Oleh:
Alfit Sair
Begitu
buruknya citra perpolitikan dunia pada umumnya dan nusantara pada khususnya,
hingga penyanyi Iwan Fals mendendangkan politik sebagai “dunia bintang, dunia
hura-hura para binatang”. Deskripsi tersebut terlihat wajar mengingat logika
politik yang dipertontonkan saat ini adalah logika persaingan, bukan logika
pencerahan. Dalam politik persaingan, terma kawan-lawan dan menang-kalah adalah
hal yang lumrah. Hukum moral dan agama tak berkutik di bawah bayang-bayang
ke-uang-an yang maha agung. Rakyat yang lugu cenderung diam, dibungkam sebungkus nasi tanpa
tahu bahwa yang mereka jagokan akan mengambil seluruh lahan pertanian mereka
kelak.
Tulisan
sederhana ini,
tidak akan mengulas kembali politik persaingan yang sudah begitu sejelas
matahari. Kita semua sudah tahu, bahkan “mungkin” kita sudah merasa nyaman
dengannya. Pada kesempatan ini, kita akan memperkenalkan sebuah teori politik
dalam perspektif Khajah Nashiruddin Thusi. Sedikit tentang Khajah Thusi, beliau
adalah seorang teolog dan filsuf
peripatetik. Menurut Henry Corbin, jika filsafat peripatetik di dunia barat
telah mati, sedang di dunia timur terus berkembang, itu semua berkat jasa
Khajah Thusi. Begitu juga, jika teologi Islam
memiliki warna filsafat, itu semua berkat penjelasan yang diberikan beliau.
Politik
dalam pandangan Khajah Thusi,
adalah sebuah seni dalam menyeimbangkan beragam watak dan keinginan masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat,
adalah kumpulan individu-individu yang memiliki watak dan keinginan yang saling
berbeda. Dalam hemat Khajah, setidaknya terdapat lima watak manusia dalam
masyarakat; pertama; watak kebaikan dan menyebarkan kebaikan.
Watak ini dimiliki oleh mereka yang shaleh secara personal dan secara sosial;
mereka adalah orang-orang yang baik dan kebaikannya sampai kepada orang lain. Kedua:
watak kebaikan tanpa menyebarkan kebaikan. Yaitu mereka yang menampilkan keshalehan
personal tanpa keshalehan sosial. Kebaikan mereka tidak sampai pada orang lain.
Ketiga: watak yang bukan kebaikan bukan pula kejahatan. Yaitu
mereka yang intensitas kebaikannya setara dengan intensitas kejahatannya. Keempat:
watak kejahatan dan menyebarkan kejahatan. Yaitu mereka yang memiliki dosa
personal dan dosa sosial. Mereka adalah orang-orang jahat yang kejahatannya
sampai pada orang lain. Kelima: watak kejahatan tanpa menyebarkan
kejahatan. Watak ini dimiliki oleh mereka yang gemar melakukan dosa personal
namun bersih dari dosa sosial. Kejahatan mereka tidak sampai pada orang lain.
Seperti
halnya dengan watak, keinginan-keinginan anggota masyarakat juga beragam.
Perbedaan keinginan yang pada dasarnya merupakan cita ideal ini merupakan
implikasi dari perbedaan pengetahuan. Pengetahuan yang benar akan mengantarkan
manusia pada cita ideal yang hakiki. Sedang pengetahuan yang keliru akan
menampilkan cita ideal ilutif pada pemiliknya. Atas dasar ini, guna menghindari
terjadinya patologi sosial yang bermuara pada punahnya spesies manusia,
dibutuhkan sebuah lembaga penyeimbang ragam watak dan keinginan-keinginan
masyarakat. Lembaga yang kita sebut sebagai politik ini hanya bisa dijalankan
oleh mereka yang menguasai seni menyeimbangkan hal-hal yang tidak seimbang.
Harmonisasi
berbagai watak dan cita ideal bukan berarti menyokong dan mengaktualkan beragam
watak dan cita ideal yang ada. Menyeimbangkan atau harmonisasi yang dimaksud
adalah mengantarkan masyarakat pada pengetahuan yang benar akan kesempurnaan
sejati yang semestinya menjadi cita ideal setiap manusia. Disamping itu,
masyarakat juga mendapat pengawalan agar tetap bergerak di atas jalur
kesempurnaan sejati. Sehingga, politk dalam perspektif khajah Thusi lebih
bersifat sebagai lembaga pencerahan dan pendampingan masyarakat. Dengan kata
lain, politik adalah lembaga pencerahan yang mengenalkan titik awal (mabda),
titik akhir (ma’ad) serta posisi dan peran masyarakat di alam ini.
Politik juga menjadi lembaga pendamping dan penyedia sarana yang dibutuhkan
masyarakat dalam menempuh sebaik-baik perjalanan menuju titik akhir. Semua ini
dimaksudkan agar masyarakat politik beroleh kesempurnaan hakiki yang melazimkan
kebahagiaan abadi.
Dari
uraian di atas, dapat dipahami mengapa Khajah Thusi dalam buku akhloq-e
nasheri menjadikan tema manusia sebagai tema pembuka dalam diskursus
politiknya. Hal ini jelas, lantaran tujuan politik dalam hemat khajah adalah
meraih kebahagiaan abadi yang terlahir dari kesempurnaan hakiki. Oleh karena
itu, kesempurnaan dan kebahagiaan manusia harus lebih dahulu jelas sebelum
segala sesuatunya terjelaskan. Lantas, apa kebahagiaan dan kesempurnaan manusia
menurut khajah Thusi? Dengan izin Tuhan yang maha pengatur, semua ini akan kita
jelaskan pada bagian selanjutnya. Insyaallah ta’ala.