FILSAFAT POSITIVISME DAN POSTMODERNISME POSITIVISME


FILSAFAT POSITIVISME DAN POSTMODERNISME

POSITIVISME

Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan[1]. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.

Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.[2]
Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).

AUGUST COMTE (1798-1857)
Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798. Beliau adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.
Pendidikannya sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak berjalan mulus. Comte merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala.
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Menurut Comte , perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu; zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman positif.
1)        Pada zaman teologis , manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk inisani biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah.
2)      Zaman metafisis atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik.
3)      Zaman positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.

Perkembangan Masyarakat

Menurut kaum positivisme, masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sudah tersebar luas di lingkungan intelektual pada masa Comte.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.

Prinsip-prinsip keteraturan sosial

Analisis Comte menegnai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat asasi asalah bukan individu-individu, melainkan keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individunya. Akan tetapi egitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling ketergantungan. Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
Menurut Comte, ilmu pengetahuan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Hierarki atau tingkatan ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalisasi dan penambahan kompleksitasnya, adalah sebagai berikut: 1) Matematika, 2) Astronomi, 3) Fisika, 4) Ilmu kimia, 5) Biologi, dan terakhir 6) Sosiologi.
Hal yang menonjol dari sistem Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi yang merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks, dan merupakan ilmu pemnegtahuan yang akan berkembang dengan pesat. Sosiologi merupakan studi positif tentanh hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Comte membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis.
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya msnayrakat. Yang menjadi latar belakang dari sosiologi statis adalah bahwa semua gejala sosial saling berkaitan, yang berarti bahwa adalah percuma untuk mempelajari salah satu gejala sosial secara tersendiri. Unit sosial terpenting bukanlah individu melainkan keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Agar suatu masyarakat berkembang, simpati harus diganti dengan kooperasi, yang hanya mungkin ada apabila terdapat pembagian kerja.
Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan , dalam arti pembangunan. Illmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam hal terjadinya perkembangan manusia, dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.

JOHN STUART MILL (1806-1873)

Mill mencoba untuk memberikan suatu dasar psikologis dan logis kepada positivisme. Menurut Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. Tugas psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya penginderaan kita dan hubungan-hubungannya.
Adapun tugas logika adalah membedakan hubungan gagasan-gagasan yang bersifat kebetulan daripada hubungan gagasan-gagasan yang tetap dan yang menurut hukum.
Satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman.  Oleh karena itu, induksi mewujudkan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya, yang menuju pada pengenalan.
Mill membedakan antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan rohani. Yang dimaksud ilmu pengetahuan rohani adalah psikologi, ajaran tentang kesusilaan (etologi) dan sosiologi. Sedangkan ilmu sejarah termasuk ilmu pengetahuan alam.

HERBERT SPENCER (1820-1903)

Spencer merupakan salah satu filusuf berpengaruh dalam abad-19. Karyanya yaitu A System of Synthetic Philosophy atau “Suatu Sistem Filsafat Sintesis” (1862-1896).
Sosiologi yang dikemukakan Spencer tidak kalah dengan ajaran Comte. Ia menyusun sosiologinya secara sistematis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang banyak. Ia menyamakan masyarakat dengan organisme. Masyarakat yang bersahaja itu pada hakikatnya disusun terarah pada perang, sebab selama para manusia hidup dari perampasan dan penaklukan hidup ini ditandai dengan perang. Oleh karenanya masyarakat yang bersahaja harus diganti dengan masyarakat yang lebih mencintai perdamaian dan berindustri, yaitu suatu bentuk negara industri. Dengan demikian, akan dihapus negara yang bersifat absolutis, yang menganakemaskan militer, serta mengadakan pemisahan-pemisahan sosial dan akan dimulailah kebebasan perorangan dan demokrasi.
Menurut Spencer, pengertian-pengertian kesusialaan akan berubah. Diantara bangsa-bangsa yang bermacam-macam dan pada zaman yang berbeda-beda itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer kebijakan prajuritlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal itu disebabkan karena kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu tidak didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan produksi.
Tugas negara dalam suatu negara industri adalah mejamin keadilan. Spencer menjaga hak-hak kebebasannya. Ia terlalu menekankan kepada kebebasan perorangan, sehingga tiap undang-undang negara yang baru dipandang sebagai pelanggaran  terhadap kebebasan perorangan itu. Syarat tertinggi bagi kebahagiaan masyarakat terletak pada usaha perorangan untuk mencapai kebahagiaan pribadi di dalam batas-batas yang ditentukan oleh masyarakat.[3]

POSITIVISME DAN ILMU EKONOMI

Teori ekonomi yang ada dan berkembang saat ini selalu dimulai dengan pernyataan dasar yang dianggap benar yang dikenal sebagai asumsi. Asumsi tersebut dapat diperoleh dari pengamatan empiris yang terjadi berulang ulang, diambil dari kesimpulan filsafat, atau dari ilmu pengetahuan lain. Ilmuwan positivis berpendapat bahwa asumsi tetap dianggap benar sampai ada pembuktian bahwa asumsi itu salah dan harus dibatalkan (refutable). Serangkaian pernyataan dasar yang berkaitan secara logis dan konsisten disebut model atau teori. Rangkaian pernyataan ini dapat disampaikan dalam bentuk bahasa, grafik atau dengan rumus matematika.
Ilmuwan positivis tidak lagi menyatakan bahwa tujuan ilmiah adalah untuk mencari kebenaran atau mencari hubungan yang pasti tentang sebab-akibat (causality), karena hubungan tersebut dapat bermacam-macam sifatnya seperti: korelasi, intendependensi, koeksistensi dan sebab-akibat.
Ilmuwan positivis ada yang lebih menyempitkan diri lagi (positivist instrumentalism) yang berpendapat bahwa model atau teori dapat dikatakan baik bila mampu menjadi instrumen untuk :
- menjelaskan keadaan yang terjadi dalam masyarakat (explanatory capability)
- melakukan prediksi tentang hal-hal yang dapat terjadi (predictive capability)
Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan kebijaksanaan atau membuat perencanaan. Kekuatan suatu model atau teori akan teruji karena kemampuannya menjelaskan gejala yang ada atau dapat memprediksi yang akan terjadi dan ternyata benar.
Pengaruh positivisme dalam ilmu ekonomi meliputi rentang waktu sekitar 40 tahun, dimulai pada akhir tahun 1930 sampai pada akhir tahun 1970. Tiga ekonom kapitalis yang tulisannya sebagian besar mencerminkan pengaruh dari positivisme adalah T.W. Hutchison, Paul Samuelson dan Milton Friedman. Friedman pada tahun 1953 dalam bukunya yang berjudul: The Methodology of Positive Economics memberikan argumentasi yang populer yaitu realitas asumsi suatu teori tidak relevan; apa yang diperhitungkan dalam pengkajian suatu teori adalah cukup untuk membuat prediksi dan sederhana. Friedman diakui sebagai pelopor penggunaan metodologi instrumental (yang banyak dipengaruhi oleh pandangan pragmatis Amerika dari pada positivisme), metodologi ini akhirnya disinonimkan dengan positivisme pada periode tahun 1950 sampai tahun 1960.

FILSAFAT POSMODERNISME

Dunia saat ini sedang bergejolak, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah usang dan harus diganti dengan paradigma baru yaitu posmodernisme.
Posmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan). Posmodern memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang penyiaran. Posmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, posmodern menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama dan saling meniru satu sama lain.
Wacana posmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979). Posmodern pada awal kelahirannya merupakan kritik terhadap arus modernism yang semakin menggusur humanisme dari manusia sendiri, melahirkan materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan menguras semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme beraksi terhadap inti filsafat modernism; Idealisme Descartes, Empirisisme Locke, dan Eksistensialisme Husserl, analisis logis Newton dan metode ilmiah Prancis Bacon.
Francois Lyotard mengatakan bahwa posmodernisme merupakan intensifikasi yang dinamis, yang merupakan upaya terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar, berupa penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, seperti Hegelian, Liberalisme, Marxisme, dan lain-lain. Posmodern dalam bidang filsafat dapat diartikan segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.

Posmodernis awal, Nietzsche, mengkritik Modernism (sains) sebagai kecurangan yang mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan objektif padahal sesuatu itu adalah mustahil. Bagi Nietzsche, penjelasan ilmiah bukan penjelasan yang sebenarnya; itu hanya menghasilakan deskripsi yang rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral seperti diklaim kaum Modernis, ada banyak teori bersaing dan berkompetisi disana. Sedangkan Baudrillard curiga terhadap peran media massa sebagai wujud dari modernisasi yang telah banyak melakukan kebohongan. “Apakah kita benar-benar melihat apa yang terjadi? Siapa mengatakan hal itu? Begitu kecurigaan Baudrillard. Bahkan ia curiga bahwa perang teluk hanyalah drama layar kaca, tidak benar-benar terjadi. ” Peperangan modern adalah peperangan cyber,”. Menurut kaum posmodernis Ia adalah sebuah rekayasa penuh kepentingan dari agenda kapitalisme. Baudrillard melihat kapitalisme sebagai ssuatu yang mengubah manusia menjadi benda.
Menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, posmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain:
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.
Lima paradoks yang digarisbawahi Ahmed antara lain ialah (Akbar S. Ahmed; 2002) : masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan Negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar– bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
DanKelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.

Posmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni. Posmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”).
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu :
1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosialekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenangwenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
3) erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya memperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika. Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

CIRI-CIRI POSMODERNISME

Akbar S. Ahmed mengatakan terdapat delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol[4], yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana posmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era posmodernisme” banyak mengandung paradoks



DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung.
Akbar S. Ahmed. Posmodernisme and Islam. 1992
Bambang Sugiharto. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. 1980.


[1] Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols, Gramedia Jakarta, 1982, hal 439
[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius, hal110.
[3] Agus Sugiyono, Metodologi Ekonomi Positivisme, 2001.
[4] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme dan Islam, 1992.

sumber : http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog