Oleh : Muhammad Syahudin
Bagi
penggiat dan pelaku dunia tasawuf, nama Maulana Rumi bukanlah sesuatu yang
asing. Rumi adalah citra dari hakikat cinta dan dimensi sosial. Setiap kalimat
yang di ungkapkan oleh Maulana
Rumi sarat dengan muatan pengenalan,
akan fitrah manusia yang sesungguhnya, yaitu cinta. Bagi Rumi, cinta adalah
dasar utama dari tergeraknya manusia menuju Tuhan. Tanpa landasan cinta,
manusia akan sulit untuk berbuat selayaknya seorang hamba kepada Tuhan.
Seorang pecinta sejati, akan senantiasa melebur dengan
kekasihnya. Ia tidak ingin terpisah dari kekasihnya walau sedetik. Kemandasaran
wujud cinta yang terjewantah dalam peleburan qalbu, membentuk frasa tunggal
yang bernama jalan cinta. Sebuah narasi rasa, yang sangat sulit untuk
diungkapkan dengan sebentuk kata maupun tanda.
Maulana Rumi, hidup dalam nyanyian rindu kepada Tuhan. Hari-harinya,
di isi dengan kidung zikir dan asmara yang bergelora. Perjumpaannya dengan
Darwis, telah meruntuhkan logikanya menghempaskan egonya, dan menenggelamkannya
ke dalam pusaran cinta yang tak bertepi, tatkala kata-katanya telah habis,
kidung dan nyanyian rindu lah yang menjadi pelampiasan hasratnya.
Kita mungkin bisa menerka bait matsnawi-nya, tapi bukan hakikatnya. Mengapa? Karena Rumi sedang bercerita tentang sebuah
perjalanan yang disaksikannya. Keindahan bait yang teruntai dalam frasa matsnawi, senada nyanyian indah yang
menghanyutkan pendengarnya. Tapi, benarkah kehanyutan itu sebuah hakikat. Hanya
Rumi lah yang tahu.
Bagi saya, Rumi adalah sosok yang ideal. Tipologi manusia
yang telah “puasa’ dengan dunia. Tak lagi terjebak dengan perbedaan, tapi
melebur dengan kesamaan. Tidak lagi berbicara tentang jalan-jalan Tuhan, tetapi
ia memilih untuk melalui jalan-jalan tersebut. Suatu pengenalan kepada kita
tentang universalitas wahyu, yang bukan hanya sekedar penghias bibir para
pengkotbah agama. Rumi adalah sebuah silogisme dari premis perbedaan agama,
yang menyajikan kepada kita hakikat menjadi manusia.
Jika menempuh jalan Rumi, kita tidak akan mengenal
pertikaian. Tak ada suara bising permusuhan, bahkan tidak ada nyanyian buruk dari
orang-orang yang merasa berada di jalan Tuhan, tapi tidak berjalan di Jalan
Tuhan. Mengenal Rumi, seakan obat penenang rasa sakit, namun tidak menyembuhkan
rasa derita. Karena derita, adalah konsekuensi dari manifestasi cinta yang
bergelora.
Mungkin, kita memang harus seperti Rumi...