Ramadan dan Filsafat Sadra; upaya Memaknai Mudik Lebaran


Oleh: Alfit Sair

Perlahan dan pasti, begitulah waktu bergerak. Gerakannya yang senyap tak bersuara siap menggilas apapun yang dilaluinya. Tanah, pepohonan, hewan, bahkan manusia akan lapuk dilintasi gerak waktu dalam keheningan. Mereka yang mengisi kehidupan dalam tidur panjang kelalaian, akan tersentak bangun kala jarum jam kematian tiba-tiba berdentang. Adapun, mereka yang menjalani kehidupan dengan tetap terjaga, senantiasa bersiaga menyambut dentang jarum kematian.

Beberapa waktu berlalu, kita masih berada di awal-awal ramadan. Namun kini, ramadan akan berlalu. Ia bergerak dalam keheningan, meninggalkan mereka yang terbius perhiasan dunia. Padahal, Tuhan dengan bulan suci-Nya telah mengetuk pintu rumah manusia dengan membawa serta undangan perjamuan ruhani. Di bulan ramadan, Tuhan mengadakan open house, mengundang manusia berkunjung ke istana-Nya, tuk mencicipi hidangan ruhani. Namun, nampaknya tak ada jiwa yang mendengar ketukan Tuhan itu, hingga suara ketukan itu hilang dalam hening, bulan puasa pun berlalu. Jiwa kita (khususnya jiwa-jiwa nusantara) begitu sibuk dengan aneka rupa kelezatan-kelezatan hidangan berbuka puasa. Jiwa kita begitu rindu, menanti beduk adzan magrib, ketimbang menanti debum langkah para malaikat di malam lailatul qadr. Jiwa kita begitu sibuk menanti kemeriahan, kegembiraan satu syawal sembari merasa diri menjadi pemenang. Jika demikian, sesungguhnya di bulan puasa, kita belum beranjak kemana-mana. Kita masih tertawan warna dunia. Kita tidak beroleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga. 

Menjelang lebaran, sebuah fenomena kultural biasanya digelar. Orang-orang mulai mudik ke kampung halaman, berkumpul dan bergembira bersama sanak keluarga. Ahli makrifat cenderung menerjemahkan fenomena mudik tersebut secara maknawi; mudik ruhani. Yaitu, sebuah perjalanan kembali yang ditempuh oleh jiwa menuju asalnya. Cinta, air mata, kerinduan dan kegembiraan menjadi teman mudik jiwa. Dalam pandangan mereka, jiwa mengalami kerinduan yang membara setelah sekian lama terpenjara materi, terpisah dari asal. Satu syawal atau idul fitri adalah momentum bagi jiwa tuk mengaktualkan kerinduannya, kembali fitri. Para urafa biasanya melukiskan kembali ke asal tersebut, dengan kerinduan yang di alami seruling. Jalaluddin rumi mengisahkan sebuah seruling yang terpisah dari rumpunnya. Seruling itu melantunkan irama kesedihan, mengadukan derita keterpisahan, merindukan kembali ke rumpun.

“Besyenu az ney cun hekayat mi konad
Az judai ha syekayat mi konad”

Dengarkan kisah dari seruling bambu
Yang mengadukan derita keterpisahannya

Berbeda dengan tafsiran urafa yang lebih transenden, saya lebih suka memaknai mudik lebaran secara imanen; yaitu kembali ke materi (dunia). Bagi saya, sebagaimana sabda Rasul saw, bulan ramadan adalah bulan Tuhan. Bulan dimana Tuhan menjamu hamba-hamba-Nya, dengan aneka hidangan ruhani. Jadi dapat dikatakan, selama bulan ramadan, kita bertamu ke rumah Tuhan, melezati asma dan sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, bulan ramadan adalah bulan mikraj. Jiwa  kita mikraj melintasi materi, menuju istana perjamuan-Nya. Kini, usai melewati sebulan ramadan, jiwa kita kembali (mudik) turun ke dunia guna menghadapi kerasnya kehidupan. Kita mudik ke dunia dengan membawa hidangan asma dan sifat-Nya, kita kembali dengan bersama Tuhan ke bumi.

Hal di atas persis seperti yang dicontohkan Rasul Saw dalam peristiwa isra’ mikraj. Usai melezati asma dan sifat-Nya di sidaratul muntaha, beliau kembali turun ke bumi tuk berbaur dengan manusia. Namun yang perlu diperhatikan adalah, Rasul Saw tidak kembali dengan tangan kosong. Rasul Saw membawa serta Tuhan, sebagai perisainya dalam menghadapi manusia bumi. Rasul Saw memahami dengan baik bahwa kecelakaan besar jika kembali dari langit tanpa membawa perisai. Beliau memahami dengan baik bahwa Dia, dan hanya Dia sebaik-baik perisai.

Bulan ramadan dan fenomena mudik versi saya ini, juga dapat dijelaskan melalui filsafat Sadra. Sebagaimana diketahui, Mulla Sadra merinci empat perjalanan akal yang terefleksi dari perjalanan ruhani para urafa. Bulan ramadan adalah sebuah perjalanan dari ciptaan menuju Tuhan; kita menyambut undangan perjamuan Tuhan. Bulan ramadan juga adalah sebuah perjalanan di dalam Tuhan bersama dengan Tuhan; kita telah sampai di istana-Nya dan melezati asma dan sifat-Nya. Akhir ramadan atau menjelang lebaran adalah sebuah perjalanan dari Tuhan menuju ciptaan; kita kembali pulang (mudik) ke bumi. Sedang hari lebaran adalah perjalanan terakhir yaitu perjalanan di dalam ciptaan bersama dengan Tuhan; kita telah sampai di bumi, berbaur dengan masyarakat berperisai Tuhan.

Maka!
Celakalah kita yang tidak bermikraj ke perjamuan Tuhan di bulan ramadan.
Celakalah kita yang tidak menjadi tamu-Nya, tidak memenuhi undangan-Nya dan tidak mencicipi hidangan-Nya.

Celakalah kita yang tidak kembali pulang (mudik) usai perjamuan. Celakalah kita yang kembali pulang ke bumi namun meninggalkan Tuhan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

peradaban dapat tercipta dengan dialog