“…Jika kalian menyangka bahwa dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengancam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri.” (Socrates, 470-399 SM)
Jauh sebelum
pengetahuan menjadi pemantik perkembangan Iptek, yang di tandai dengan era
kebangkitan dunia Eropa dari kegelapan pengetahuan. Socrates lahir dengan jalan
pemikiran yang menjadi spirit kebangkitan tersebut. Socrates dibesarkan
ditengah pemikiran kaum sofis yaitu
kelompok kaum muda yang dikenal sebagai sarjana atau cendikia.
Karena mendewakan retorika sebagai dalil pembenaran atas
pengetahuannya, kaum sofis terjebak
pada Relativisme. Yaitu, kebenaran
hanya disandarkan pada asumsi pribadi semata. Dalam bahasa inggris sofis disebut dengan “sophist” menunjukkan seseorang yang
menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah.
sehingga, Aristoteles menyindir para sofis
hanyalah sekelompok sarjana yang mengharapkan upah dari setiap ceramah yang
dilakukannya. Dalil apapun akan digunakan untuk mendukung argumentasinya,
termasuk cacian, makian maupun menghujat, sudah menjadi hal lumrah bagi kaum sofis.
Socrates menolak
cara-cara kaum sofis. Menurutnya,
manusia pastilah memiliki keutamaan-keutamaan (arate) antara satu dengan yang lain. karena itu, sudah sepantasnya
manusia menggunakan metode dialogis yang disebutnya dialektika, untuk memecahkan suatu permasalahan. Baik itu berkenaan
dengan pengetahuan maupun segala hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Untuk
mendukung gagasannya, terinspirasi
dari profesi ibunya sebagai seorang bidan, Socrates menawarkan
metode maieutika atau seni
kebidanan.. Menurutnya, seorang bidan membantu wanita melahirkan manusia,
adapun metode maieutika, membantu manusia untuk melahirkan
gagasan-gagasan baru.
Socrates juga
menolak dengan tegas bahwa semua kebenaran relative. Ia menegaskan bahwa
ada kebenaran yang bersifat umum (Ushuli =mutlak) dan obyektif.
Kemudian, Socrates mengklasifikasinya dengan kebenaran obyektif-umum
bukan subyektif-relative sebagaimana yang difahami kaum sofis.
Menyangkut
kehidupan manusia, Socrates menjelaskan bahwa intisari manusia bukan hanya
nafasnya saja, tetapi yang terpenting adalah kualitas jiwanya. Mengutamakan
kebahagian jiwa (eudaimonia) lebih baik dari kebahagian lahiriah seperti
kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa sebaik
mungkin. Pendirian Socrates inilah yang dikenal dengan “keutamaan adalah
pengetahuan”. Artinya pengetahuan tercermin dari perbuatan manusia, baik
dan buruk bukan hanya bersandar pada kemauan manusia. Socrates pun percaya akan
kehidupan setelah kematian, menurutnya kematian hanyalah meninggalkan jasad
menuju “dunia” yang lain. Dia bertutur: “Socrates
adalah di dalam kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi
air akan kembali ke dalam laut”. Maksudnya kembali ke asalnya.
Akibat jalan fikiran Socrates yang
dianggap aneh oleh para cendikia mayoritas, dia di “kafirkan” dan dianggap
sesat. Alhasil, tuduhan-tuduhan itu di patahkan oleh Socrates. Namun, kritik pengetahuan
tidak selamanya dijawab dengan dialog, sebagaimana yang diinginkan Socrates.
Tetapi, terkadang pengetahuan yang berbeda dibalas dengan hukuman. Akhirnya,
Socrates memilih jalan kematian setelah melalui persidangan, hakim memberinya
pilihan, kematian atau “insaf” dari
cara berfikirnya.
Masa demi
masa telah berlalu, tahun pun berganti, bahkan telah berapa abad terlewati.
namun, pertarungan antara kelompok sofis dengan karakter Socrates terus
terjadi. Setiap muncul manusia-manusia seperti Socrates, saat itu juga mereka
akan ditumbangkan oleh sofis-sofis baru. Kalau kelompok sofis
pada masa Yunani tidak terorganisir secara massif, namun di era modernisasi, kelompok
sofis tampil dengan wajah-wajah baru yang lebih terorganir.
Model Sofisme Gaya Baru
Setelah
mengalami evolusi sekian lama, model sofisme ini pun
bermetamorfosis dalam gaya baru, cara mengenalinya dapat dilihat dari model
berikut:
a.
Menolak kebenaran
Kemunculan
faham kebebasan melalui liberalisme, telah menyebabkan sebagian
manusia terjebak pada keadaan menolak
agama dan menjadi ateis. Kebebasan yang mereka anut, telah melewati batas-batas
kewajaran, tak jarang nilai kemanusiaan pun tercerabut dari kehidupan mereka
sendiri. Atas nama HAM, kaum sofistik gaya baru ini, berdalih bahwa
tidak ada agama dan kebenaran yang mutlak, karena itu setiap orang berhak atas
pilihan hidupnya.
Pada
dasarnya, memang manusia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, tetapi
menjadikan dalil untuk menolak kebenaran itulah masalahnya. Tatkala kebenaran
ditolak, sadar ataupun tidak, mereka sudah menganut relativisme.
Fenomena pergaulan bebas seperti LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transexsual)
adalah contoh konkrit dari implikasi bahwa nilai kemanusian telah jauh dari
kebenaran obyektif. Bukankah, tak satupun agama maupun tradisi yang dapat
membenarkan penyimpangan tersebut. Tak jarang komunitas ini dibela oleh ilmuan
atau cendikiawan dengan dalil-dalil kebebasan. Alhasil, bila bertemu dengan
orang-orang yang menolak kebenaran obyektif, anda sedang berhadapan dengan kaum
sofis.
b.
Menolak perbedaan
Perbedaan
pandangan terhadap suatu hal, tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia.
Apalagi terhadap pengetahuan yang masih memungkinkan untuk terjadinya dialektika
(dialog). kaum sofis gaya baru ini tidak bisa menerima pendapat
oranglain. Kebenaran hanya milik mereka. Bila sudut pandang kita berbeda dengan
mereka, siap-siaplah untuk di hujat dan di fitnah, anehnya lagi doktrin
pembodohan tersebut dipelihara dan diorganisir. Bukankah, Socrates sudah
mengalaminya, tatkala cara berfikirnya berbeda dengan sudut pandang para
sarjana sofis, ia harus dihukum mati, dengan tuduhan “sesat”.
Biasanya,
fenomena seperti ini paling rentan terjadi pada penganut agama. Di dalam Islam
misalnya, perbedaan furu (cabang) agama telah melahirkan mazhab-mazhab.
Tidak cukup hanya mazhab, ada pula kelompok dan organisasi yang bermunculan
sebagai implikasi dari perbedaan tersebut. Tapi dengan terjadi dialog antar
mazhab dan kelompok dalam Islam, konfrontasi besar-besaran dapat dihindarkan. Di
Indonesia, contoh konkritnya dapat dilihat dari NU dan Muhammadiyah. Dua ormas
Islam besar yang dapat berdampingan dengan damai, meskipun terdapat perbedaan
sudut pandang antara keduanya.
Sekarang
ini, bermunculan Islam “garis keras” yang hanya menganggap pendapatnya
saja benar, mereka tidak segan-segan untuk membunuh demi memaksakan
keinginannya. ISIS adalah bukti nyata, dari doktrin tersebut. Bukankah
sebaiknya bila ada perbedaan pendapat dan sudut pandang, diselesaikan dengan
dialog untuk mencari titik temu dan menghindari konflik sosial.
c.
Berpihak kepada yang membayar
Kaum sofis,
sebagaimana telah disindir oleh Aristoteles, adalah sekelompok cendekiawan opportunis.
Mencari keuntungan dengan pidato-pidato yang indah dan membuai pendengarnya.
Sehingga para pendengar tidak lagi dapat membedakan yang benar dan salah. Hanya
orang-orang yang kritis seperti Socrates saja dapat memahami motif kaum sofis
dengan jualan ilmunya itu.
Di zaman
tekhnologi saat ini, kaum sofis juga menggunakan tekhnologi. Menggunakan
media sosial untuk ber-opini, ber-asumsi dan ber-argumentasi. Tapi tidak
semuanya murni karena ingin mengungkap fakta. Kebanyakan berpihak kepada yang
membayar. Bukankah kebenaran tidak diukur dengan uang. Tapi jangan salah, bagi
orang sofis mengatakan sesuatu benar dan salah karena di bayar adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Lihat
saja cara sebagian media membuat kesan sebagai media independen dan obyektif.
Tapi muatan beritanya, sangat tidak independen dan berimbang.
Apalagi bila
orang-orang sofis hidup dilingkungan politik dan hukum. Bisa fatal
akibatnya, Negara bisa hancur, karena korupsi dipelihara dengan menjual
kepentingan rakyat. Kita salah alamat kalau mengharapkan keadilan dari orang sofis.
Apalagi kalau tidak punya fulus untuk membayar. Para cendikia, atau
sebutlah orang yang ber-ilmu tapi menganut gaya sofis, dapat “menipu” orang
lain dengan retorikanya. Mengorbankan oranglain demi kepentingan uang bukan
sekedar agar dapur dapat mengepul, tapi lebih karena ketamakan yang terorganisir.
d.
Menghukumi karena kebencian
Sebagian
dari gaya sofis, adalah membuat garis pemisah antara kawan dan lawan. Pemisahan
itu sendiri didasarkan pada kebencian. Bila tidak bisa membuktikan kepada kawan
kebenaran pengetahuannya, maka sebarkanlah kebencian kepada lawan, agar kawan
tidak berubah menjadi lawan.
Socrates
yang berbeda dengan kaum sofis, dalam memaknai hakikat manusia dan pengetahuan,
harus diseret ke pengadilan. Tatkala, argumentasi Socrates mematahkan segala
tuduhan. Maka diciptakanlah kebencian, bahwa Socrates membuat “agama baru”.
Alhasil, issu tersebut berhasil membuat Socrates dijatuhi hukuman mati.
Di era modernisasi saat ini,
cara-cara sofis digunakan untuk motif politik, ekonomi, budaya dan agama. Dengan berbagai macam
bentuk manipulasi, kebencian dapat mengalahkan segalanya, termasuk kebenaran
itu sendiri.
Konklusi dari mengenal sofisme gaya baru,
terserah pada anda. Boleh sepakat ataupun tidak. Mungkin, ada juga yang berkata
hal tersebut tidak relevan. Tapi, menurut hemat saya, kunci untuk tidak menjadi
sofis adalah kebalikan dari sofis itu sendiri. Yakinilah bahwa
sesungguhnya kebenaran itu ada, hargailah perbedaan dengan membangun dialog.
Lalu, janganlah menjual harga diri apalagi kebenaran demi uang. Dan jadilah,
manusia yang menebarkan kasih sayang kepada sesama. Sebagaimana pesan orang
bijak, mereka yang tidak bersaudara denganmu dalam keyakinan adalah saudaramu
dalam kemanusiaan. Wallahu’alam bis shawab.
Muhammad
Syahudin
Direktur Lembaga Kajian Filsafat & ilmu
Sosial (LKFiS)
tulisan yang sama pernah di muat di Islamnesia.com
tulisan yang sama pernah di muat di Islamnesia.com