Mahasiswa sebagai identitas yang melekat kepada suatu komunitas ilmiah, dan memiliki basis intelektual. Karena potensi tersebut, maka dilekatkanlah sebuah tanggungjawab moral. Secara de facto kemudian menjadi sebuah indikator, terciptanya sebuah nilai baru dalam kehidupan masyarakat. Sejarah panjang Indonesia telah membuktikan, betapa mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik tersendiri. Dengan pro aktif mampu memberikan nilai tawar bagi perubahan sejarah bangsa.
Situasi
politik yang tak begitu bersahabat dengan mahasiswa, juga mempengaruhi
etape-etape dan taktik gerakan mahasiswa. Realitas historis menggambarkan kondisi Negara dalam beberapa babakan
sejarah
Sebelum
merdeka, mahasiswa Indonesia yang belajar di luar
negeri membentuk sebuah komunitas.
Gerakan yang kemudian
melahirkan Boedi Oetomo, dan
organisasi-organisasi lainnya. Gerakan mahasiswa pada masa itu, lebih banyak
berorientasi untuk
melepaskan diri dari penjajahan. Mahasiswa
pada masa tersebut,
telah memiliki hubungan khusus dengan militer. Mereka, turut mengangkat senjata dan berjuang
secara fisik untuk mengusir penjajah.
Setelah
merdeka di tahun 1945. Indonesia, masih mencari bentuk bernegara. Di
bawah kepemimpinan Bung
Karno, Indonesia berada
dalam tekanan yang sangat kuat dari luar negeri.
Berbagai kekuatan politik, bermunculan seiring dengan fase-fase
dimana Indonesia baru mencari bentuk ideologi
Negara. Akhirnya, NASAKOM menjadi kompromi Bung Karno, untuk menyatukan tiga
kekuatan politik pada saat itu.
Yaitu; Nasionalisme, Agama dan Komunis.
Berbagai organisasi kemahasiswaan,
turut bermunculan dengan
afiliasi masing-masing kepada ketiga kekuatan politik Negara. Hingga tahun 1966, krisis ekonomi melanda
Indonesia. Mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi menurunkan Bung Karno. Tradisi keakraban Mahasiswa
dan militer pun berlanjut.
Di jalan-jalan
utama Ibukota, tampak sangat kontras betapa kekuatan
militer (TNI),
mem-backup
setiap gerakan mahasiswa termasuk saat pembubaran PKI.
Periode
Orde Baru,
adalah sebuah masa dimana mahasiswa mengalami penindasan intelektual dan gerakan politis, sehingga mahasiswa seakan
seperti mandul dan terkesan kehilangan taring kejantanannya. Belajar dari
realitas ORLA, penguasa Orde Baru memahami betul
bahwa mahasiswa
adalah sebuah kekuatan yang mampu mendongkrak dan membobol status Quo, sehingga
untuk mengantisipasinya maka diberlakukanlah pemaksaan dengan jargon kesatuan
dan persatuan bangsa, berupa sebuah doktrin ideologis (Azas
Tunggal). Di samping itu di kampus-kampus diterapkan sistem perkuliahan SKS
dengan warna NKK/BKK,
yang menyebabkan mahasiswa hanya berfikir pragmatis. Sehingga komunikasi mahasiswa dengan masyarakat
menjadi terputus, apalagi demokrasi dan kebebasan untuk berbicara dianggap
melanggar hukum.
Walaupun
demikian, cikal bakal sikap
perlawanan dari komunitas mahasiswa mulai bersemi.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat
menglobal pada setiap Mahasiswa,
baik secara individu maupun secara institusi (intra dan ekstra kampus).
Maraknya kelompok-kelompok diskusi, komunitas mahasiswa kritis, dan kepekaan terhadap
realitas yang langsung bersentuhan dengan Mahasiswa itu sendiri.
Perkembangan
wacana perubahan marak dikalangan mahasiswa, sehingga tatkala mencapai puncak
klimaks gelombang arus reformasi pun tak terbendung. Maka terjadilah tragedi 1998 berduka. Duka
mahasiswa karena harus mengorbankan beberapa kematian Mahasiswa, walau Presiden
Soeharto berhasil digulingkan, ditingkat elite politik pun turut berduka, akibat lengsernya
Soeharto sambil berbenah diri untuk mencari peluang politis, dan oknum-oknum
tertentu yang mencoba “cuci tangan” meski pada masa ORBA adalah penjilat kelas
kakap.
Reformasi
1998, yang digerakkan oleh
Mahasiswa membawa tiga tuntutan yang secara radikal dipraksiskan oleh Mahasiswa
di seluruh Indonesia, ketiga tuntutan tersebut adalah ; Adili Soeharto, Tolak SI (Sidang
Istimewa), Cabut
Dwi Fungsi ABRI (Sumber
: TEMPO, 09 November 1998)
Ketiga tuntutan moral
tersebut sangatlah reaksioner,
berdasarkan kondisi Negara. Meski reformasi terkesan hanya tambal sulam sistem, namun implikasinya
cukup menggema dan membawa warna baru dalam era
bernegara di Indonesia.
Euphoria
reformasi inilah yang menyebabkan gerakan Mahasiswa mengalami degradasi nilai, sehingga menjadikan
gerakan Mahasiswa terpeta-petakan dalam kepentingan. Terkadang antara
komunitas Mahasiswa yang satu dengan lainnya, saling bentrok. menariknya
lagi, aksi-aksi mahasiswa ternyata
menjadi sebuah ajang bisnis yang menggiurkan.
Pertanyaan yang muncul
adalah, ada apa dengan Mahasiswa ?
Untuk mendiagnosa
pertanyaan tersebut, kita harus melihat realitas Mahasiswa secara Universal.
Realitas Mahasiswa di petakan sebagai berikut :
a. Mahasiswa
Akademik
Tipologi
Mahasiswa seperti ini secara personal lebih dominan memburu gelar akademik
semata, sehingga kepekaan sosial
pun sulit untuk dimiliki apalagi untuk mendiagnosa problem social, model Mahasiswa akademik sangat cenderung
individualis.
b. Mahasiswa
Fungsionaris /Aktivis
Komunitas
Mahasiswa ini biasa disebut kelompok Altruist
yang oreintasi gerakannya mengedepankan kepentingan sosial kemasyarakatan
termasuk kondisi penindasan “Kampus”. Motivasi lain adalah keinginan dan
semangat untuk berperan aktif dalam kegiatan ekstra kampus dan terlibat dalam kegiatan
–kegiatan aksi-aksi sosial.
c. Mahasiswa
Apatis
Model
mahasiswa yang satu ini justru lebih aneh, sebab tidak memiliki kemampuan ilmu
yang dominan sekaligus juga bukan aktivis, sehingga yang muncul adalah menjadi
Mahasiswa yang pesimis dan pragmatis.
d. Mahasiswa
Hedon
Corak
mahasiswa yang satu ini, lebih aneh lagi. Dunia mahasiswa difahami untuk
mendapatkan semua kesenangan material. Biasanya penampilan yang lebih
ditonjolkan dengan gaya hidup bebas dan terkesan tidak memiliki orientasi hidup
yang jelas.
Lalu bagaimana
sebenarnya yang harus dilakukan Mahasiswa, hal tersebut hendaklah di coba untuk
dianalisis dalam peta karakteristik mahasiswa, karakteristik Mahasiswa
seharusnya :
a. Mengedepankan
nilai-nilai yang obyektif dalam sebuah realitas, bukan subyektifitas apriori
yang emosional
b. Memiliki
sifat kritis terhadap realitas serta responsibility
menuju aksi gerakan
c. Memiliki
paradigm idealis yaitu menempatkan sesuatu secara proporsional dan bijaksana
d. Menjadikan
identitas kemahasiswaan dalam pressure
group
Setelah menganalisis
realitas dan karakteristik Mahasiswa, kemudian dikomparasikan dalam realitas euphoria reformasi yang ternyata justru
semakin melemahkan gerakannya, seolah-olah suara Mahasiswa yang lantang
sekarang disambut oleh buaian reformasi.
Dalam era reformasi
suara parau Mahasiswa mulai melemah, hal ini disebabkan jargon-jargon kekuatan
dalam era reformasi telah dipengaruhi oleh peta gerakan sebagai berikut :
1.
Jargon Nasionalisme
Gerakan
dengan pola jargon-jargon Nasionalisme sangat berwarna keamanan, yaitu
menciptakan dan membangkitkan kembali semangat kebangsaan, walaupun secara
realitas justru menciptakan situasi yang tidak aman.
2.
Jargon kerakyatan
Jargon
ini sangat menarik sebab membawa symbol-simbol rakyat sehingga pressure gerakan
dengan mengangkat masalah-masalah kerakyatan seperti penindasan hak,
eksploitasi buruh dsb. Komunitas yang mengawal jargon inilah yang kemudian
diklaim sebagai kiri barunya sosialisme yang di Indonesia dianggap komunisme
dan harus di musnahkan
3.
Jargon Agama
Sebagaimana
maklum bahwa Indonesia sebagai Negara yang kuantitasnya adalah beragama. Dan
ternyata Mahasiswa yang beridentitas agamawan tersebut memakai jargon agama
dalam pola gerakannya
Dengan terpetakannya
gerakan mahasiswa ini kemudian berpengaruh terhadap pola gerakan yang dilakukan
oleh setiap komunitas dan setelah itu terjadi maka penyikapan terhadap realitas
pun beragam. Misalnya, diantara komunitas gerakan mahasiswa dalam memformat
gerakannya dengan model defensive,
atau bertahan dalam kelompoknya sendiri dan membangun gerakannya sendiri, tanpa mau berkoalisi
dengan komunitas yang lain sehingga model gerakan yang muncul justru cenderung
ekslusif dan sektarian.
Dan ada juga koalisi gerakan yang terdiri dari berbagai komunitas dengan model
gerakan opensif yang lebih
mengutamakan keseragaman wacana dengan menepis perbedaan dan membangun semangat
inklusifitas dan mungkin dapat disebut parenialisme
gerakan.
Dari kedua model
penyikapan terhadap peta gerakan mahasiswa tersebut maka saya menginginkan agar
perlu adannya reorientasi wacana dan evaluasi gerakan reformasi, hal ini sangat
mendesak mengingat agenda reformasi tidak berjalan mulus di samping munculnya
fenomena-fenomena baru menuntut untuk segera disikapi . oleh karena itu sangatlah
penting untuk melakukan kolaborasi gerakan yang variatif dan menyentuh langsung
pada masyarakat yang dalam strata sosial
paling banyak dirugikan.
Disamping itu, ada
suatu problem internal mahasiswa yang harus segera di konstruksi mengingat
semakin terdegradasinya generasi mahasiswa yang kritis dan radikal. Jadi,
agenda awal yang harus disikapi adalah back
to campus dalam artian melakukan pembenahan internal basis gerakan yang
ditinggalkan oleh aktivis gerakan.
(*) Muhammad Syahudin
Tulisan yang sama pernah dimuat di sureq institute