I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Oleh karenanya Pendidikan Jarak Jauh memiliki karakteristik
terbuka, belajar mandiri, belajar tuntas, menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) , dan/atau menggunakan teknologi lainnya. Melalui sistem PJJ,
setiap orang dapat memperoleh akses terhadap pendidikan berkualitas tanpa harus
meninggalkan keluarga, rumah, pekerjaan, dan tidak kehilangan kesempatan
berkarir. Sifat masal sistem PJJ dalam mendistribusikan pendidikan berkualitas yang
terstandar dengan menggunakan TIK, standarisasi capaian pembelajaran (learning
outcomes), materi ajar, proses pembelajaran, bantuan belajar, dan
evaluasi pembelajaran, menjadikan pendidikan berkualitas dapat diperoleh
berbagai kalangan lintas ruang dan waktu.
Sementara disatu sisi praktek kelas Jauh (Distant Class) dianggap sangat
berpengaruh terhadap menurunnya kualitas atau mutu pendidikan. Penyelenggaraan program pendidikan dengan menggunakan
sistem kelas jauh menunjukkan adanya indikasi longgarnya pengawasan yang
dilakukan pemerintah maupun lembaga yang berkompeten untuk melakukan kegiatan
tersebut. Lemahnya kontrol terhadap proses akademik dalam penyelenggaraan
pendidikan pada akhirnya dapat menurunkan kualitas lulusan. Karena
orientasi yang akan muncul bagi peminat adalah bagaimana mereka memperoleh secarik
kertas (ijazah) dengan waktu yang secepatnya, sehingga dapat dengan cepat pula
menyesuaikan diri untuk kepentingan peningkatan pangkat-jabatan (bagi PNS) atau
prestise di masyarakat (bagi non- PNS), sementara bagi
penyelenggaranya adalah bagaimana dapat merekrut sebanyak-banyaknya peminat dan
meluluskan dengan secepat-cepatnya sehingga mendapatkan keuntungan secara
ekonomi yang sebesar-besarnya, karena segala kebutuhan pembelajaran (pembiayaan
perkuliahan tatap muka) dapat diefesiensikan. Demikianlah jika prinsip ekonomi
yang digunakan sebagai paradigma berpikirnya. Sementara aturan dan norma
akademik akan terabaikan.[5]
Pemikiran tersebut, tentunya tidak sejalan dengan tujuan
pendidikan sebagai proses pembudayaan dan juga tujuan pendidikan nasional yang
menghendaki adanya ”kecerdasan bangsa” yang dilandaskan pada pancasila dan UUD
1945 serta pula bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan
tinggi.
Dengan mempertimbangkan masalah
tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Jarak jauh (Distance Education) dengan Kelas Jauh (Distant Class), serta perbandingan
diantara keduanya.
B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan
landasan analisa latar belakang masalah, dalam makalah ini akan membatasi pembahasannya
sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud Pendidikan Jarak Jauh (Distance Education) dengan Kelas Jauh (Distant
Class) ?
2.
Bagaimanakah Karakteristik pendidikan
Jarak Jauh (Distance
Education) dengan
Kelas Jauh (Distant Class) ?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan dalam
makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Pendidikan Jarak Jauh (Distance Education) dengan
Kelas Jauh (Distant Class).
3.
Untuk
mengetahui
perbedaan Karakteristik pendidikan Jarak Jauh (Distance Education) dengan Kelas Jauh (Distant
Class) ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Jarak Jauh (Distance Education) dengan
Kelas Jauh (Distant Class)
Secara konseptual, Pendidikan jarak jauh (Distance Education)[6]
dapat dipersepsi dari dua aspek, yaitu
aspek institusional dan aspek personal.
Aspek institusional, berkenaan dengan tugas dan kewenangan
institusi/organisasi/lembaga penyelenggara PJJ untuk mengembangkan sistem,
desain,
mekanisme atau proses yang dibutuhkan oleh peserta didik agar komunikasi dan
interaksi pembelajaran terjadi. Dari aspek ini, PJJ dapat dimaknai sebagai
“sebuah sistem dan proses pendidikan yang antara pendidik peserta didik
terpisahkan oleh ruang dan/atau waktu, dan pembelajarannya menggunakan
multi-media dan multi-sumber. Oleh sebab itu, institusi/organisasi/lembaga penyelenggara
PJJ harus senantiasa update
terhadap perkembangan teknologi dan kemungkinan
pemanfaatannya untuk pembelajaran. Fokus kajian PJJ dalam hal ini adalah pada
berbagai dimensi pemanfaatan medium teknologi, seperti media cetak, dan televisi,
video, komputer, internet, dll untuk mendukung implementasi PJJ.[7]
Aspek personal, Dari aspek ini, PJJ dapat
dimaknai sebagai “sebuah sistem dan proses pendidikan yang menekankan pada
proses belajar mandiri (independent
learning), yaitu proses
atau aktivitas belajar secara individual (individual learning) dan/atau berkelompok (cooperative learning). Belajar mandiri ini didasarkan pada kemauan, kesiapan dan
kemampuan peserta didik untuk belajar secara terkontrol, terarah/terbimbing (self-directed learning), serta atas inisiatif dan prakarsa sendiri.[8]
Dalam PJJ, kemandirian belajar ini masih problematik, dan sejumlah
studi menunjukkan bahwa kemandirian belajar merupakan variabel terpenting bagi
kesuksesan peserta didik dalam PJJ[9]
Pembentukannya banyak dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti: konsep diri (self concept); daya tahan belajar (learning resistance); kesiapan belajar (learning readiness); kendali belajar (learning control); atensi belajar (learning attention) atau derajat kepentingan peserta didik atas komponen kegiatan
belajarnya; kemampuan melakukan kontrak belajar (learning contract) sesuai dengan kapasitas, sasaran, dan cara
belajarnya.
Kelas jauh (distant Class) dapat diartikan sebagai proses
pembelajaran pendidikan yang diselenggarakan pada tempat dan proses yang
berbeda jauh dengan lembaga asalnya. Di luar negeri memang terdapat model
belajar kelas jauh namun kultur akademik tetap dijaga, dan ini berbeda dengan
yang banyak terjadi di Indonesia yang sering disalahgunakan, karena
orientasinya kebanyakan untuk kepentingan mendapatkan ijazah semata. Sehingga
prosesnya serba instan dan dengan memberikan berbagai kemudahan.
Pelaksanaan kelas jauh di Indonesia
dicontohkan, misalnya sebuah universitas di kota X membuka kelas di kota
Y. Karena jarak yang jauh, sedangkan biaya harus tetap terjangkau,
penyelenggaraannya biasanya mengorbankan aspek akademis. Jika satu semester
menurut standar 16 kali pertemuan, biasanya dikurangi hingga 4 atau 8 pertemuan
saja. Selain itu, dosen dari universitas X biasanya hanya datang beberapa kali
saja, sehingga kualitas akademiknya jauh di bawah standar.[10]
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa Pendikan
Jarak Jauh (distance Education) adalah
sebuah sistem dan proses pendidikan yang
antara pendidik peserta didik terpisahkan oleh ruang dan/atau waktu, dan
pembelajarannya menggunakan multi-media dan multi-sumber dengan menekankan pada
proses belajar mandiri (independent
learning), yaitu proses
atau aktivitas belajar secara individual (individual learning) dan/atau berkelompok (cooperative learning). Sedangkan Kelas Jauh (distant
Class) proses pembelajaran pendidikan
yang diselenggarakan pada tempat dan proses yang berbeda jauh dengan lembaga
asalnya.
B.
Karakteristik pendidikan Jarak Jauh (Distance
Education) dengan Kelas Jauh (Distant
Class).
Pendidikan
Jarak Jauh (distance education)
dengan Kelas Jauh (distant class)
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya memiliki pengertian yang berbeda,
sehingga tentunya dengan adanya perbedaan tersebut meniscayakan bahwa pola dan
sistem dari keduanya juga berbeda.
Adapun
karakteristik atau ciri-ciri Pendidikan Jarak Jauh (distance education) dengan Kelas Jauh (distant class) akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Karakteristik Pendidikan Jarak
Jauh (Distance Education)
Dalam perkembangannya Pendidikan Jarak
Jauh (distance education) memiliki evolusi karakteristik sampai delapan
generasi. Perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan tekhnologi
informasi dan komunikasi sebagai media dalam penerapan Pendidikan Jarak Jauh (distance education) tersebut.
Generasi
pertama, adalah
“correspondence model”[11]
yaitu model pembelajaran yang dicirikan oleh kombinasi penggunaan media cetak
dan layanan pos, yaitu mengirimkan bahan-bahan belajar tercetak kepada siswanya
secara berkala dengan bantuan jasa layanan pos.[12]
Generasi kedua, adalah “multi-media model”, yang mengintegrasikan penggunaan berbagai media pembelajaran
yaitu surat-menyurat atau korespondensi; buku teks standar yang secara khusus
didesain untuk kepentingan PJJ; koleksi bahan-bahan bacaan seperti jurnal; dan
didukung oleh penggunaan televisi; radio; media-rekam seperti kaset video; dan
pembelajaran berbasis komputer.[13]
Generasi ketiga, adalah “tele-learning model”, dicirikan oleh pembelajaran secara “synchronous”, yaitu pembelajaran yang dilakukan melalui
penggunaan teknologi interaktif seperti komputer, internet (instant messaging
atau live chat, webinar)
dan video conference, yang memungkinkan pembelajar dan pebelajar dapat berkolaborasi dan
belajar secara real time (seakan-akan antara keduanya belajar hal yang sama,
pada saat yang sama, dan di tempat yang sama pula).[14]
Generasi keempat, adalah “flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan komunikasi secara “asynchronous”, yaitu pembelajaran secara jarak jauh
menggunakan sumber belajar online
(internet atau website), atau menggunakan komputer via sistem jawab otomatis (automated-response system), korespondensi via e-mail, konferensi via
komputer, layanan online dengan sistem bulletin board (BBS), atau multimedia interaktif lainnya. Di dalam model ini,
pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat
dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pelajar (learner).[15]
Generasi Kelima, “intelligent flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan komunikasi secara “asynchronous”,
melalui pemanfaatan internet/website,
media jejaring sosial, dan
perangkat multimedia seperti YouTube. Seperti pada generasi ke-4, di dalam model ini, pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara fleksibel dalam hal tempat dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pebelajar (learner).[16]
Generasi Keenam, adalah “electronic learning atau e-learning” yaitu pembelajaran secara online (online learning) melalui pemanfaatan penuh teknologi
Internet (website) untuk memperoleh sumber-sumber belajar,
komunikasi, maupun berbagai model pembelajaran.[17]
Generasi Ketujuh, adalah “mobile learning atau m-learning” yaitu penggunaan teknologi digital
berperangkat wireless (handphone,
personal digital assistants (PDAs), Pocket PC, atau laptop computers, smartphones, WAP, GPRS, dan (UMTS telephones) untuk memperoleh sumber-sumber belajar,
komunikasi,maupun berbagai model pembelajaran.[18]
Generasi kedelapan, adalah “multi-generational model” yaitu penggunaan secara terintegrasi teknologi pembelajaran dari generasi pertama hingga ketujuh. Model ini dalam beberapa hal menerapkan metodologi “blended
learning”, “hybrid learning” atau “mixed-mode”, yaitu pembelajaran yang mengintegrasikan
antara model pembelajaran
“synchronous”
dan “asynchronous” (online).[19]
2.
Karakteristik Kelas Jauh (Distant
Class)
Model pendidikan dengan sistem kelas
jauh sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menjadi problem yang sangat
berpengaruh bagi kualitas pendidikan, sehingga dalam hal ini pemerintah
Republik Indonesia melalui Undang-undang dan Perangkat hukum sampai pada
tingkat PERDA dibeberapa daerah telah melarang dilaksanakannya Kelas Jauh (Distant Class).
Pada tahun 2000, MENDIKBUD melalui
surat edarannya tertanggal 22 desember 2002, nomor : 2630/D/T/2000 yang
ditujukan kepada Rektor Universitas/Institut Negeri, Ketua Sekolah Tinggi
Negeri dan Kopertis Wilayah I s/d XII, menegaskan dalam poin pertama bahwa
Kelas Jauh dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tahun 2005
dipertegas lagi oleh MENDIKNAS, bahwa penyelenggaraan kelas jauh/kelas khusus/kelas
eksekutif tidak sesuai dengan kaidah dan norma perguruan Tinggi.[20]
Adapun karakteristik kelas jauh secara
umum dapat diketahui sebagai berikut :
a.
Kelas jauh biasanya diselenggarakan pada tempat dan proses yang berbeda
jauh dengan lembaga asalnya
b.
Orientasinya kebanyakan untuk kepentingan mendapatkan ijazah semata.
Sehingga prosesnya serba instan dan dengan memberikan berbagai kemudahan.
c.
Pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma dan kaidah penyelenggaraan
pendidikan tinggi sehingga lulusan yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu
lulusan perguruan tinggi.
d.
Ijazah yang diperoleh dari perkuliahan ”Kelas Jauh” dan ”Kelas Eksekutif”
tidak dapat digunakan atau tidak memiliki ”civil Effect” terhadap
pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.
e.
Jika satu semester menurut standar 16 kali pertemuan, biasanya dikurangi
hingga 4 atau 8 pertemuan saja. Selain itu, sehingga kualitas akademiknya jauh
di bawah standar.[21]
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pendikan Jarak Jauh
(distance Education) adalah sebuah sistem dan proses pendidikan yang
antara pendidik peserta didik terpisahkan oleh ruang dan/atau waktu, dan
pembelajarannya menggunakan multi-media dan multi-sumber dengan menekankan pada
proses belajar mandiri (independent
learning), yaitu proses
atau aktivitas belajar secara individual (individual learning) dan/atau berkelompok (cooperative learning). Sedangkan Kelas Jauh (distant
Class) proses pembelajaran pendidikan
yang diselenggarakan pada tempat dan proses yang berbeda jauh dengan lembaga
asalnya.
2.
Karakteristik pendidikan jarak jauh (distance education) dimulai oleh
generasi pertama yaitu “correspondence model” lalu berkembang sampai generasi kedelapan
dengan perkembangan model “multi-media
model”, “tele-learning model”, “flexible learning model”, “intelligent
flexible learning model”, “mobile learning atau m-learning”,
dan “multi-generational model”. Adapun karakteristik kelas jauh (distant class), diselenggarakan jauh
dari lembaga asal, prosesnya dilakukan secara instan dan kurang memperhatikan
mutu dan kualitas namun hanya beroriantasi profit semata.
B.
Saran dan Kritik
Dalam
pembahasan makalah ini masih terbuka kemungkinan untuk perbaikan. Oleh karena
itu, setiap saran dan kritikan demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan
guna mendapatkan analisa dan pendalaman materi pembahasan secara lebih komprehensif.
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. (Kemendiknas,2003)
[2]
Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah RI No. 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
(Kemendiknas, 2010)
[3]
Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah RI No. 66
Tahun 2010 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan. (Kemendiknas, 2010)
[4]
Kemendiknas RI, Panduan Penyelenggaraan Model Pembelajaran
Pendidikan Jarak Jauh di Perguruan Tinggi. (Kemendiknas, 2011). h. 2
[5]
Hidayat, Fenomena Kelas Jauh (Pemerataan pendidikan
atau Komersialisasi ?). http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/fenomena-kelas-jauh-pemerataan.html.
diakses di Palopo tanggal 10 Juni 2013.
[6]
Dalam
kepustakaan, istilah Belajar Jarak Jauh (distance learning
kerap digunakan secara “bertukar pakai” dengan istilah Pendidikan Jarak Jauh (distance
education) dalam pengertian yang sama.
[7]
C.N. Gunawardena, & M.S. McIsaac, (2004).
Distance education. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook
of research on educational communications and technology (2nd ed., pp. 355–
395). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
mempengaruhinya:
Kasus universitas terbuka. Jurnal Pendidikan
Tinggi Jarak Jauh.Volume 1(1).
[9]
Sugilar (2000). Kesiapan belajar mandiri
peserta pendidikan jarak jauh. Jurnal
Pendidikan Tinggi Jarak Jauh. Volume
1(2).
[10]
Hidayat, ibid.
[11]
Model korespondensi atau
surat menyurat ini diperkenalkan oleh Isaac Pitman pertama kali
di Inggris pada tahun abad ke-19, sejalan dengan terjadinya revolusi teknologi
percetakan dan jasa layanan pos.
[12]
Mohammad
Imam Farisi, Konsep Belajar Jarak Jauh
dan Aplikasinya, (Orientasi
Pengelola Program Pengayaan Pembelajaran Bagi Murid SD Sistem Jarak Jauh). (FKIP UT: UPBJJ Surabaya, 2012). h. 3
[13]
ibid
[14]
ibid
[15]
ibid
[16]
ibid
[17]
Model pembelajaran
ini diperkenalkan oleh keegan. Lihat; D. Keegan, (2002). ZIFF PAPIERE 119. The future of learning: From eLearning to
mLearning. Hagen: FernUniversitat. Diunduh
dari www.fernuni-hagen.de/ZIFF/ZP_119.pdf
[18]
Model
pembelajaran ini diperkenalkan oleh Zawacki-Richter,
Brown, & Delport. Lihat; O. Zawacki-Richter, T. Brown, & R. Delport, (2008). Mobile Learning: From single project status into the
mainstream? Diunduh dari http://www.eurodl.org/?article=357
[19]
Model
pembelajaran ini diperkenalkan
oleh Willems. Lihat; J.
Willems, (2005). Spanning the generations: Reflections on twenty years
of maintaining momentum. Proceeding
of the Australasian society for computers in learning in tertiary education
(ascilite) Conference, Brisbane, Australia. Diunduh dari http://www.ascilite.org.au/
conferences/brisbane05/blogs/ proceedings/
[20]
MENDIKNAS RI, Larangan Kelas Jauh. Larangan-kelas-jauh.pdf-
Adobe reader, di unduh di palopo tanggal 10 juni 2013
[21]
Hidayat, op.,cit