Sastra Indonesia
mengalami perkembangan pesat. Periode-periode telah dilalaui (dalam
makalah ini digunakan istilah periode bukan angkatan, suatu kategori
menurut Prof. Rachmat Djoko Pradopo, 1984) dan sastra Indonesia
menunjukkan kemajuan yang pesat. Meskipun kebanyakan sastrawan tidakmau
mengatakan amanat karyanya, namun setiap sastrawan pasti memiliki
maksud di dalam menciptakan karyanya. Sastrawan selalu berusaha keras
kalau perlu dengan bermatiraga untuk mengekspresikan keinginan kalbunya
yang luhur, yaitu mencoba untuk membeberkan rahasia dunia yang dengan
pernyataan Ranggawarsitas dalam “Serat Kalatidha” adalah:”mesu cipta matiraga medhar warananing gaib”. Sastrawan mempunyai komitmen untuk memahami rahasia dunia yang oleh Pater Dick Hartoko dinyatakan sebagai “tanda-tanda zaman” yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa (awam).
Tanda-tanda zaman itu bias dikatakan berupa malapetaka yang mengancam peradaban, manusia, dan kemanusiaan jika tidak diungkapkan dan kemudian manusia lain yang berwenang menjawabnya kengan kebijakan politik, tindakan, atau pembinaan manusia lainnya. Kita menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beraneka ragam yang bhineka (dan sejak tahun 1928 dinyatakan sebagai tunggal ika). Sifat bhineka itu adalah sifat das sein, sedangkan sifat tunggal ika adalah das sollen. Sebagai bangsa yang sangat aneka, kita selalu dalam proses tunggal ika bukan dalam arti monokultur dalam arti lebur menjadi satu, namun dengan perbedaan-perbedaan yang kita miliki itu, kita dapat bersatu padu dengan tetap menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan yang dimiliki. Bangsa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, ratusan suku bangsa, perbedaan tingkatan social ekonomi, perbedaan adapt istiadat, perbedaan agama, perbedaan kebiasaan hidup, perbedaan cara berpakaian, perbedaan gaya hidup, perbedaan system kekeluargaan perbedaan upacara-uparacara, dan sebagainya. Juga berbeda dalam jenis kelamin, umur, kekayaan, tingkat kepandaian, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Kalau diadakan pendataan tentang perbedaan yang adadi antara bangsa kita di seluruh tanah air, tentu akan sangat panjang.
Seluruh bangsa pasti tahu bahwa perbedaan
di antara bangsa Indonesia cukup besar. Harus ada jembatan yang
bersifat psikologis untuk menghubungkan suku bangsa yang satu dengan
suku bangsa yang lain. Di samping bahasa, maka sastra Indonesia
merupakan sarana pengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui sastra
Indonesia (bersamaan dengan bahasa Indonesia) telah ditanamkan saling
pengertian “cross-cultural understanding”
antara suku bangsa yang satu dengan yang lain. Sastrawan (disamping
kebebasan berkarya) hendaklah memiliki tanggung moral dan social untuk
menyuarakan nafas nasionalisme,napas patriotisme guna persatuan dan
kesatuan bangsa. Gejolak kea rah tercabik-cabiknya bangsa kea rah
perpecahan ini sering kali muncul dan besar kemungkinan kemunculannya
justru didukung oleh cendekiawan yang kurang tanggung jawab moral dan
soail demi persatuan Indonesia, terlebih di saat Indonesia memasuki masa
desentralisasi yang memungkinkan isu-isu kedaerahan muncul dan Negara
kesatuan yang telah diperjuangkan dan dipertahankan dapat terancam oleh
gagasan-gagasan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan.
B. Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme muncul sekitar
tahun 1960-an di negara-negara Anglopone dalam kaitannya dengan
migran-migran yang non-Eropah tentang bagaimana pilihan budaya mereka.
Yang lebih popular saat ini adalah makna multikulturalisme dalam arti
bagaimana Pemerintah atau kekuasaan yang dominant mengakomodasikan
kepentingan dan suara race and etnicity yang
dipandang minoritas. Akomodasi hak politik bagi golongan kecil yang
tidak berdaya dipandang sebagai kebutuhan besar yang terpenting dari
seluruh dunia. Corak dan bentuk multikulturalisme di setiap Negara
berbeda tergantung dari kebutuhan budaya yang sangat majemuk itu (Tariq
Modood,2009:1).
Sementara itu, Ainul Yaqin (2005)
menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu gerakan biologis
untuk memahami segenap perbedaan yang ada pada diri setiap manusia serta
bagaimana perbedaan itu dapat diterima sebagai hal yang alamiah dan
tidak menjadi alas an bagi tindakan diskriminatif dengan sikap hidup
yang cenderung dikuasai rasa irihati, dengki, dan buruk sangka. Ia
menyatakan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan
multikulturalisme dalam diri setiap anak didik dan pada gilirnnya pada
seluruh warga Negara.
Perbedaan-perbedaan yang harus mendapat
perhatian untuk tidak menimbulkan sikap dan perilaku yang antipati
(tidak senang) adalah perbedaan: gender, klas sosial, bahasa,
agama, usia, kemampuan/kecerdasan, etnis (kesukuan), dan kecacatan
fisik/mental (difabel) (Ainul: 101 – 253). Dalam pembinaan
multikulturalisme disadarkan kepada semua orang bahwa perbedaan yang ada
pada setiap manusia itu alamiah dan manusia harus dikterima dihargai,
dan dimengerti apa adanya, kelebihan dan kelemahannya dan juga
perbedaannya dengan diri kita.
Asyumardi Asra (2007) dengan sangat menarik menyusun buku tentang multikulturalisme dengan judul Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia.
Beliau menyadari tentang kemajemukan bangsa kita dan itu haruskita
rawat agar Indonesia tetap tegak dan berdiri. Kita lahir dari
kemajemukan yang berikrar untuk bersatu di dalam suatu Negara kesatuan
yang perbedaannya masih ada, namun menghargai dan memahami, serta
bertoleransi di dalam Bhineka Tunggal Ika. Bahkan disebutkan bahwa kemajemukan adalah sunatullah (2007:1). Kemajemukan juga disebutnya bleesing in disguise.Dipaparkan
istilah lain yang sangat erat dengan multikulturalisme yaitu:
pluralisme, pluralitas, dan bhinneka (yang sudah ditekadkan untuk
tunggal ika). Kemajemukan harus dirawat, dipelihara, diberdayakan, dan
difungsionalisasikan baik sudah di masa lalau, masa kini,maupun
terus-menerus di masa depan bahkan di masa depan diharapkan Indonesia
menjadi Negara bangsa yang lebih baik.
Mengapa jalinan multikulturalisme
akhir-akhir ini harus disuarakan lebih lantang? Menurut Asyumardi,
sejak jatuhnya Pak Harto pada 1998 terjadi krisis budaya. Di saat itu,
muncullah era reformasi yang diikuti oleh masa yang disebut disintegrasi
dengan adanya berbagai macam krisis. Apa yang disebut Asyumardi dengan “jalinan tenunan masyarakat” (fabric of society) tercabik-cabik
akibat dari krisis berbagai hal dan terlebih adalah krisis budaya.
Eforia kebebasan menyebabkan disintegrasi bidang social politik yang
sangat luas. Eforia kebebasan meluas, sehingga muncullah aksi-aksi
anrkhis di kalangan masyarakat dan sangat berpengaruh kepada menurunnya
etika, moral, kepatuhan kepada hokum, sopan santun pergaulan,
keberadaban antar sesame, dan juga merosotnya saling penghargaan
antaretnis dan agama berupa konflik yang bersifat berkepanjangan di
berbagai daerah, pulau, atau antarpulau (2007:7). Dengan kkrisis budaya
tersebut, saling penghargaan, toleransi, pemahaman, dan pengertian
budaya dari bangsa yang majemuk ini merosot sekali. Egosentrisme
kesukuan dankedaerahan muncul dan membesar, istimewa setelah
desentralisasi politik dan pemerintahan.
Proses globalisasi dan penetrasi budaya
kapitalisme yang mau tidak mau harus masuk ke Indonesia, sedikit banyak
menambah kemelut suramnya kerukunan dalammasyarakat majemuk. Budaya
Barat yang serba instant, hedonistis, kapitalistis, dan konsumerialistis
oleh Asyumardi disebut cultural imperialism menggantikan imperialisme lama yang bersifat orientalisme.
Pada Era Orde Baru, kehidupan
multikulturalisme tercipta dengan system pemerintahan sentral dan
Demokrasi Pancasila yang ketat. Tentulah tidak bijaksana jika kita
menoleh ke masa lalu yang juga memiliki cacat fundamental dalam
kehidupan majemuk bangsa karena banyaknya manipulasi kekuasaan dan
pemaksaan kehendak yang pada gilirannya pasti berakibat pada tumbangnya
kekuasaan itu. Di era kini, saat kondisi multikulturalisme menurun,
perlu usaha gigih dari berbagai pihak untuk memupuk multikulturalisme
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Perkembangan Sastra Indonesia
Sejak kelahirannya pada
Zaman Balai Pustaka (1920), Sastra Indonesia telah memberikan sumbangan
penting dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Pendewasaan Bahasa Melayu
ke dalam Bahasa Indonesia yang siap diikrarkan pada tahun 1928 sebagai
“Satu Bahasa yaitu Bahasa Indonesia” di samping karena perkembangan
bahasa itu sendiri, namun juga karena sumbangan roman-roman dan puisi
yang diciptakan oleh sastrawan menyuarakan persatuan dan kesatuan, serta
kerinduan akan kemerdekaan Indonesia. Puisi dan prosa fiksi yang
diciptakan pengarang sangat kental dengan kerinduan akan persatuan dan
kesatuan. Puisi, prosa fiksi, dan drama pada akhirnya memperkenalkan
kebudayaan etnis dari budaya Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.
Dalam memperkenalkan budaya,masyarakat,
dan adapt istiadat etnis, agama, suku, atau budayanya, sastrawan
mengungkapnya dengan penuh kejujuran yang memungkinkan di satu pihak
hal-hal yang negative dari etnisnya sendiri disikapi secara objektif, di
pihak lain, etnis lainnya berusaha memahami, mengerti, dan menghargai
hal yang berbeda dari etnis lain.
- 1. Puisi
Nafas kebangsaan dan multikulturalisme tercermin dalam puisi-puisi sejak Muhammad Yamin sampai dengan Sutardji Calzoum Bachri.
Muhammad Yamin seorang nasionalis yang wafat saat masih menjabat
Menteri Depernas (pada Era Bung Karno) sangat rindu persatuan Indonesia,
sangat rindu kelahiran tanah air Indonesia yang merdeka. Hal itu
tercermin dalam puisinya “Bahasa, Bangsa”, “Tanah Airku” “Gita Gembala”.
Ia tidak pernah menyebut dirinya orang Sumatra,namun menyebut sebagai
orang Indonesia.
Sutan Takdir Alisyahbana berdendang tentang Indonesia melalui gegap gempita laut dalam puisi “Menuju ke Laut”:
………………………………
Gemuruh berderau kami jatuh
terhempas berderai mutiara bercahaya
Gegap gempita suara mengerang
dahsyat bahasa suara mengerang.
Keluh dan gegak silih berganti
Pekik-pekik sambut-menyambut.
Kami telah menuju ke laut
tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angina dan topan
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat.
(Waluyo: 247)
Meskipun masih muda, Chairil Anwar
memahami usia tua orang lain. Ia juga harus dihargai. Semua orang juga
akan menjadi tua. Di saat tua itu, segala piranti dalam kehidupan kita
sudah uzur, sudah loyo, sudah rapuh. Karena itu, sesudah tua, setiap
orang siap untuk meninggalkan dunia yang fana ini.
DERAI-DERAI CEMARA
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan merapuh
dipukul angina yang terpendam
aku sekarang orangnya bias tahan
sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendh
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Chailril Anwar, 1979
Bagi Rendra, kehidupan orang-orang papa
yang tidak memperoleh kesejahteraan hidup yang memadai harus
diperhatikan. Orang-orang papa itu, oleh Rendra disebut orang-orang tercinta, seperti:
ibu tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya, perawan tua, wanita-wanita
kesepian, para pelacur, perampok Atmo Karpo, wanita yangmenderita
akibat difitnah (Sumilah), dan juga nabi yang disiksa oleh warga
desanya. Berikut disampaikan “Nyanyian Angsa” yang menunjukkan
solidaritasnya kepada pelacur yang sekarat tetapi ditolak oleh pejabat
agama.
NYANYIAN ANGSA
…………………………………..
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang bernyala
menuding kepadaku
Maka darahku terus beku
Maria Zaetun namaku
Pelacur yang sengsara
Kurang cantik dan agak tua)
…………………………………
Jam empat siang
Seperti siput, Maria Zaetun berjalan
Kerigatnya bercucuran
Rambutnya jadi tipis
Makanya kurus dan hijau
Seperti jeruk yang kering
Lalu jam lima
Ia sampai diluar kota
Jalan tak lagi beraspal
Tapi debu melulu
Ia memandang matahari
Dan pelan berkata:”bedebah”.
Sesudah berjalan satu kilo lagi
Ia tinggalkan jalan raya
Dan berbelok masuk sawah
Berjalan di pematang.
…………………………………
Setelah selesai, lelaki itu berkata
“semula kusangka hanya impian
Bahwa lelaki tampan bagai kau
Bakal lewat dalam hidupku”
Lelaki itu tersenyum dengan hormat dan sabar
“Siapakah namamu ?” Maria Zaetun berkata
“Mempelai !” Jawabnya
“Lihatlah engkau melucu !” kata Maria Zaetun
Maria Zaetum menciumi seluruh tubuh lelaki itu
Tiba-tiba ia terhenti
ia jumpai luka-luka pada tubuh pahlawannya
di lambung kiri
di dua tapak tangan
di dua tapak kaki
Maria Zaetun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu !”
(Malaikat penjaga Firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tidak bias apa-apa
aku tak takut lagi
sepi dan duka telah sirna
sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku
Maria Zaetun namaku
Pelacur dan pengantin adalah aku. (Blues untuk Bonnie, 1972)
Orang yang menderita dan papa seperti
Maria Zaetun harus mendapatkan perhatian. Di akhirat (Taman Firdaus) ia
diterima sebagai pengantin. Mestinya, di dunia ia tidak disepak dan
ditendang seperti anjing.
Taufiq Ismail yang
dikenal sebagai penyair demonstrans menyadari benar keindonesiaan
dirinya yang merasa bahwa timbul penyimpangan dalampemerintahan selama
Rezim Orde Lama. Ia menulis berikut untuk menyadarkan keindonesiaan kita
bersama sebagai bangsa yang tidak rela kebersamaan kita diinjak-injak
oleh kekuasaan yang bersifat “tirani”. Puisinya yang berjudul “Berikan
Indonesiaku Padaku” menunjukkan cinta bangsa dan tanah air dari Taufiq
Ismail sebagai bangsa Indonesia.
Dalam Ayat-ayat Api
Sapardi Djoko Damono menunjukkan caranya tersendiri dalam mengajak
pembacanya untuk mengutuk para pembakar kota Jakarta dan Solo pada tahun
1998. Ia tidak rela bangsanya menderita, persatuan dan kesatuan
tercerai berai oleh ulah jahil orang-orang yang angkara murka.
AYAT-AYAT API
sre itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sbelum sempat menyadari
bhwa ada saat untuk istirahat
d antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
n ah, untuk apa pula
toh segera diterbangkan angina selagi hangat
di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih tersisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o, ya, mungkin kenangan
yang tentu juga sia-sia bertahan
waktu upacara hamper usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampong sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami.
(1998)
Dalam pembahasan tentang
multikulturalisme di depab telah dinyatakan bahwa ada aneka ragam
perbedaan yang harus ditoleransi. Banyak penyair yang memiliki
solidaritas kuat terhadap para penderita, mengutuk keraskorupsi karena
mengangakan jurang yang ada antara si miskin dan si kaya, dan juga
saling pemahaman antara perbedaan desa kota, Jawa luar Jawa, beda agama,
dan segala jenis perbedaan yang ada. Dalam perkembangannya, puisi
Indonesia telah memberikan sumbangannya bagi pembinaan
multikulturalisme untuk para pembacanya.
- 2. Prosa Fiksi
Penggambaran secara jujur adapt istiadat
dan budaya etnis tertentu oleh para pengarang akan menciptakan saling
pengertian budaya denganpembacanya di seluruh Indonesia. Roman, novel,
atau cerpen menjadi duta bagi pengarang untuk menyatakan gagasannya yang
luhur baik di kotanya, kampungnya, desanya, atau di daerahnya dengan
harapan pembaca mengetahui budaya, adapt istiadat, dan situasi
sosiologis masyarakat setempat dengan kekurangan dan kelebihannya.
Itulah benang pengingat budaya antara etnis satu dengan etnis yang
lain di Indonesia.
Roman-roman pada Periode Balai Pustaka
pada hakikatnya didominasi oleh suasana budaya, adapt, dan suasana
sosiologis masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Namun di samping
itu, sebenarnya dalam suasana masyarakat priyayi, sama saja antara
priyayi Jawa dan priyayi Minangkabau. Keluarga Sitti Nurbaya dan
Syamsulbachri pada hakikatnya adalah keluarga priyayi Minangkabau.
Perhatikan kendaraan, cara berpakaian, dan gaya hidupnya, pada
hakikatnya adalah gaya hidup priyayi Belanda (Barat). Namun demikian,
dalam menentukan adapt istiadat makan, rumah, tatacara perkawinan,
upacara adapt, dan cara penghormatan kepada orang tua adalah khas
Minangkabau. Roman-roman itu dapat dijadikan cermin budaya Minang yang
perlu dipahami oleh generasi muda Minang sendiri, dan juga oleh etnis
lain sehingga memiliki pengenalan, apresiasi, dan bertoleransi terhadap
adapt dan budaya mereka.
Pada Periode Balai Pustaka hanya ada
sedikit pengarang roman dari Jawa, antara lain Sutomo Jauhar Arifin.
Jika ada persamaan problem tentang kawin paksa dapat dipahami jika ada
persamaan juga siapa yang memaksa. Di Jawa yang memaksa adalah keluarga
dengan dasar priyayi yang berpedoman bobot, bibit, dan bebet yang pada hakikatnya sifat kepriyayaian Jawa itu sama dengan ninik mamak
di Minangkabau. Mungkin, lebih lanjut muaranya juga sama dengan problem
masa kini, yaitu masalah harta benda atau kekayaan. Pembaca dari etnis
Jawa dan Minang tentunya memiliki cara pandang yang dapat saling
dijadikan materi diskusi sehingga menciptakan saling pengertian,
penghargaan, dan toleransi.
Roman pembaharu di periode Balai Pustaka seperti Salah Asuhan, dalam Periode Pujangga Baru seperti Belenggu, dalam Periode Angkatan 45 seperti Atheis dapat
dikatakan sebagai roman-roman yang tidak lagi memiliki unsure
kedaerahan, namun sudah lebih bersifat universal. Para pengarangnya
sudah mengalami hidup modern dan menghayati problem-problem kontemporer
keidupan etnisnya pada masa itu. Kehidupan “lupa daratan” dan
“kebarat-baratan” seperti Hanafi dapat dialami oleh etnis mana pun juga
ada waktu itu. Juga manusia “sok intelek dan sok aktivis” yang merasa
merekalah yang paling sukses kiranya dapat dialami etnis mana pun.
Begitu juga tokoh religius yang “sok baik” dan berusaha mengentaskan
temannya dari jurang atheisme seperti Hasan ada di mana-mana.
Kebanyakan, bukan dirinya yang menang, namun dirinya yang ikut terbawa
gelombang penyimpangan itu. Yang sangat penting ialah bahwa pembaca
memahami dan menyadari, serta mau mengerti adanya manusia-manusia
seperti itu dan harus kita sikapi seperti adanya.
Pembaca alim kebanyakan tidak senang
kepada prosawan-prosawan seperti Jenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, dan Fira
Basuki karena pemikiran-pemikirannya tentang hubungan seksualitas yang
dipandang “terlalu maju”. Mereka mencoba merenungkan eksistensi wanita
menurut perspektif berpikirnya sebagai wanita cosmopolitan yang
mengalami kehidupan manusia modern yang sangat beraneka ragam. Kehidupan
yang direnungkan belum tentu kehidupannya sendiri, namun bias jadi
kehidupan tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat modern yang ingin
disampaikan jeritan atau pikirannya itu. Karena sangat geramnya kepada
novel-novel mereka bertiga ini, sampai-sampai ada pakar sastra yang
menyebut novel mereka adalah novel selangkangan atau novel perlendiran.
Padahal dalam novel kita berbicara tidak hanya fisik, namun juga batin
manusia, kemungkinan-kemungkinan yang diberikan, pemikiran tentang
pembaharuan yang diberikan, dan jalan keluar terhadap keruwetan hidup
menghadapi perbedaan perlakuan antarapria dengan wanita, dan sebagainya.
Abidah el Kaliqi dan Andre Hirata boleh dikatakan mampu menghentikan laju diskusi perlendiran dalam novel itu. Apa yang dikemukakan oleh Abidah dalam Perempuan Berkalung Sorban
adalah alternatif pemikiran tentang pembaharuan di kalangan pondok
pesantren tradisional yang diobservasinya di daerah Magelang. Namun,
mungkin apa yang dipandang wajar oleh Abidah, oleh tokoh-tokoh setempat
yang diobservasi bernada berlebihan. Begitu juga kepahlawanan
bocah-bocah dari Pulau Belitong yang digambarkan oleh Andre Hirata
kiranya dapat disebut berlebihan oleh tokoh di luar Belitong, namun oleh
suku bangsa Melayu Belitong mungkin merupakan hal yang wajar saja.
Namun kedua pengarang yang bukunya sangat laris ini telah menyajikan
dunia yang beda melalui karya sastra ke depan khasanah pembaca Indonesia
yang kemudian akan mengapresiasi gagasannya sebagai bekal
multikulturalisme (meskipun apa yang dikemukakan Abidah pernah ditulis
oleh Jamil Suherman dalam Umi Kalsum).
Masih dapat dikemukakan contoh-contoh
lain yang akan mendukung gagasan yang menyatakan bahwa prosa fiksi dapat
menyebarluaskan pemahaman dan penghargaan antar etnis, agama, budaya,
kebiasaan, perbedaan status social, perbedaan gender, dan perbedaan
bahasa kea rah tolerasni dan saling menghargai dalam kebhinekaan yang
bersatu.
Karya dari Manado (Raumanen), Kalimantan (Upacara oleh Korie Layun Rampan), Sulawesi Selatan (Pembayaran oleh Sinansari Ecip), Bali (Tarian Bumi oleh Oka Rusmini), Nusa Tenggara Timur (Sang Guru karya Gerson Poyk), Kalimantan (Tuyet
karya Bur Rasuanto), Jawa Tengah (Umar Kayam dan Arswendo Atmowiloto
yang menunjukkan masyarakat priyayi; Ahmad Tohari menunjukkan masyarakat
santri; Kunto Wijoyo dan Muhammad Diponegoro menunjukkan kelompok
masyarakat sastri kota). Karya pengarang dari Jawa itu, misalnya: Para Priyayi, Canting, Satinah dan Wasripin, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Mantra Pejinak Ular.Pengarang
dari Jawa Barat (Sunda) antara lain: Ramadhan K.H. dengan karyanya
Royan Revolusi; dari Irian (Papua) antara lain Dewi Linggarjati
(karyanya Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani), Ircham Mahfoedz (karyanya Ratu Lembah Baliem), Don Richardson (karyanya Anak Perdamaian).
- 3. Drama
Teks drama yang ada dalam khasanan sastra
Indonesia berupa dialog. Jika dalam prosa fiksi dialog hanya selingan,
maka dalam drama, keseluruhan karya itu adalah berwujud dialog.
Dalamdialog ini banyak kita jumpai istilah-istilah bahasa daerah yang
sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam pementasannya pun,
dramawan sering menggunakan logat berdialog dengan dialek bahasa
daerahnya. Hal ini meskipun mempersulit penonton dari etnis lain, namun
menambah apresiasi kepada drama dari etnis yang berbeda. Karya-karya
Wisran Hadi (kental dengan warna Minang), Suyatna Anirun (kental dengan
warna Sunda), karya Arifin C.Noer dan Riantiarno (kuat pengaruh tarling
di Cirebon), karya Heru Kesowo Murti (sangat terpengaruh oleh dagelan
Mataram dengan logat Jawa Tengah yang kental), Hanindawan (terpengaruh
ketoprak dan dagelan dengan logat Jawa Tengah Solo), dan Akhudiat
(dengan logat Jawa Timur dan pengaruh kentrung yang cukup kental).
Rendra banyak membawa drama Yunani dan
Eropa yang mengajak penonton merenungkankemanusiaan yang universal.
Penderitaan dan perbedaan manusia hendaknya tidak menjadi halangan untuk
kehidupan damai di muka bumi. Itulah kunci kebahagiaan. Meskipun tokoh
yang digambarkan adalah raja-raja yang seharusnya bahagia, namun
kenyataannya merekamenderita (Oedipus, Hamlet, Machbeth, Panembahan
Reso, Pangeran Homburg). Tingginya kedudukan tidak menjamin kebahagiaan,
sebaliknya orang yang berpangkat rendah mungkin memiliki banyak
probabilitas untuk bahagia. Di samping karya-karya terjemahan, Rendra
masih mencari alternative-alternatif untuk mengajak penonton atau
pembaca menghargai martabat manusia tanpa embel-embel kebesarannya.
Drama-drama Indonesia (seperti halnya
prosa fiksi) bercerita tentang manusia. Untuk memahami manusia, melalui
drama akan dipotret manusia lengkap dengan watak dan tingkah lakunya.
Pantas kita sampaikan dramawan-dramawan lain yang perlu disebutkan dalam
khasanah sastra Indonesia yang turut memasyarakatkan multikulturalisme
adalah: Putu Wijaya, Teguh Karya, Jim Lim, Azwar A.N., Usmar Ismail,
Taufiq Ismail, Adi Kurdi, dan Ratna Sarumpaet .
D. Wasana Kata
Baik puisi, prosa fiksi, dan drama
menuebarkan gagasan multikulturalisme ke siding masyarakat pembaca atau
penonton. Namun, penyebarluasan itu harus dibantu dengan penayangan di
televisi atau media massa yang lain. Demikian juga, pendidikan di
sekolah perlu menggalakkan apresiasi sastra dalam kaitannya dengan
multikulturalisme.
Perlu dicetak dan disebarluaskan
buku-buku puisi, prosa fiksi, dan drama yang ditulis oleh berbagai etnis
yang ada, berbagai profesi, berbagai tema tentang kesadaran berbangsa
dalamkemajemukan, sehingga cita-cita kita tidak kandas oleh perpecahan
bangsa.
Guru bahasa Indonesia (yang sekaligus
guru sastra) memiliki tugas strategis untuk menyebarluaskan gagasan
multikulturalisme melalui puisi, prosa fiksi, dan drama. Sebagai akhir
kata perlu saya jelaskan kepada Bagian Keuangan Pascasarjana yang
menyatakan bahwa dramawan dalam kehidupan sehari-hari suka
berdrama-dramaan. Itu tidak benar. Para dramawan hanya berpura-pura di
atas panggung, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah orang
yang apa adanya dan berani menyatakan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultualisme. Yogyakarta: Pilar media.
Asyumardi Asra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jogjakarta: Kanisius
Dewi Linggardani. 2007. Sali. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
Don Richardson. 1974. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup.
Herman J.Waluyo. 2007. Pengkajian Puisi. Salatiga: Widyasari.
_______________. 2008. Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widyasari.
_______________. 2007. Drama dan Pengajarannya. Surakarta: UNS-Press.
Ircham Mahfoedz. 2002.Ratu Lembah Baliem.Yogyakarta: Gita Nagari.
Modood, Tariq. 2009. Multiculturalism. http://www.answer.com/topic/multiculturalism. diunduh 13 Desember 2009.
Sapardi Djoko Damono. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.