“PAHLAWAN TANPA TANDA JASA” ITU TELAH TIADA


Oleh : Muhammad Syahudin

Siapa yang tidak hafal dengan lagu Hymne Guru. Diantara lirik yang terkenal adalah “…engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda Jasa”. Sejak Hymne itu tercipta di tahun 1980, Profesi Guru senantiasa disandingkan dengan predikat sebagai Pahlawan tanpa tanda jasa. Disebut Pahlawan karena guru berjuang untuk mendidik dan mengajar manusia, namun tanpa tanda jasa sebab selepas jadi pahlawan pada mereka tidak disematkan tanda-tanda atau simbol kepahlawanan.

Namun, siapa sangka bahwa pandangan ini lahir dari pencipta lagu Hymne Guru tersebut. Namanya adalah Sartono, lahir di Madiun pada 29 Mei 1936. Sejak remaja sudah piawai bermain musik, meskipun tidak pandai membaca not balok, namun kecintaannya terhadap musik dan profesi Guru mengantarkan ia menjadi legenda dunia pendidikan  di Indonesia. Latar belakang pendidikannya pun terbilang tidak mentereng, beliau putus sekolah pada saat kelas II SMA karena tidak bisa melanjutkan sekolah akibat ditinggal mati Ayahnya. Ia pun mengalami kesulitan untuk membiayai sekolahnya. Kepiawaiannya bermain musik membuat beliau sempat memiliki group Band Combo Ria dan bersama teman-temannya bergabung dalam personel Korps Musik Ajudan Jendral Resor Militer (Ajenrem) milik TNI AU Madiun.
Karena bakat besar yang dimiliki oleh Sartono, sang maestro Hymne Guru dipanggil mengajar musik di SMP Kristen Santo Bernadus di Madiun pada tahun 1978 hingga pensiun pada tahun 2002 dengan status sebagai guru honorer, hingga akhir pengabdiannya gajinya hanya Rp 60.000 per bulan. Setelah pensiun pun beliau tidak memiliki tunjangan pensiun, karena statusnya yang bukan Guru PNS. Tampaknya pengalaman mengajar sebagai guru inilah yang mendasari semangatnya menjadikan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 24 tahun masa pengabdiannya sebagai Guru, lebih banyak mendapat piagam penghargaan daripada tunjangan hidup. Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa bukan hanya tersusun dalam lirik hymne, tapi juga menyertai setiap langkah kehidupannya. Namun kecintaannya terhadap musik dan dunia pendidikan telah melahirkan lagu-lagu dengan tema pendidikan, dan yang paling terkenal adalah lagu Hymne Guru.

Sejarah terciptanya lagu Hymne Guru oleh Sartono, terbilang cukup unik. Pada tahun 1980, saat berangkat mengajar dengan mengendarai Bis, tanpa sengaja ia menemukan dan membaca secarik potongan koran tentang sayembara penciptaan lagu Hymne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Dengan usaha keras yang dilakukannya hingga muncullah diantara lirik lagu Hymne guru yaitu kalimat “..engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”. Menurut Sartono, kalimat tersebut lahir dari hasil perenungan terhadap apa yang dilihat dan dicermati serta dirasakan selama beliau menjadi Guru. Dengan modal menjual jas, lagu ciptaannya dapat terkirim ke panitia lomba di Jakarta. Alhasil, jadilah lagu ciptaan Sartono, menjadi lagu Hymne Guru yang setiap saat dinyanyikan dan diajarkan kepada semua peserta didik di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang. Terkhusus pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan PGRI tiap tanggal 25 November.

Pada tahun 2007. Tepatnya pada tanggal 27 November 2007, dilakukan penggantian lirik lagu Hymne guru pada kalimat terakhir setelah disepakati dan disaksikan Dirjen PMPTK Depdiknas dan Ketua PB-PGRI. Semula kalimat “..engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa” diganti dengan “..engkau patriot pahlawan bangsa, Pembangun insan cendikia”.
Perubahan lirik tersebut tidak pernah dipersoalkan Sartono, karena beliau tahu bahwa dia hanya mencipta lagu, kewenangan sepenuhnya ada pada Negara melalui lembaga terkait. Namun, spirit pahlawan tanpa tanda jasa, dalam lirik lagu sartono tidak akan pernah lekang dimakan waktu.

Belajar Menjadi Guru dari Sartono.

Ada baiknya untuk menjadi guru atau yang sudah menjadi guru belajar dari Sartono. Diantara hal-hal yang patut dijadikan pelajaran dari Sartono adalah, pertama; Sartono menunjukan kualitas guru tidak secara formal semata tapi juga kualitas substansial. Kualitas formal dapat diketahui dari jenjang pendidikan formal seorang guru, apakah S1, S2 atau S3. Kualitas substansial seorang guru dapat diketahui terhadap penguasaan bidang jurusan yang diampu. Meski seorang Sartono tidak tamat SMA, tapi penguasaannya terhadap bidang  yang diajarkan sangat Komprehensif. Jangan sampai terjadi anekdot bahwa guru dulu memiliki pendidikan formal yang rendah tapi memiliki kualitas yang tinggi, namun sekarang, gurunya memiliki pendidikan formal yang tinggi tapi mutunya rendah.
Kedua; Sartono mampu menemukan dan mencipta (baca;kreasi).  Ketiga; mencintai profesinya. Keempat; kesederhanaan hidup.

“Pahlawan” itu telah tiada

Pada tanggal 01 November 2015, tepat di usia 79 tahun sang maestro “Pahlawan” hymne guru menghembuskan nafas terakhir, teruntukmu segala doa kami panjatkan semoga arwahmu mendapatkan ketenangan di alam barzah. Beliau wafat dengan meninggalkan semangat yang begitu kuat dalam sanubari. Berkat lirikmu lah, Negara menaruh hormat dan memberikan perhatian khusus terhadap guru, meskipun engkau sendiri tidak menjadi bagian dari guru yang menikmati hasilnya. bukan hanya lirikmu saja yang ditiadakan, kini engkaupun telah tiada dan kembali kepada keharibaan Tuhan sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog