Agama dan Tafsir Kekuasaan















Eksistensi manusia di muka bumi, tidak lepas dari bangunan yang tunggal. Ibarat prisma, memancarkan dan memercikkan cahayanya. Seperti air, mengalir dalam urat nadi kehidupan. Sulit menafikan keniscayaan tersebut dari realitas. Merasakan kehadiran agama adalah keinginan Ilahiyah, yang ditiupkan pada setiap manusia. Namun, secara gradual, perkembangan manusia pada dimensi sosiologis, terbentuk dua kutub ekstrim dalam mazhab pemikiran. Yaitu, matrealisme ekstrim dan spiritualisme ekstrim.

Dostoyevsky mengatakan: “apabila, Tuhan disingkirkan dari alam, maka semua tindakan manusia diperbolehkan”. Sebuah kekecewaan terhadap “Tuhan” yang telah dianut manusia. Senada dengan itu, Lenin berucap: “agama harus diperlakukan secara bengis”. Louis Van Verba, malah lebih berani mengatakan: “penganut agama, adalah mereka yang mengalami kebuntuan berfikir”. Mereka, berada pada kutub matrealisme ekstrim. Pradigma kritik tersebut, didasari suatu alasan, bahwa agama merupakan produk kekuasaan. Dengan kekuasaannya, dianggap berhak untuk menafsir agama.


Pada kutub yang lain, spiritualisme ekstrim, justru dianggap sebagai refresentasi dari kekuasaan. Sebuah fenomena metafisis, yang dicederai dengan klaim penyesatan, bila berbeda pendapat dengan kaum agamawan. Seperti nasib Galileo, yang dibakar hidup-hidup, karena berbeda pendapat dengan kaum Gerejawan. Berkembangnya nuansa klasik, serupa neo  sufisme, turut andil menenggelamkan diri dalam kenikmatan spiritual. Namun, abai terhadap realitas. Hegemoni dunia modern, bahkan melahirkan aliran martildown. Suatu jalan spiritual dengan melakukan bunuh diri secara massal.

Humanisme memandang,  kecendrungan terhadap agama terkait konsep dasar manusia. Yaitu, sebuah misi intelektual, Nietzshe menyebutnya “kehendak untuk berkuasa”. Demi memenuhi hasrat tersebut, digunakanlah jargon-jargon tertentu. Jargon yang paling ampuh dalam merefresentasikan kekuasaan adalah agama. Bukan karena konsep agama itu nisbi, tapi rasio agama telah dinisbihkan oleh kekuasaan. Tak ketinggalan, post-struktualis, juga ikut menisbikan agama. Michael Foucoult, menegaskan : “tidak ada kebenaran abadi melainkan kepentingan”. Terlepas, dari motif yang mendasarinya.

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kehadiran agama, dipicu salahsatu dari empat hipotesis berikut: 

Pertama. Agama adalah produk ketakutan. Lucretius, filosof Yunani mengatakan; “nenek moyang para Dewa adalah Dewa Ketakutan”. Sementara, Thomas Hobbes beranggapan bahwa, rasa takut manusia akan kekuatan di luar dirinya, membuat manusia percaya kepada agama, Roh-roh, dan Tuhan. Agama, dianggap takhayul yang dibenarkan. Sedangkan, yang tidak dibenarkan, tetap disebut takhayul.

Kedua. Agama adalah produk kebodohan. Kebuntuan berfikir, didakwa sebagai pemicunya. Ketidakmampuan menjawab berbagai persoalan pengetahuan, akhirnya mencari “obat penenang”, dengan memproyeksikan agama sebagai sintesa. Bagi Feurbach, yang pernah belajar kepada Hegel. Proyeksi terhadap Tuhan, yang menyebabkan agama itu ada. Sekiranya, manusia melepaskan proyeksi tersebut, dengan sendirinya Tuhan tidak ada. Pangkal semua ini, hanya satu menurutnya, yaitu kebodohan. 

Ketiga. Agama lahir dari pendambaan akan keadilan dan keteraturan.  Hubungan sosial dalam masyarakatlah yang mengikatnya. Struktur sosial, yang berkembang menuntut adanya sistem sosial. Tradisi dan agama diletakkan sebagai konstitusinya. Namun, setelah kemenangan Renaisence di abad 19 M. Merubah kondisi masyarakat ke arah potivisme. Hal ini, berdasarkan pandangan August Comte tentang konsisi sosiologis masyarakat Eropa. Kemajuan sains, di klaim sebagai agama baru masyarakat modern.

Keempat.  Agama adalah produk kekuasaan. Tesis ini, diajukan Karl Marx dalam pandangannya terhadap agama. “Kebencian” Marx terhadap agama, dipicu oleh manipulasi penguasa yang bersembunyi dibalik kedok agama. Namun, motif sesungguhnya adalah langgengnya kekuasaan yang menindas rakyat. Dengan bernada sinis, Marx menyindir penganut agama sebagai penikmat “candu”, yang ditanamkan di alam bawah sadar manusia, agar tidak berani melakukan perlawanan terhadap penindasan yang terjadi.

Pertentangan agama dan ilmu di Eropa, mengalami puncaknya ketika masyarakatnya terjebak pada sekulerisme. Agama dipisahkan dengan ilmu, bahkan ditalak dari sistem sosial. Demikianlah, akhirnya masyarakat modern, meletakkan agama pada keyakinan individu semata. Karen Amstrong berkata : “Dunia telah meninggalkan banyak sejarah tentang Tuhan dan agama, sekaranglah saatnya perlu ada tafsiran baru terhadap agama, berdasarkan konteks masyarakat modern”. Keragaman penafsiran terhadap agama, diikuti pula dengan keragaman ritualitas. Menurut penganut Mazhab Postmodernisme, tidak ada ruang agama yang kebal terhadap kritikan. Bahkan, Francis Bacon berkata : “telah terjadi peralihan wilayah pencarian kebenaran ke arah pencarian kekuatan”.

Mencermati pemikiran yang berkembang, tampaknya agama tidak lagi menjadi pandangan hidup. Yang dimunculkan malah kekuatan-kekuatan dalam agama, bahkan nilai-nilai kemanusiaan disingkirkan. Perbedaan di wilayah agama, mengarah ke arah benturan kekuatan konflik atas nama Tuhan dan agama. Mungkin inilah disebut teori konflik. Semakin dibuka ruang kebebasan maka semakin tertutup ruang demokrasi.

Fenomena perkembangan agama, telah dijelaskan sebelumya. Agama yang lahir dari produk ketakutan, kebodohan, prinsip keadilan sosial, dan kekuasaan. Tentunya, tidak akan bisa mengatasi masalah substansial manusia. Hanya agama fitrah saja yang bisa menjawabnya. Yaitu, agama yang secara komprehensif sesuai kaidah akal dan kebutuhan manusia. Hanya saja, tatkala agama memasuki dimensi “penafsiran”, ruang kritik itu, mestinya tidak ditutup. Sehingga, tidak terbuka peluang bagi orang-orang “bodoh” yang “berkuasa” menyetir agama, demi kepentingan materi semata. Menciptakan ketakutan berlebihan, menjadikan agama sebagai topeng.

Kekuasaan, memang cenderung dekat dengan kezaliman. Karena itu, kehadiran agama mestinya menjadi kontrol penguasa, bukan malah dijadikan alat untuk membenarkan kezalimannya. Bisa saja, penolakan terhadap agama bukan dikarenakan agama itu sendiri, tetapi ada kuasa “makna” yang bermain-main dalam perilaku keberagamaan.

Bersambung....

Penulis : Muhahammad Syahudin
                 (Direktur LKFiS & Penggiat komunitas Literasi Sureq Institute)


Bahan Bacaan :

Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Tuhan. Diterjemahkan dari A History of God: The 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. Bandung: Penerbit Mizan
Khotimah. Makna “Agama” Hingga Munculnya “Agama Baru”. Diakses 12 april 2016. https://www.academia.edu/12124370/MAKNA_AGAMA_HINGGA_MUNCULNYA_AGAMA_BARU.
Magnis Suseno, Frans. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muthahhari, Murtadha. 2007. Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci. Bandung: Penerbit Mizan.
Suhelmi, ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog