PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM


I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Secara umum, ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam masa Aufklarung atau Zaman Pencerahan beberapa tokoh filsafat seperti Auguste Comte, Ernst Mach, dan para filsuf dalam Vienna Circle, berpendapat bahwa tidak perlu ada perbedaan metode penelitian atau pendekatan dalam kedua kelompok ilmu pengetahuan tersebut.
 Kesuksesan pendekatan (metode) ilmiah dalam ilmu-ilmu alam yang berhasil menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini akan dapat diperoleh juga jika diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Pandangan atau aliran semacam ini disebut aliran positivisme. Dalam perkembangannya, usaha penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial menimbulkan masalah, bukan saja dari segi keilmuan, tetapi juga segi kemanusiaan. Masalah inilah yang akhirnya memunculkan metode-metode alternatif dalam ilmu-ilmu sosial, yang salah satunya adalah hermeneutik atau penafsiran atau interpretasi.[1]
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Ilmu ini dikenal dengan tafsir kitab suci, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik dalam kajian di atas mulai berkembang pada abad 17 dan 18.
Perkembangan hermeutika tersebut, turut mempengaruhi pendekatan studi Islam atas teks al-Qur’an dan al-Hadist. Berbagai kalangan muda intelektual muslim memakai pendekatan hermeneutika dalam menerjemahkan maksud ayat-ayat dalam al-Qur’an maupun al-Hadist selain pendekatan metode tafsir klasik dalam Islam terhadap ilmu-ilmu sosial.
Hermeneutik yang dalam istilah sehari-hari diartikan sebagai interpretasi atau penafsiran, pada awalnya merupakan metode penelitian dalam human sciences. Penerapan hermeneutik dalam human sciences ini diawali oleh F. Schleiermacher dan W. Dilthey, yang kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa pemikir sesudahnya seperti Heidegger dan Gadamer.[2]
Dengan landasan tersebut tampaknya pengaruh hermeneutik dalam penafsiran atas teks kiranya menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji dan ditelaah, dan seperti apa pengaruhnya terhadap metodologi dan pendekatan studi Islam, terutama dalam bidang diskursus ilmu-ilmu sosial. 

B.    Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan landasan analisa latar belakang masalah, dalam makalah ini akan membatasi pembahasannya sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimakud dengan Hermeneutik ?
2.      Seperti apa cara kerja Hermeneutik ?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh pelopor gagasan Hermeneutik ?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip pandangan Hermeneutik ?
5.      Bagaimana pendekatan Hermeneutik dalam Studi Islam ?
C.    Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui definisi hermeneutik
2.      Untuk mengetahui dan memahami cara kerja Hermeneutik
3.      Untuk Mengenal tokoh-tokoh pelopor gagasan Hermeneutik
4.      Untuk mengetahui  prinsip-prinsip pandangan Hermeneutik
5.      Untuk memahami  pendekatan Hermeneutik dalam Studi Islam

II.    PEMBAHASAN

A.      Perkembangan Pengertian  Hemeneutik
Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”.[3]  Maka, kata  benda hermeneuein secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah hermeneuein dalam mitologi Yunani dikenal memiliki hubungan dengan dewa Hermes atau dalam bahasa latin Mercurius yang menjadi simbol duta dewa Yupiter dalam menyampaikan pesan kepada manusia. Hermes harus mampu mengintrepretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang di pergunakan oleh pendengarannya. Oleh karena itu, Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.[4]
Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione, berpandangan tentang hermeneutik yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita. sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.[5]
Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan. Oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan keberadaannya.[6]
Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.[7]
Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[8]
Pada tahun 1927, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), Martin Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik. Menurut Heidegger, hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman komunikasi linguistik, juga bukan merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften, tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi. Hal ini cenderung melupakan aspek yang paling mendasar, aspek pre-scientific keberadaan manusia di dunia. Inilah yang menjadi ruang lingkup kerja hermeneutik menurut Heidegger.[9]
Gadamer menggolongkan dialektik antara alienation dan re-fusion dalam tiga bidang lingkaran yang berbeda, yaitu estetis, historis, dan bahasa. Dalam masing-masing bidang lingkaran ini, Gadamer menyatakan bahwa kebenaran muncul dari fusi interpreter, dengan segala prasangka awal dan informasi personal yang dimilikinya. Tidak ada satu interpretasi pun yang dapat diklaim sebagai benar; tetapi semua interpretasi, dalam maksud tertentu adalah benar. Karena itu dalam hal ini, yang ada hanyalah penafsiran (hermeneutik) dan interpretasi.[10]

B.    Cara Kerja Hermeneutik
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek itu objek. Subyek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling mengabungkan diri satu sama lain, Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subyek, sesuai dengan cara pandang subyek. Jika tidak demikian, maka objek tidak bermakna sekali.[11]
Hursel menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya obyek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau obyek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah dapat dilihat keunggulan hermeneutik.[12] Manusia tidak bisa menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang dipakainya sendiri, bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas berbagai ruang dan waktu. Tetapi penafsiran-penafsiran ini telah dimodifikasi menurut aliran waktu.[13]
Meskipun hermeneutik atau interpretasi termuat dalam kesusasteraan dan linguistik, hukum, sejarah, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya yang berhubunggan dengan teks, namun akarnya adalah filsafat.

C.    Tokoh-tokoh Hermeneutik
Diantara tokoh-tokoh yang memberikan pandangan serta konstibusi terhadap hermeneutik adalalah sebagai berikut :
1.      Scehleiermacher
Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan interpretasi, yaitu rekontruksi historis, obyektif dan subyektif terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif-historis terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Dengan rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengalamannya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.[14]
Menurut Scehleiermacher ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang. Sedangkan aspek interpretasi psikologis memungkinkan seseorang menangkap pemahaman pribadi penulis. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.[15]
2.      Wilhelm Dilthey
Wilhelm Dilthey lengkapnya Wilhelm Christian Ludwig Dilthey lahir pada tanggal 19 november 1833 di Bierbrich am Rhein. Ayahnya adalah seorang pendeta protestan dan menjadi pejabat gereja protestan Duke dari Nassau.[16] Dilthey adalah seorang filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia seakan-akan telah mematri sejarah dan filsafat menjadi satu dengan maksud untuk mengembangkan pandangan filosofisnya yang komperehensif dan yang tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak diredupkan oleh prasangka.
Dilthey mencoba meninjau peristiwa sejarah dari dua sudut pandang, yaitu secara eksterior (dari luar) dan interior (dari dalam). Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu. Secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi itu dalam keadaan saling bergantung satu sama lain. Seringkali yang memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa, yaitu tanggal dan tempat adalah nilai yang berasal dari kesadaran kita sendiri, yaitu dimensi interior. Atau dapat terjadi dimensi eksterior, di mana sebuah peristiwa sejarah sedemikian mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak menutupi keadaan sadar itu.[17]
Dilthey membedakan dengan tajam antara ilmu pengetahuan tentang alam (Naturwissenschaften) dengan ilmu pengetahuan tentang batin manusia (geisteswissenschaften). Karena seorang hermeneutik atau penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia mengambil apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan.[18]
3.      Hans-George Gadamer
Hans Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900.[19] Dia mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya antara lain pada Nikolas Hartman dan Martin Heidegger, serta mengikuti kuliah pada Rudolf Bultmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Hans-George Gadamer merasa tertarik akan humaniora dan khususnya bidang filsafat.[20]
Adapun gagasan Hans-George Gadamer terhadapa hermeneutik, mencakup :
a.       Teori “ Prapemahaman” ( Vorverstandnis; pre-understanding)
Pengaruh situasi hermeneutik atau Wirkungsgeschichte tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut oleh Gadamer dengan istilah Vorverstandnis; pre-understanding atau “prapemahaman” terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman (praanggapan) yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika kita membaca teks.[21]
b.      Teori “Penggabungan / Asimilasi Horison” dan Teori “Lingkaran Hermenutik”
Di dalam menafsirkan teks seseorang harus selalu berusaha merehabilitasi prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison”, dalam arti bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar bahwa ada dua horison, yakni (1) “cakrawala [pengetahuan]” atau horison di dalam teks, dan (2) “cakrawala [pemahaman]” atau horison pembaca.
Kedua horison ini selalu hadir dalam proses pemahaman dan penafsiran. Di sinilah terjadi pertemuan antara subyektifitas pembaca dan obyektivitas teks, di mana makna obyektif teks lebih diutamakan.[22]
c.       Struktur Pengalaman dalam kebenaran epistemologi Hermeneutika Gadamer
Gadamer mulai menguji pengalaman hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana dia menemukan konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data konseptual.
Tujuan analogisnya, menurut Gadamer, dipakai dalam teologi dan filologi dengan “metode ktiris historis”, yang dalam beberapa bagian merefleksikan kebiasaan sains untuk membuat sesuatu menjadi obyektif dan jelas (bersifat verifikasi). Sejauh ini berlaku, apa yang nampak (dapat deverifikasi) adalah nyata; tak ada ruang pun lepas dari sisi pengalaman non obyektif dan historis.[23]  
d.      Konsep tentang Seni (humaniora) dalam Hermeneutika Gadamer

Gadamer menaruh perhatian pada bidang seni dengan alasan di dalam seni kita mengalami suatu kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang diperoleh melalui penalaran melainkan kebenaran yang menurut faktanya “menentang semua jenis penalaran”. Sebagai contoh misalnya di dalam melukis, garis-garis ditarik miring pada saat seharusnya ditarik lurus, atau campuran warna yang tidak menurut kombinasi yang lazim, seringkali dapat menghasilkan efek kenikmatan estetis. Juga di dalam musik, satu bait melodi dapat mengumandangkan perasaan estetis.[24]

e.       Urgensi Bahasa dalam Hermeneutika Gadamer
Dalam bukunya, Gadamer juga membahas masalah bahasa. “mengerti” tidak mungkin tanpa bahasa. Dan karena “mengeti” bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia,[25]
dalam pemikiran Gadamer, antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[26]

4.      Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse.[27]
Habermas yang merupakan penerus dari mazhab Frankfurt yang disana ada Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan theodor Adorno pada kesempatan berikutnya hendak kembali membangkitkan teori tersebut melalui sebuah paradigma baru.[28] Habermas memberikan sebuah gambaran mengenai teori kritis, dimana teori kritis ini merupakan sebuah metodologi yang ditegakkan di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Adapun ilmu pengetahuan yang dikehendaki di sini adalah ilmu pengetahuan yang bernuansa sosiologis.[29]
Namun demikian Habermas berpendirian bahwa teori kritis yang terdahulu telah gagal untuk menjelaskan konsepsi rasio yang lebih luas. Solusi yang ditawarkan Habermas adalah mengubah penekanan filsafat dari hubungan subyek-obyek menjadi komunikasi intersubyektif.[30] Tujuannya adalah untuk memahami pihak lain, yang lahir dari sikap komunikatif.
5.      Paul Ricoeur
Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.[31]
Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.[32]
6.      Martin Heidegger
Martin Heidegger berasal dari keluarga yang sederhana. Ia dilahirkan di kota kecil Messkirch pada tanggal 26 September  1889. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Katholik Roma yang ketat, di mana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Katolik Santo Martinus. Pada tahun  1916 Heidegger mulai belajar filsafat Fenomenologi kepada Husserl, bahkan menjadi asistennya. Disamping itu selama tahun 1916-1919, Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma Katolik yang rigid dan menggerakkan dogma-dogma tersebut ke faham Protestan liberal.[33]
Heidegger menegaskan bahwa interpretasi tidak pernah bertolak dari tabularasa, tetapi senantiasa terjadi atas dasar suatu pra pemahaman. Setiap interpretasi selalu melibatkan ‘sesuatu yang kita punya sebelumnya’ (vorhabe), ‘sesuatu yang kita lihat sebelumnya’ (vorsich), dan ‘sesuatu yang kita tangkap sebelumnya’ (vorgriff).[34]
7.      Jaques Derrida
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dia belajar di Ecole Normal Superieure dan selanjutnya mengajar di sekolah tersebut sebagai ‘maitre-assistant’ (asisten ahli) bidang filsafat. Setiap tahun ia juga mengajar di Yale University, USA sebagai dosen tamu. Pada masa mudanya ia juga pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis. Derrida sangat cerdas. Ia dengan tekun mempelajari karya-karya filsafat tokoh-tokoh besar, mulai dari filsuf-filsuf Yunani klasik seperti Plato dan Aristoteles, kemudian Kant, Hegel, Freud, Nietzsche, Husserl, dan Heidegger.[35]
Menurut Derrida antara ilmu pengetahuan dan filsafat merupakan hal yang sama, karena keduanya berakar dalam rasionalitas yang sama. Bagi Derrida, filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan.[36] Tidak masuk akal jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sedang menyingkirkan filsafat atau bahwa filsafat sudah tidak mempunyai lingkup gerak lagi karena perkembangan ilmu pengetahuan.
Gagasan derrida yang paling terkenal adalah tentang, a) differance,  bahwa Derrida tidak menyetujui adanya pertentangan antara subjektivitas dan objektivitas, sebab di mana terdapat pasangan dua hal, maka yang pertama menguasai yang yang kedua. Makna sebagaimana tanda, selalu tertunda. Kehadiran makna juga ditunda, atau dengan kata-kata lain, masih bergerak antara masa lalu dan masa yang akan datang seperti bila kita hendak menangkap makna ucapan seseorang. Differance juga berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang. Inilah sebabnya mengapa Derrida menyatakan bahwa differance itu tidak statis tetapi genetis.[37] b) dekonstruksi, adalah kata yang sulit untuk didefinisikan, dan Derrida sendiri menolak untuk mendefinisikannya. Namun menurut Derrida dekonstruksi bukanlah sebuah mode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi ini berhubungan dengan bahasa yang memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam logosentrisme. Selain menunjukkan bahwa “hukum-hukum” pemikiran itu tidak lengkap, kecendrungan Derrida adalah membangkitkan pengaruh, untuk membuka wilayah baru dalam dunia filsafat sehingga terus bisa menjadi ajang kreatifitas dan penemuan baru.[38]

D.    Prinsip-prinsip Pandangan Hermeneutika
Berikut adalah beberapa prinsip pandangan hermeneutika :
1.      Bila kaum strukturalis berkonsentrasi pada struktur, kaum hermeneutika berkonsentrasi pada makna. Makna ada pada bahasa sebuah tradisi. Pandangan ini berbeda dengan pandangan fenomenologis bahwa makna ada pada kesadaran seseorang.
2.      Bahasa adalah pusat kekuatan manusia. Menurut Gadamer, ada (being) yang bisa dimengerti adalah bahasa. Tanpa bahasa tidaklah mungkin memahaminya. Ini mengingatkan kita akan ungkapan lama zoon logon echon, manusia sebagai makhluk berbicara. Sesuai pula dengan pepatah Arab al-Insan hayawan naathiq.
3.      Hermeneutika menekankan pemahaman dan komunikasi. Lewat bahasa mereka berupaya untuk mendapatkan pemahaman berjamaah atau shared view. Kuncinya adalah interpretasi terhadap teks. Bagaimana memahami problem dalam konteks kita masa kini ihwal sesuatu yang tertulis dalam teks tradisional yang jauh berbeda dalam ruang dan waktu.
4.     Dalam tradisi hermeneutika, subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi malah terlibat dalam hubungan komunikatif. Konstruksi makna berdasar pada intersubjektivitas dan dalam konteks tempat kejadian fenomena. Subjektivitas yang dialami bersama secara kolektif jauh lebih bernilai daripada kesimpulan subjektif dan idiosinkratik.
5.    Subjek dimaknai demikian adanya karena dunia bahasa yang mereka gali. Dunia adalah bagian dari bahasa. Dunia kita dibentuk oleh bahasa. Interpretasi yang baik menyaratkan adanya keterkaitan (interplay) antar dua konteks. Ini yang disebut Gadamer sebagai fusion of horizons. Dalam tradisi hermeneutika pemahaman itu dideskripsi sebagai lived atau existential, yakni teralami langsung, bukannya pengalaman yang dijaraki (detached) dengan alasan demi objektivitasnya.
6.    Tujuan akhir dari hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar lebih mudah dipahami pihak lain, sehingga akhirnya dicapailah sebuah konsensus.
7.     Pemahaman antarbudaya dan antar zaman seperti halnya pemahaman teks juga, yaitu sebuah dialog lintas budaya dan lintas zaman. Tidak mungkin ada titik temu pemahaman yang pasti, sebab masing-masing dibentuk oleh dunia bahasa dan budayanya sendiri. namun masing-masing dapat berupaya untuk mendapat pemahaman semaksimal mungkin.[39]
E.    Pendekatan Hermenutika  dalam studi Islam
Hermeneutik adalah suatu pemahaman terhadap pemahaman yang dilakukan oleh seseorang dengan menelaah proses asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks-konteks yang melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut. Setidaknya untuk dua tujuan: Pertama, untuk meletakan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai, kedua, untuk melakukan suatu reproduksi makna dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi.
Meskipun  Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. walaupun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.[40]
Hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol itu tadi. Berkaitan dengan studi Islam, penting kiranya memahami makna dari ekspresi simbol-simbol yang ada guna mengungkap makna sesungguhnya dibalik suatu teks atau nash.
Dengan demikian pendekatan Hermeneutik dalam studi Islam, sangat layak dipertimbangkan berdasarkan pemetaan hermeneutik menurut :
a.    Palmer
1.         Sebagai teori penafsiran kitab suci( oleh J.C. Danhauer)
2.         Sebagai metode filologi, yang hanya menakankan pada kosakata atau gramatika.
3.         Sebagai ilmu pemahaman linguistik, sebagai kritik pada metode filologi,dan menawarkan perpaduan gramatikal dan psikologi (oleh Schleiermacher)
4.         Sebagai fondasi metodologi ilmu-ilmu kemansusiaan (oleh Wilhelm Dilthey)
5.         Sebagai fenomena dasein dan pemahaman eksistensial
6.         Sebagai sistem penafsiran.[41]
b.    Menurut Josef Bleicherr
1.       Sebagai metodologi
2.        Sebagai filsafat atau filosofis
3.        Sebagai kritik.[42]
c.    Pengelompokan ilmuan terhadap Hermeneutik
1.       Interpratasi/hermeneutika gramatika bahasa
2.       Interpretasi/hermeneutika psiko-historis-sosiologis(ekstra linguistik)
3.      Interpretasi/hermeneutika spirit (ideal moral) yakni untuk menemukan konsep dasar/umum/prinsip atau makna universal teks
4.       Interpretasi/hermeneutika kontekstual, yakni jawaban terhadap kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral.[43]
Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terangterangan baru dilakukan pada tahun tujuh puluhan abad 20.
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Setidaknya ada dua pendapat tentang penggunaan hermeneutika ini dalam penafsiran al-Quran ini.
Pertama, hermeneutika tidak bisa digunakan untuk menafsirkan al Quran. Hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup masyarakat penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk hermeneutika , pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh sebagian besar mufassir. Beberapa cendekiawan, seperti Alparslam, Hamid Fahmy, Anis Malik Toha, dan Wan Moh Nor sejalan dengan faham di atas.[44]
Alparslan (salah seorang cendekiawan Turki) berpendapat, ”Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan dari konsep-konsep yang dalam konteks keilmuan berkembang menjadi tradisi ilmiah (scientifik tradition). Tradisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan berbagai disiplin ilmu, seperti yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep hermeneutika. Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, kosmologi dan metafisika. Hal-hal inilah yang menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk hermeneutika tidak netral.[45]
Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat salah seorang pakar Hermeneutika Werner G.Jeanrond. Ada tiga milleu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci mereka dan berupaya untuk mencari model yang cocok untuk interpretasi. Ketiga masyarakat Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.[46]
Selain itu, Epistemologi dalam Islam berbeda dengan epistemologi barat. Dalam Islam sumber inspirasi tidak hanya akal. Karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Al Quran banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak pernah terlintas dalam pemikiran para pakar hermeneutika. Misalnya ceritera kapalnya nabi Nuh, nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar, nabi Musa yang dapat membelah laut, Isra dan mi’rajnya nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah khayalan akan tetapi merupakan khabar shadiq (benar dan tidak diragukan lagi). Selain itu pula jika ilmu pengetahuan berdasarkan pada kepentingan individu-baik bersifat politik, ekonomis maupun idiologi, maka pengetahuan itu tidak dapat diaplikasikan untuk kepentingan individu lain. Apatah lagi diaplikasikan untuk menjelaskan makna-makna ajaran dalam al Quran. Memahami al Quran dengan metode Habermas misalnya, justru merduksi ayat-ayat al Quran ke dalam makna-makna individu. Dalam Islam wahyu (revelation) menempati posisi penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti pendapatnya Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio sekaligus yang berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan epistemologi hermeneutika Kritis dan Islam.[47]
Kedua, hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Menurut hermeneutika memiliki banyak persamaan dengan ilmu tafsir yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah. Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.[48]
Implementasi hermeneutika dalam Islam berbeda dengan hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan paling benar. Sedangkan penggunaan hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al-Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran.

III.  PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan terhadap pendekatan hermeneutik dalam studi Islam , maka dapat disimpulkan dalam makalah ini sebagai berikut :
1.    Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”. secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.
2.    Cara kerja hermeutik adalah relasi subyek (penafsir) dan obyek (yang ditafsirkan). Subyek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling mengabungkan diri satu sama lain, Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subyek, sesuai dengan cara pandang subyek.
3.    Diantara tokoh-tokoh pelopor gagasan hermeneutik adalah; Scehleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-George Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Martin Heidegger, dan Jaques Derrida.
4.    Beberapa prinsip-prinsip pandangan hermeneutik adalah; a).  Berkonsentrasi pada makna, b). Bahasa adalah pusat kekuatan manusia, c). menekankan pemahaman dan komunikasi, d). Tidak terpisahkan antara subyek dan obyek, e). Tujuan akhir hermeneutik adalah pemahaman yang lebih baik.
5.    Implementasi hermeneutika dalam Islam berbeda dengan hermeneutika dalam dunia Kristen. hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al-Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran.
B.    Saran dan Kritik
Pembahasan berkenaan dengan pendekatan heremeneutik dalam kajian ilmu-ilmu sosial secara umum dan studi Islam secara khusus masih membutuhkan analisa dan penelitian lebih dalam.
Dalam makalah ini mungkin masih terdapat kekurangan dan kelemahan, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk dilakukan perbaikan. Oleh karena itu, setiap saran dan kritikan demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan guna mendapatkan analisa dan pendalaman materi pembahasan secara lebih komprehensif.




[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas. (Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2003).  h. 22-24
[2] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1996). h. 35
[3] E. Sumarnoyo, ibid., h. 23
[4] Ibid., h. 23-24
[5] Ibid., h. 24
[6] Ibid., h. 24
[7] Ibid., h. 41
[8]Ibid., h. 63-63
[9] Joko Sutrisno, Hermeneutik dalam ilmu-ilmu Alam,  http://joko.tblog.com/post/1969978749,  akses 05 Mei 2013.
[10] Ibid.
[11] Op.cit., h. 30
[12] Ibid., h. 30
[13] Ibid., h. 32
[14] Ibid., h. 39
[15] Ibid., h. 38- 39
[16] Supriyo Priyanto, Wilhelm Dilthey Peletak Dasar Ilmu-Ilmu Humanior.  (Semarang: Bendera, 2001).  h. 9

[17] Ibid., h. 47
[18] W. Poespoprodjo, Hermeneutika. (Bandung: Pustaka Setia, 2004). h. 44-49
[19] E.Sumaryono.,op.cit. h. 67
[20] K. Bertens,  Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002)  h. 254
[21] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutik dan Pengembangan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009).  h .46
[22] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an Pada Masa Kontemporer, ( Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009). h. 38-39
[23] Ibid., h. 231
[24] Loc.cit., h. 69
[25] Bertens, op.cit., h. 266
[26] Ibid.
[27] Ibid.. h. 213
[28] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1991). h. 37
[29] Ibid., h. 37
[30] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi; menyingkap pertautan pengetahuan dan kepentingan bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, Cet. III, 2009). h. 33-34
[31] Miftahuddin, Tokoh-tokoh Hermeneutik. http://miftahuddin86.blogspot.com/2011/02/tokoh-tokoh-hermeneutik.html. di akses tanggal 07 Mei 2013
[32] Ibid.
[33] Nafisul Atho’ Mahsun, “Martin Heidegger” dalam Hermeneutika Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies. (Yogyakarta: IRCISoD, 2003).  h. 52-53
[34] W. Poespoprodjo, op.cit., h. 75-78
[35] E. Sumaryono, loc.cit., h. 115-116
[36] Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan”. (Yogyakarta: Kanisius, 2006). h. 167
[37] Ibid., 124-126
[38] Jhon Lechte, 50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2001). h. 170-171

[39] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan.  (Bandung: Rosdakarya, 2010). h. 126-127.
[40] M. Abdurachman Rochimi, Hermeneutika Al- Qur’an, perlukah?. http://rachman007.wordpress.com/hermeneutika-al-quran-perlukah/. Di kases tanggal 07 Mei 2013
[41] Ghulamul Musthofa, dkk. Pendekatan Hermeneutik. http://yumifaki.blogspot.com/2011/01/pendekatan-hermeneutika.html. di akses 07 Mei 2013
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Alparslan Acikgence, Islamic Science,Toward Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996).  h. 29
[45] Ibid.
[46] Werner G Jeanrond, Theological Hermeneutic, Development and Significantce (Macmillan: London, 1991).  hlm. 12-13.
[47] Malki Ahmad Nasir, Hermeutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas), dalam Jurnal Islamia Thn. I No.I (Jakarta: Khairul Bayan, 2004).  h. 36.
[48] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta: Paramadina, 1996). h. 126.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog