MASALAH BEBAS NILAI DALAM ILMU PENGETAHUAN



Bab I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah

Filsafat sebagai sebuah pengetahuan dengan metode berfikir yang analisis dan kritis sejak kemunculannya oleh Socrates di Yunani pada mulanya adalah sebagai upaya untuk melakukan
counter attack atas pandangan-pandangan kaum sofis yang berarti bijak atau berilmu pada abad ke-5 sebelum Masehi.[1] Kaum sofis menjadikan tolak ukur kebenaran tergantung dari sebuah argumentasi dengan mengukuhkan sebarang klaim dan menolak segala klaim tandingan. Socrates mencoba memberikan batasan yang tegas sehubungan dengan tolak ukur pengetahuan yang kemudian menyebut dirinya Philosophus; pencinta kebijaksanaan.[2]
Masalah nilai pengetahuan pada awal perkembangan bersandar pada pandangan-pandangan yang bersifat mistis dan metafisika, keberadaan kaum sofislah yang selanjutnya memberi pengaruh pada nilai pengetahuan pada masa yunani kuno. Perkembangan pemikiran Filsafat diera Aristoteles lebih mempertegas lagi eksistensi nilai pengetahuan sebagai pandangan yang mempengaruhi kebenaran sebuah argumentasi, hal ini dapat dilihat dalam karya monumental Aristoteles dalam kitab Organon, yang merupakan karya yang lebih sistematis dalam menyusun kerangka logika dan filsafat.
Perkembangan pemikiran Filsafat di dunia Eropa ditandai dengan berkembangnya filsafat Skolastik yang dipelopori oleh kaum gereja. Meskipun dalam pandangan filsafat yang berkembang bertentangan dengan teologi kaum gereja, akan tetapi seorang Santo Thomas Aquinas dapat mendamaikan gagasan filsafat dengan ideologi Kristen.[3]
Pertentangan dan perdebatan sengit antara kaum gerajawan dan ilmuan, membuat filsafat skolastik mengalami kemandekan, sampai suatu ketika berkembanglah filsafat ilmu yang membagi pembahasannya dalam Ontologi, Epistemologi dan Axiologi.  Gagasan-gagasan para filosof Muslim seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn Rusyd (Averroes) awalnya begitu mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat di Eropa, sampai terjadi perubahan menyeluruh dalam pola pikir dan nilai pengetahuan yang disebut dengan Renaisans.
Puncaknya ketika Positivisme merambah dunia Eropa yang dipelopori oleh Auguste Compte, seorang sosiolog asal Perancis pada awal abad ke-19 yang memberikan gagasan ilmu (sains) yang bersifat mandiri dan terpisah dari nilai apapun. Dari analisis tersebut, dalam makalah ini akan dibahas salah satu bagian dari filsafat Ilmu yaitu axiologi yang berkenaan dengan masalah bebas nilai dalam Ilmu Pengetahuan.

B.     Rumusan dan batasan Masalah
Dalam makalah ini, akan diuraikan beberapa rumusan dan batasan masalah sebagai berikut :
1.      Pengertian Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
2.      Paradigma Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
3.      Jalan Keluar mengatasi Pandangan Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan

C.     Tujuan Pembahasan
Pembahasan yang menyangkut Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dalam makalah ini bertujuan untuk :
1.      Memahami pengertian Bebas Nilai dalam Ilmu pengetahuan.
2.      Mengetahui landasan paradigma yang dimiliki menyangkut Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
3.      Menemukan jalan keluar atas pandangan Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.

Bab II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan

Dalam bahasa Inggris bebas nilai disebut dengan value free, bahwa ilmu dan juga tekhnologi bersifat otonom untuk dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar Ilmu pengetahuan.[4] Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali denga nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain diluar ilmu pengetahaun.
Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[5] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).

B.     Paradigma Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Madzhab positivistime, sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang dalam alur sejarahnya sendiri.  Madzhab pemikiran ini berkembang sebagai bagian dari upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni).
Akar sejarah perkembangan madzhab positivisme dapat diruntut dari mulai munculnnya pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani yang bermaksud melakukan demitologisasi pemikiran-pemikiran mistis.  Sebelum munculnya pemikiran filosofis ini, kebutuhan untuk memperoleh pengetahuan yang benar telah ada dalam tradisi pemikiran Yunani purba.
Pada masa itu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar, dilakukan dengan mempertautkan antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari, yang senantiasa mengacu pada cita-cita etis, seperti: kebaikan, kebijaksanaan atau kehidupan sejati, baik secara individual maupun secara kolektif, di dalam polis (negara kota). Melalui teori, manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat, sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan konkret. Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu tertuang  secara padat dalam istilah bios theoretikos. [6]
Bios theoretikos merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu “jalan” untuk mengolah dan mendidik jiwa, dengan membebaskan manusia dari perbudakan dan doxa[7] dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup.
Dalam filsafat modern. Pada jalur pertama tampil aliran rasionalisme, yang dirintis oleh René Descartes, dan kemudian diikuti oleh Malebrache, Spinoza, Leibniz, dan Wolf.  Para pendukung aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat a-priori, yang teraplikasi dalam bentuk pernyataan logis dan matematis. Pengetahuan murni semacam ini disebut pengetahuan trensedental, karena mengatasi pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah.  Pengetahuan manusia bersifat universal dan trans-historis.  
Pada jalur lain tampil aliran empirisme yang didukung oleh para pemikir seperti Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat a-posteriori. Teori ilmiah semacam ini dapat diperoleh melalui “evidensi pengamatan indrawi”. Meskipun kedua aliran tersebut menawarkan cara berbeda untuk memperoleh pengetahuan murni, akan tetapi keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa teori murni hanya mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusia.[8]
Upaya-upaya untuk melakukan pemisahan antara teori dengan praxis tersebut semakin mendapatkan bentuknya ketika Francis Bacon berupaya meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman.
Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati. Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura).
Puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab positivisme yang dirintis oleh Auguste Compté.  Filsafat Compte adalah filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance, dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.
Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas yang manapun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung, yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi.
Semenjak itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka miliki, sebagaimana dapat dilihat sekarang ini. [9]
watak sains modern adalah “netral”, yaitu tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Watak-watak objektivistis semacam ini, secara meyakinkan melekat pada ilmu-ilmu alam, dan secara tegas dibedakan dengan etika, yang justru berciri preskriptif, personal dan menilai tindakan.  Dengan watak-watak macam ini, sains merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar dikalangan komunitas ilmiah, seperti sikap toleran, tak memihak, rasional dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini  adanya kebenaran objektif  yang tidak tergantung pada perspektif, dan autoritas subjektif.  Asumsi inilah yang kemudian oleh Tom Sorrel disebut saintisme, atau menjelma menjadi ideologi sebagaimana dikemukan oleh Herbert Marcuse.[10]
Berubahnya positivisme menjadi saintisme, berawal bergesernya pendulum epistemologi, dari subjek (yang dipergunakan oleh Renĕ Descrates sebagai tokoh aliran rasionalisme, menjadi objek.   Kondisi ini tidak hanya mereduksi manusia ke matra objektifnya, tetapi karena terjadi fragmentasi ilmu-ilmu terjadi juga fragmentasi kenyataan, yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan tentang manusia.[11]
Menurut Herbert Marcuse teknologi dan ilmu pengetahuan bukan lagi dipandang sebagai salah satu teori tentang pengetahuan, akan tetapi telah berubah menjadi cara berfikir masyarakat (yaitu cara berpikir yang positif), Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi ideologi, karena telah menjelma menjadi sistem total yang melegitimasi masyarakat dan keadaannya. Ilmu ditempatkan sebagai satu-satunya penafsir realitas dan kebenaran, dan menjadi sistem pandangan dunia yang menyeluruh.

C.     Jalan keluar Mengatasi Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
Filsafat  sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang  menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan  lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan. Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral.
Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan, dengan pertimbangan; (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. [12]
Jalan keluar dari Bebas Nilai dalam ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dengan dua cara berikut :
a. Context of Discovery
Menyangkut konteks dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat mempengaruhi nilai obyektifnya dan sejauhmana ia dapat mengungkapkan realitas (kebenaran). [13]
b.  Context of Justification.
Menyangkut konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis – rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori, semua faktor ekstra ilmiah harus ditinggalkan dan yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional. Satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran pada hal-hal yang dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.[14]
Dari sintesis ini dapat dipahami bahwa dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
Lalu, apakah perdebatan tentang masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk dibicarakan? Jawabannya adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan yang mendukung. Alasan pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang ingin melegitimasikan otoritas demi kepentingannya semata. Kedua, perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya check and balances, yang bisa ditinjau dengan sintesis context of discovery maupun context of justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu pengetahuan, hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus diwujudkan, tapi apakah perlu, tentunya itu dikembalikan kepada para ilmuwan sendiri.


Bab III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
 Dari pembahasan sebelumnya, berkenaan dengan masalah bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Bebas Nilai disebut dengan value free, yang mengandung pengertian bahwa ilmu dan juga tekhnologi bersifat otonom untuk dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar Ilmu pengetahuan.
2.      Paradigma Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dipengaruhi oleh pandangan Positivisme Auguste Compte sebagai upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni). Berkembangnya Renaisance dan Aufklarung dan penegasan Francis Bacon merupakan landasan perkembangnya Positivisme menjadi saintisme. Yang selanjutnya menjadi ideologi  positif  bebas Nilai.
3.      Untuk mengatasi masalah bebas Nilai dalam Ilmu pengetahuan dapat di lihat dari dua kontek, yaitu : (1) context of discovery, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, yang berarti ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan. (2) context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.

B.   Saran dan kritik
Dalam Makalah ini, penulis menggunakan referensi yang mendukung argumentasi berupa buku-buku terkait pembahasan, sumber bacaan internet serta analisis penulis terhadap pokok pembahasan.
Walaupun demikian, penulis menyadari sangat besar kemungkinan pembahasan dalam makalah ini masih membutuhkan perbaikan berupa saran-saran dan kritikan yang bersifat konstruktif. Harapannya dengan adanya saran dan kritikan terhadap makalah ini, dapat dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.




KEPUSTAKAAN

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia.  diterjemahkan dari Falsafatuna: Dirasah Mawdhu’iyyah fi Mu’tarak al-Shira’ al-Fikriy al-Qaim baina Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islamiyyah wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah), oleh M. Nur Mufid bin Ali.  Bandung : Penerbit Mizan, cet. VII, 1999. 

Chariri, Anis. Critical Theory, http://74.125.153.132/ search?, Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP.

Gharawiyan, Mohsen.  Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, diterjemahkan dari Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe, terbitan Instisyarat-e Syefq, Qum.Iran, oleh Muhammad Nur Djabir.  Jakarta: Sadra Press, Cet. I, 2012.

Hardiman, F. Budiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyarakta : Penerbit Kanisius. 2003.

__________________­­__, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Yogyarakta : Penerbit Kanisius, 2009.

Keraf, A. Sonny  & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Kanisius

Situmorang, Joseph  MMT. “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4.

Suriasumantri, Jujun S.,  Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002. 

Wartaya, W.Y., Ilmu dan Teknologi sebagai Kerangka Budaya Modern, Majalah Basis. Agustus. 1987.

Wibisono, Koento.  Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan, dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.

Yazdi, M.T. Misbah. Philosophichal Instructions: an Introductions to Contemporary Islamic Philosophy, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dan Saleh Baqir dengan judul “Buku Daras Filsafat Islam”, Jakarta: Shadra Press. Cet. I. 2010.


[1] M.T. Misbah Yazdi, Philosophichal Instructions: an Introductions to Contemporary Islamic Philosophy, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dan Saleh Baqir dengan judul “Buku Daras Filsafat Islam”, 2010. Jakarta: Shadra Press. Cet. I. h. 2
[2] Ibid., h. 3
[3] Op.cit., h. 12
[4] A. Sonny  Keraf & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Kanisius. H. 149
[5] Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[6] F. Budiman Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Yogyarakta : Penerbit Kanisius, 2009. h. 21-22.
[7] Anis Chariri, Critical Theory, http://74.125.153.132/ search?, Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP, h. 15
[8] Ibid. Hal 24-25
[9] KoentoWibisono, Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan, dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992, h. 104.
[10] W.Y. Wartaya, Ilmu dan Teknologi sebagai Kerangka Budaya Modern, Majalah Basis. Agustus. 1987, h. 308.

[11] F. Budiman Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosois tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyarakta : Penerbit Kanisius. 2003., h. 53.

[12] Jujun S, Suriasumantri , Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.  h. 234

[13] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia.  diterjemahkan dari Falsafatuna: Dirasah Mawdhu’iyyah fi Mu’tarak al-Shira’ al-Fikriy al-Qaim baina Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islamiyyah wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah), oleh M. Nur Mufid bin Ali.  Bandung : Penerbit Mizan, cet. VII, 1999.  h. 64
[14] Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, diterjemahkan dari Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe, terbitan Instisyarat-e Syefq, Qum.Iran, oleh Muhammad Nur Djabir.  Jakarta: Sadra Press, Cet. I, 2012. h. 67

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

komentar
14 January 2015 at 11:41 delete

terimakasih gan, pas banget tulisannya karena ada referensinya www.rangkumanmakalah.com

Reply
avatar

peradaban dapat tercipta dengan dialog