Sosok yang akan
dibicangkan ini, adalah salah satu dari tokoh bangsa yang saya idolakan. Ia
tampil apa adanya, dan berani berbicara dari sudut pandang yang kritis dan
radikal. Pernyataannya kadang mengandung kontroversi, dan blak-blakan.
Keberaniannya yang berbeda dari pandangan mainstrem,
bukanlah pandangan yang asal-asalan. Beliau telah ditempa dengan kehidupan dan
memahami betul kondisi zamannya. Karakteristik plural dan egaliter yang
menjiwainya, membuat banyak orang menaruh simpati. Walaupun disatu sisi
terkadang ada pula yang tidak menyukainya.
Buya Ahmad Syafi’i
Ma’rif, itulah namanya. Lahir di
Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat 31 Mei 1935. Seorang ulama, pendidik dan
ilmuwan Indonesia. Ia pernah menjabat
ketua umum Muhammadiyah periode 2000-2005, Presiden
World Conference on Religion for Peace (WRCP), dan pendiri Ma’rif
Institute. Beliau memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, sikap plural, dan
kritis. Ia tak segan-segan mengritik sebuah kekeliruan, meskipun yang di kritik
temannya sendiri. (sumber: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmad-Syafi’i-Ma’rif)
Riwayat pendidikannya
terbilang terjal. Masuk Sekolah Rakyat (SR), pada tahun 1942. Beliau tak
memperoleh Ijazah, setelah hanya bisa menempuh pendidikan selama lima tahun.
Dikarenakan beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, beliau tidak dapat
melanjutkan sekolahnya. Baru di tahun 1950, ia masuk sekolah Madrasah Muallimin
Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai kelas tiga. Pada tahun 1953, di
usia menginjak 18 tahun. Buya syafi’i yang akrab dipanggil Pi’i, meninggalkan
kampung halamannya menuju Yogyakarta. Niat awalnya ingin melanjutkan sekolahnya
di Madrasah Muallimin di kota itu, namun di tolak dengan alasan kelas sudah
penuh. Mengisi kekosongan itu, ia menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,
sembari mengikuti sekolah montir.
Setahun setelah itu,
iapun diterima kembali bersekolah di Madrasah Muallimin, dan menyelesaikannya
di tahun 1956. Ia lagi-lagi tak dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang
lebih tinggi, penyebabnya masih sama yaitu biaya. Apalagi setelah ayahnya
meninggal di tahun 1955. Ia baru
melanjutkan studinya di Surakarta, setelah sempat menjadi guru di Lombok Timur
dan menyelesaikan gelar Sarjana Muda di Universitas Cokroaminoto di tahun 1964.
Lalu, dilanjutkan dengan pendidikan tingkat doktoral, pada Fakultas Ilmu
Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang UNY) Yogyakarta yang ditamatkan pada tahun
1968. Selama kuliah itu, ia pernah menjadi guru ngaji, buruh dan pelayan toko
kain. Disamping itu ia juga aktif di redaktur Suara Muhammadiyah dan PWI.
Selama menjadi
Mahasiswa, Buya juga pernah aktif di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keseriusannya menekuti bidang ilmu sejarah,
mengantarkannya mengikuti Program Master di departemen sejarah Universitas
Ohio, AS. Sementara gelar doktornya di peroleh dari Program Studi Bahasa dan
Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS. Disertasinya adalah Islam as the Basic of State: A Study of
Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia. Selama di Chicago inilah, Buya secara intensif mengkaji
Al-Qur’an di bawah bimbingan Fazlur Rahman, salah satu tokoh pembaharuan Islam.
Saya harus menjelaskan
sedikit tentang kehidupannya, untuk mengingatkan publik bahwa beliau memiliki
kapasitas keilmuan yang mumpuni. Dengan segudang pengalamannya, tidaklah pantas
bila ada yang menghujatnya dengan kata-kata kotor dan tak ber-etika. Boleh saja
kita memiliki pandangan yang berbeda dengan beliau, tapi tidak serta merta kita
lupa untuk bercermin. Kontroversi memang sudah menjadi santapan hari-harinya.
Publik tentu masih ingat, beberapa persoalan bangsa yang membuatnya sering
dihujat. Bukan karena tendensi pribadi ia mengambil sikap berbeda, tetapi lebih
karena kepeduliannya atas sesama dan NKRI. Sebuah manifestasi akan identitas
ke-Islaman yang Rahmatan lil A’lamin.
Melawan arus, begitulah
ciri khas Buya. Ia tidak pernah ragu berbicara “pedas”, bila dianggapnya
terjadi penyimpangan ataupun kesalahan. Tak ada kata gentar, meskipun berhadapan dengan arus besar
sekalipun. Hal ini pulalah yang mengakibatkan
banyak orang seperti cacing kepanasan. Akhirnya membuat fitnah-fitnah
murahan agar terjadi pemutarbalikan opini.
Terbaru dan hangat,
Buya di bully habis-habisan hanya karena beliau berbeda pandangan tentang Ahok.
Baginya, Ahok tidaklah menistakan agama dari pernyataannya di Belitung.
Pernyataannya, yang melawan arus inilah ditenggarai sebagai penyabab di
degradasinya seorang Buya sebagai seorang Ulama. Bahkan, ada yang sampai pada
tingkat menyesatkannnya. Tapi apapun itu, bagi saya Buya tetaplah seorang
petarung sejati. (*)
(*) Muh. Syahudin_ Pegiat Literasi