Seorang anak dalam perkembangan komunikasi, sangat terikat pada faktor lingkungannya. Hal tersebut dapat diketahui dari bentuk pilihan bahasa pergaulan anak. Baik cara berkomunikasi terhadap teman-temannya, dengan orangtua, dan interaksi di sekolah. Dalam berbahasa, seorang anak sangat terkait dengan daya serapnya terhadap budaya (culture), yang berkembang di lingkungannya.
Dalam tradisi masyarakat Bugis
Makassar dan masyarakat Luwu pada khususnya, seorang anak sejak usia dini sudah
dididik untuk bersikap sopan. Memiliki tata krama terhadap
orang yang lebih tua, santun berbahasa kepada sesama. Hal ini tidak
terlepas dari nilai, prinsip adat istiadat yang dipegang masyarakat
Luwu, untuk sipakalebbi (menghargai
sesama).
Namun, pesatnya perkembangan kebudayaan dan teknologi, telah merangsek ke dalam sendi kehidupan masyarakat, tampaknya memiliki
andil dalam mereduksi jati diri masyarakat kita. Interaksi anak terhadap
teknologi berupa; televisi, gadgate, dan internet, telah menggeser pola komunikasi dari bahasa sipakalebbi ke bahasa tanpa nilai (bebas nilai). Munculnya
fenomena bahasa gaul, salah satu contohnya. Begitu cepat diserap, dan dijadikan
bahasa komunikasi anak-anak, meskipun dari segi prinsip nilai sama sekali
hampa.
Tanpa bermaksud mereduksi peran agama dan
pendidikan, dalam memberikan pengaruh terhadap pola komunikasi
anak. Tulisan ini, lebih
mengarah kepada bentuk kerisauan hilangnya identitas, nilai
budaya masyarakat Luwu yang menghargai adat,
kesopanan, dan tata krama, dalam
bertutur kata. Tentunya, hal ini patut menjadi
perhatian bersama. Bahwa, faktor lingkungan, terutama
keluargalah, yang sangat kuat memberikan pengaruh dalam pola
komunikasi, dan pilihan bahasa anak dalam berinteraksi.
Ketika masih kecil dulu, saya teringat dengan petuah
keluarga terutama orangtua. Tentang bagaimana
cara bersikap, dan bertutur kata. Dalam pola sikap, seorang yang
lebih muda menghormati yang tua. Sebagai contoh, ketika
seorang yang lebih muda lewat di depan orang yang lebih tua, maka ia harus
bersikap mappaka’tabe’ (meminta izin). Biasanya, dengan
ucapan tabe’ disertai dengan sikap badan
yang sedikit membungkuk, menjulurkan tangan dengan
jari-jari yang terbuka. Begitupun kalau orang yang muda, mau
menyampaikan pendapat kepada yang lebih tua, biasanya
dimulai dengan kata tabe’.
Begitu pula dalam berbahasa, seseorang tidak boleh coddo’ (menyela), terhadap pembicaraan orang lain. Apalagi, kalau yang berbicara adalah
orang tua. Ini bermaksud, bahwa tidak boleh
mencampuri pembicaraan oranglain, yang tidak terkait secara
langsung terhadap kita. Dalam interaksi kepada sesama, biasanya digunakan kata tambahan sebagai pelengkap. Nah, kata tambahan
inilah yang menjadi ciri khas adat kesopanan. Bertegur sapa menggunakan
kata-kata yang halus, dan disukai orang yang mendengarnya. Ketika mau
bertanya, atau berkomunikasi dengan teman,
gunakanlah kata ki’ atau kita’ sebagai kata pelengkap. Misalnya “mau kemana ki’’ atau “Kita’ dari mana”. Kalau kata tambahan yang digunakan adalah Iko (kamu), atau ko (kau). Berarti, bahasa yang digunakan
adalah bahasa kasar atau tidak sopan.
Pada dasarnya, bahasa
bukan hanya satu bentuk vokal (bunyi). Tetapi, dibaliknya tersimpan tanda
atau pesan yang ingin disampaikan. Menurut Gorys Keraf; “bunyi itu
sendiri haruslah merupakan simbol atau pelambangan, yang berarti bermakna sebagai identitas”. Dari
sini, dapat dipahami bahwa identitas seseorang, didengar
dari cara berkomunikasi. Lalu, bagaimana dengan fenomena
anak-anak dewasa ini dalam bahasa komunikasinya. Masihkah nilai-nilai budaya
itu, tersampaikan secara baik kepada mereka? Sudahkah
diri kita, menjadi teladan dari bentuk bahasa komunikasi, yang
beridentitas budaya kita sendiri.
Amat disayangkan dalam bahasa komunikasi anak-anak
yang sering terdengar, bahwa diantara sebagian mereka, terjebak
dalam tindak kekerasan dalam berbahasa. Penggunaan kata la baga (orang bodoh), la beleng (orang dungu), atau
kata-kata kasar lainnya, kerap menghiasi pembicaraan
sehari-hari. Dalam beberapa kejadian, sering pula saya mendengar orang tua
menjadikan istilah kata Baga (bodoh), sebagai
bahan candaan tehadap anak-anak bayi. Misalnya, bila seorang bayi terjatuh dan
menangis dalam pengawasan seorang bapak, dengan spontan ibunya berkata; baga bapa’ le (bapak bodoh) atau bodo’ bapa’. Biasa juga, saya mendengar seorang anak ketika marah, lalu
dengan spontan bicara baga bapa’ atau baga mama’ (mama bodoh), lalu direspon dengan senyuman atau tawa dari orangtua anak. Padahal, tanpa disadari dalam memori anak telah ditanamkan penggunaan kata
tersebut, menyenangkan orang yang mendengarnya. Sehingga,
ketika mereka beranjak dewasa penggunaan kata-kata tersebut dianggap lumrah.
Salah satu penyebab utama dari pergeseran nilai
budaya tersebut, tentunya tidak lepas dari invasi budaya asing, yang
secara bertahap telah menggeser nilai budaya kearifan lokal.
Padahal, dalam dimensi ruang budaya masyarakat Luwu,
terkandung prinsip-prinsip nilai kehidupan yang luhur. Hanya saja, diakibatkan transformasi
pengetahuan dan budaya asing yang masif, telah memaksa sebagian
besar generasi di Luwu, tergerus ke dalam pusaran
negatif budaya asing yang bebas nilai.
Karena bahasa adalah identitas. Maka, sudah seharusnya pada titik ini, masyarakat
di Luwu tidak boleh mengenal kata terlambat, untuk
kembali menanamkan prinsip dan nilai budaya
kita, dalam pergaulan sehari-hari. Marilah menyeru
kepada anak-anak, dengan contoh dan teladan yang baik dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Sehingga, identitas masyarakat kita
tidak punah ditelan zaman. Wallahu a’lam bis shawab. (*)
(*) Muhammad Syahudin_ Pegiat Literasi