Oleh: Muhammad Syahudin
“Bisa
minta nomor pin BB atau FB ta’ Pak” kata
seorang anak SD, kelas IV kepada saya. “untuk apa?” kata saya. “Biar kita bisa chatting, Pak” katanya lagi. Di
genggamannya, saya lihat gawai yang mewah. Saya perhatikan, mereknya juga
terkenal. “Lain kali ya, saya lagi sibuk”, kata saya berdalih.
Fenomena
gawai, atau yang lebih dikenal dengan smartphone.
Dewasa ini, tidak lagi dikonsumsi oleh orang dewasa saja. Tetapi, sudah menjadi
konsumsi anak-anak. Mereka, jauh lebih bisa beradaptasi dengan barang
elektronik tersebut. Dengan leluasa, mereka dapat mengakses setiap informasi
yang ada di jejaring sosial. Apalagi game,
hampir semua jenis, dapat mereka mainkan. Dengan alasan belajar, mereka
diberikan gawai, oleh orangtuanya. Namun, dalam beberapa kesempatan saya justru
melihat fenomena anomali dibalik itu. Resiko dari membiarkan, anak-anak bebas
mengakses informasi dapat membuat mereka terjebak, pada dunia semu.
Manusia
modern, identik dengan perkembangan tekhnologi. Itu memang, hal yang lumrah.
Ada hal positif, dibalik itu. Namun, tidak juga hal tersebut dapat
menghilangkan kemungkinan negatif. Oleh karena itu, perlunya untuk memantau
setiap akses informasi pada anak-anak, dapat mencegah mereka dari kesalahan
penggunaan gawai. Beberapa bulan terakhir, diberitakan fenomena kekerasan
seksual yang menimpa anak dibawah umur. Mirisnya lagi, notabene pelakunya pun
masih di bawah umur. Salah satu akibatnya, akses anak-anak tersebut terhadap
konten pornografi.
Gawai
dan tren, seakan sudah menjadi identitas baru manusia modern. Bahkan, interaksi
sosial juga turut dipengaruhi olehnya. Alhasil, hal tersebut menjadi semacam
pertarungan gengsi tersendiri. Benarlah kata guru saya Muttaz, bahwa; “semakin
sering berinteraksi dunia maya, semakin kita kehilangan dunia nyata”. Betapa
tidak, saat acara kumpul keluarga dan silaturrahmi, selfie dan aktifitas gawai tidak berhenti. Kadangkala, orang yang berkomunikasi
melalui gawainya, sedang duduk berdekatan. Dari situ, dapat kita tahu bahwa,
manusia modern cenderung identik dengan ‘mainan’ ini. Tak ubahnya seperti kebutuhan
pokok.
Berhadapan
dengan tren baru ini, tidak sedikit memakan korban. Asumsikanlah, seorang anak
dari kampung datang ke kota. Tujuan awalnya, adalah untuk belajar atau kuliah.
Menghadapi kenyataan, bahwa orangtuanya hidup pas-pasan. Tidak jarang, malah
sebagian diantara mereka terjebak dunia ‘gelap’. Kebutuhan baru ini, seakan memangsa
manusia, yang bisa menghilangkan daya nalar. Memenjara Rasionalitas, hingga
harga diri.
Data
dari Kominfo, di Tahun 2015 bisa dijadikan renungan. Netizen (penduduk
internet) sudah mencapai angka 75 juta orang. 58,4 % rata-rata berusia 12
hingga 34 tahun, atau segmen produktif. 30 juta dari 75 juta penggunaan
internet, merupakan pengguna ponsel cerdas (smartphone).
Nitizen Indonesia, juga termasuk termasuk kategori 40% waktu melek dari
hidupnya untuk internet. Jika waktu istirahat 18 jam, maka tujuh jam waktu
meleknya, digunakan untuk nongkrong dengan smartphone-nya.
Ancaman
apa yang mesti diwaspadai? Tentunya, kita harus antipasi bersama. Modus
kejahatan di dunia maya sangat beragam. Kekerasan, narkoba, pornografi,
penipuan, dan propaganda terorisme. Sebagaimana data di atas, usia 12 tahun
sudah akrab dengan ponsel cerdas. Bila tidak ada pemahaman yang cukup, bisa-bisa
generasi kita menjadi ambruk, di telan gawainya.
Tentunya,
ada banyak hal positif, yang dapat diperoleh melalui gawai. Namun, janganlah
tren tersebut justru menghilangkan hakikat kemanusiaan kita sebagai makhluk
sosial.