Pendidikan dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena
pendidikan hanya untuk manusia dan manusia menjadi manusia karena adanya
pendidikan. Untuk itu akan dikaji pengertian pendidikan itu dari dua aspek
yaitu aspek etimologis dan aspek terminologis.
Menurut mu’jam (Kamus) kebahasaan sebagaimana dikutif Ramayulis,
kata tarbiyat memiliki
tiga akar kebahasaan,[1]
yaitu:
a. yang
memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas Q.S. al-Rum ayat 39.
b. yang
memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra’a).
c. yang memiliki arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan,
memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga
kelestarian dan eksistensinya.
Kata pendidikan juga ditemukan dalam bahasa Arab, yang
biasa digunakan kata-kata; tarbiyah, ta’alim,
ta’dib. Menurut Abdur Rahman An
Nahlawi,[2] kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata yaitu: pertama, raba
– yarbu, yang artinya bertambah
dan berkembang. Ini di dasarkan kepada surat Ar Rum: 39. kedua, rabiya-yarba,’ artinya tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu, berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan,
mengatur, menjaga, dan memperhatikan.
Imam Baidowi; ar-Rab itu bermakna tarbiyah, yang makna lengkapnya adalah menyampaikan. sesuatu hingga mencapai
kesempurnaan. Menurut Ar Raqib Al Ashfahani, ar Rab, berarti tarbiyah yang makna lengkapnya adalah menumbuhkan perilaku demi
perilaku serta bertahap hingga mencapai batasan kesempurnaan.[3]
Kata Ta’lim menurut Abdul Fatah Jalal,[4] lebih
luas jangkauannya dan lebih umum dari kata tarbiyah. Pentingnya kata ta’lim bagi seluruh umat manusia dapat dilihat dalam surat Al
Baqarah: 151. Juga kata ta’lim mencakup aspek pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan seseorang
dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik, sebagaimana dalam surat
Yunus ayat 5. Akan tetapi kata ta’lim menurut Al Attas berarti hanya pengajaran.
Dengan kata lain ta’lim hanya sebagian dari pendidikan.
Kata Ta’lim menurut Al Attas[5] lebih
tepat sebab tidak terlalu sempit sekadar mengajar saja, dan tidak meliputi
makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta’’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta’dib itu erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam
yang termasuk dalam isi pendidikan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh
Al Attas mengapa kata ta’dib sudah termasuk di dalamnya ta’lim dan tarbiyah.[6]
Menurut tradisi ilmiah Bahasa Arab istilah Ta’dib mengandung tiga unsur: pengembangan ilmiah, ilmu dan
amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Iman
tanpa ilmu adalah bodoh. Sebaliknya ilmu harus dilandasi iman. Ilmu tanpa
iman adalah sombong dan akhirnya iman dan ilmu diharapkan mampu membentuk
amal. Kalau tidak diwujudkan dalam bentuk amal, lemahlah ilmu dan iman itu
Ibarat pohon yang tidak berbuah, niscaya ditinggalkan orang karena kurang
bermanfaat.[7]
Dalam kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti: ilmu, pengajaran dan penguasaan
yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau pemilikan terhadap objek
atau anak didik, di samping tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik
makhluk selain manusia, misalnya binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena menurut
konsep Islam yang bisa bahkan harus dididik hanyalah makhluk manusia. Dan
akhirnya, Al Attas menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan
santun, adab dan semacamnya atau secara tegas “akhlak yang terpuji” yang
terdapat hanya dalam istilah ta’dib.
Ahmad D. Marimba memberi pengertian pendidikan sebagai
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[8] Adapun
Syaiful Bahri Djamarah, memberi pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan
bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang
sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang
berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.[9]
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[10]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu
mengembangkan potensi yang ada pada setiap anak didik. Menurut Arifin,
pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang
bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang brlangsung
di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.[11]
Sementara Achmadi memberi pengertian, pendidikan Islam adalah segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia
yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam.[12]
Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami
secara berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud
secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan
Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an
dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan perwujudan secara operasional
dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran agama, budaya
dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang
sejarah umat Islam.[13] Kalau
definisi-definisi itu dipadukan tersusunlah suatu rumusan defenisi pendidikan
Islam, yaitu:
Pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak
didik atau individu manusia yang prosesnya berlangsung secara terus-menerus
sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu
meliputi aspek jasmani, akal, dan ruhani sebagai suatu kesatuan tanpa
mengesampingkan salah satu aspek, dan melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan
pertumbuhan itu diarahkan agar ia menjadi manusia yang berdaya guna dan
berhasil guna bagi dirinya dan bagi umatnya, serta dapat nemperoleh
suatu kehidupan yang sempurna.
B.
Dasar Tujuan Pendidikan Islam.
Dasar Pendidikan Agama Islam secara garis besar ada dua
yaitu: al-Qur’`an dan as-Sunnah. Menetapkan al-Qur’an dan As-sunnah sebagai
dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan
pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam dasar
tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau
pengalaman kemanusiaan.
Al-Qur'an merupakan dasar pokok bagi pendidikan Islam, karena
di dalamnya memuat konsep-konsep hakekat manusia, hakekat pengetahuan,
metodologi pendidikan, akhlak, dan konsep pendukung lainnya. Sementara
as-Sunnah merupakan pedoman operasional bagi pelaksanaan al-Qur'an , karenanya
dapat dikatakan bahwa Rasulallah saw merupakan tokoh sentral dalam pendidikan
Islam, dimana ajaran-ajarannya mencakup totalitas masyarakat.
Adapun dasar dari tujuan pendidikan yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada
Muhammad saw, guna menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat. Terjemahan al-Qur`an kedalam bahasa lain dan
tafsirannya bukanlah al-Qur`an, dan karenanya bukan nash yang qath`i dan
sah dijadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.[14]
Al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah
swt menjelaskan hal ini didalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus
dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”(Q.s. Al-Isra `: 9). [15]
Petunjuk al-Qur`an dapat dikelompokkan menjadi tiga pokok
yang disebutnya sebagai maksud-maksud al-Qur’`an, yaitu:
1. Petunjuk tentang aqidah dan kepercayaan yang harus dianut
oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan serta kepercayaan
akan kepastian adanya hari pembalasan
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan
norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupan
3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubugannya dengan tuhan
dan sesamanya.[16]
Pengelompokan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua,
yaitu petunjuk tentang akidah dan petunjuk tentang syari`ah. Dalam menyajikan
maksud-maksud tersebut, al-Qur`an menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala
ciptaan Allah.
2. Menceritakan kisah umat terdahulu kepada orang-orang yang
mengerjakan kebaikan maupun yang mengadakan kerusakan, sehingga dari kisah itu
manusia dapat mengambil pelajaran tentang hukum sosial yang diberlakukan Allah
terhadap mereka.
3. Menghidupkan kepekaan bathin manusia yang mendorongnya untuk
bertanya dan berfikir tentang awal dan materi kejadiannya, kehidupannya dan
kesudahannya,sehingga insyaf akan Tuhan yang menciptakan segala kekuatan.
4. Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.
Hubungan al-Qur`an dan ilmu tidak di lihat dari adakah suatu
teori tercantum di dalam al-Qur`an, tetapi adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur`an yang
bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak
hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga
diukur terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu.[17]
Dalam hal ini para ulama` sering mengemukakan perintah Allah
SWT langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk berfikir, merenung,
menalar dan sebagainya, banyak sekali seruan dalam al-Qur`an kepada
manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan,
gugatan,atau perintah supaya ia berfikir, merenung dan menalar.
b. As-Sunnah
Al-Qur`an disampaikan oleh
Rasulallah saw kepada manusia dengan penuh amanat, tidak sedikitpun ditambah
ataupun dikurangi. Selanjutnya, manusialah hendaknya yang berusaha memahaminya,
menerimanya dan kemudian mengamalkannya.
Sering kali manusia menemui
kesulitan dalam memahaminya,dan ini dialami oleh para sahabat sebagai generasi
pertama penerima al-Qur`an. Karenanya mereka meminta penjelasan kepada
Rasulallah saw, yang memang diberi otoritas untuk itu. Penjelasan itu disebut
al-Sunnah yang secara bahasa al-Thariqah
yang artinya jalan, adapun hubungannya dengan Rasulullah saw berarti perkataan,
perbuatan, atau ketetapannya.[18]
Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur`an adalah sebagai
penjelas. Dalam pendidikan Islam as-Sunnah memberikan faedah dalam :
1.
Menjelaskan sistem pendidikan
Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur`an dan menerangkan hal-hal rinci
yang tidak terdapat di dalamnya.
2.
Menggariskan metode-metode
pendidikan yang dapat di praktikkan.[19]
Dari kedua sumber tersebut, al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
dasar tujuan Pendidikan Islam yaitu merealisasikan manusia
muslim yang beriman dan bertakwa dengan sikap dan kepribadian yang menunjukkan ketaatan
secara kaffah kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw dalam
segala aspek hidupnya.[20]
[1]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). h. 2.
[2]
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah,
dan Masyarakat. (Jakarta: Gema Insani
Press,1995). h. 20.
[3]
Ibid., h. 20
[4]
Hasan
Langgulung, Pendidikan
dan Peradaban Islam. (Jakarta: Grafindo,
1985). h. 5
[5]
Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam. (Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 2003). h. 164.
[6]
Ibid., h. 164
[7]
Ibid., h. 164
[8]
Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan. (Bandung:
PT al-Ma’arif, 1998). h. 20.
[9]
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. (Jakarta: Rineka cipta, 2010). h.
22.
[10]
Undang-Undang RI
No. 20 tahun 2003, (Jakarta: BP.Cipta Jaya, 2003), h. 4. (DEPDIKNAS, 2003: 163)
[11]
M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 4
[12]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
28-29
[13]
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002). h. 30
[14]
Ahmad Tafsi, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992). h. 12
[15]
Departemen Agama RI,
Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-‘alim;
al-Qur’an dan Terjemahannya (edisi Ilmu Pengetahuan). Bandung; al-mizan
Publishing House. Cet. 10, november 2011/Dzulhijjah 1432 H. h. 284
[16]
M. Qurais
Shihab, Membumikan al-Qur`an :
Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 42
[17]
Op.cit., h. 45
[18]
Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam. (Kudus: Pp. Kudus,
2010). h. 48
[19]
Ibid.,
[20]
Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Garya Media Pratama, 2005).
h. 237