.
Harapannya dengan adanya saran dan kritikan terhadap makalah ini, dapat
dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
KEPUSTAKAAN
Ash-Shadr,
Muhammad Baqir. Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir ash-Shadr terhadap
Pelbagai Aliran Filsafat Dunia. diterjemahkan
dari Falsafatuna: Dirasah Mawdhu’iyyah fi Mu’tarak al-Shira’ al-Fikriy
al-Qaim baina Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islamiyyah
wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah), oleh M. Nur Mufid bin
Ali. Bandung : Penerbit Mizan, cet. VII,
1999.
Gharawiyan,
Mohsen. Pengantar Memahami Buku Daras
Filsafat Islam, diterjemahkan dari Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe,
terbitan Instisyarat-e Syefq, Qum.Iran, oleh Muhammad Nur Djabir. Jakarta: Sadra Press, Cet. I, 2012.
Hardiman, F. Budiman. Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas, Yogyarakta : Penerbit Kanisius. 2003.
____________________, Kritik Ideologi : Menyingkap
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Yogyarakta :
Penerbit Kanisius, 2009.
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan
Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Kanisius
Situmorang,
Joseph MMT. “Ilmu Pengetahuan dan
Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Wartaya, W.Y., Ilmu dan Teknologi
sebagai Kerangka Budaya Modern, Majalah Basis. Agustus. 1987.
Wibisono, Koento. Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan, dalam
Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam
Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.
Yazdi, M.T. Misbah. Philosophichal
Instructions: an Introductions to Contemporary Islamic Philosophy,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dan Saleh Baqir dengan
judul “Buku Daras Filsafat Islam”, Jakarta: Shadra Press. Cet. I.
2010.
[1] M.T. Misbah Yazdi, Philosophichal
Instructions: an Introductions to Contemporary Islamic Philosophy,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dan Saleh Baqir dengan
judul “Buku Daras Filsafat Islam”, 2010. Jakarta: Shadra Press.
Cet. I. h. 2
[2] Ibid., h. 3
[3] Op.cit., h. 12
[4] A. Sonny Keraf & Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Kanisius. H. 149
[5] Joseph MMT
Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah
Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[6] F. Budiman Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Yogyarakta :
Penerbit Kanisius, 2009. h. 21-22.
[7] Anis Chariri, Critical
Theory, http://74.125.153.132/
search?,
Semarang
: Fakultas Ekonomi UNDIP, h. 15
[9] KoentoWibisono,
Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan, dalam Karim, Rusli, M. &
Ridjal Fauzi (Ed.). Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1992, h. 104.
[10] W.Y.
Wartaya, Ilmu dan Teknologi sebagai Kerangka Budaya Modern, Majalah
Basis. Agustus. 1987, h. 308.
[11] F.
Budiman Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosois
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyarakta : Penerbit
Kanisius. 2003., h. 53.
[12] Jujun
S, Suriasumantri , Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002. h. 234
[13] Muhammad
Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir ash-Shadr terhadap
Pelbagai Aliran Filsafat Dunia. diterjemahkan
dari Falsafatuna: Dirasah Mawdhu’iyyah fi Mu’tarak al-Shira’ al-Fikriy
al-Qaim baina Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islamiyyah
wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah), oleh M. Nur Mufid bin
Ali. Bandung : Penerbit Mizan, cet. VII,
1999. h. 64
[14] Mohsen
Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, diterjemahkan
dari Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe, terbitan Instisyarat-e Syefq, Qum.Iran,
oleh Muhammad Nur Djabir. Jakarta:
Sadra Press, Cet. I, 2012. h. 67
1 komentar:
komentarterimakasih gan, pas banget tulisannya karena ada referensinya www.rangkumanmakalah.com
Reply