Pendidikan
tinggi dan gelar yang berderet, bukanlah jaminan seseorang tidak terjebak pada
kesalahan mencerna informasi. Dibeberapa akun facebook dan blog, saya sering
mengamati kejadian ini. Betapa gampangnya sebuah pemberitaan di-share dan di-amini, hanya karena kontennya
sesuai dengan suasana hati kita. Namun, bila ada berita yang kontra terhadap suasana
hati, maka berlomba-lombalah kita bagai kawanan domba untuk menghujatnya. Mungkin
karena alasan inilah, saya selalu selektif untuk men-share sebuah pemberitaan di media.
Makna adalah sebuah
rumah bagi kata-kata, dibingkai untuk keperluan manusia memahami sebuah
kalimat. Bila Makna, sudah dipaksakan berdasarkan kehendak kita, maka kata-kata
tidak ada lagi yang ber-makna. Karena ia akan dibelenggu oleh hasrat kita.
Biarpun makna itu sesuatu yang dapat dicerna akal. Namun terkadang karena kita
mencernanya dengan perasaan, yang terjadi adalah makna menjadi simulakrum. Kesadaran akan realitas,
kita hidupkan di dunia maya. Sedangkan, di-realitas kita hanya menjadi budak
informasi tanpa kritik. Mungkin inilah yang disebut absurditas diri. Yaitu diri yang palsu.
Ada baiknya, sebelum
menelan mentah-mentah konten media, pelajarilah bagaimana sebuah media bekerja.
Di dalamnya kita akan menjumpai, apa yang disebut framing. Kalau anda yang belajarnya hanya sama Google, cari saja
informasi tentang framing itu. Secara umum analisis framing adalah salah satu cara bagi kita untuk menganalisis media,
sebagaimana kita menganalisis isi maupun unsur semiotik yang terlibat di
dalamnya. Karena itu, framing juga
disebut “bingkai” dari sebuah peristiwa. Proses pem-bingkai-an itu berdasarkan
persfektif wartawan atau media massa, dalam mengelola isu dan berita.
Kalau kita mau untuk
sedikit cerdas, gunakanlah kritik. Hatta, terhadap informasi yang sesuai dengan
kondisi emosionalitas kita. Menelannya begitu saja, ibarat memasukkan makanan
ke dalam tubuh tanpa seleksi. Akibatnya kita terserang penyakit. Namun, bedanya
jiwa kita yang sakit. Parahnya lagi, kalau kita malah merasa bahwa kita
sehat-sehat saja. Analisis framing,
dipengaruhi oleh aspek sosiologi ala Peter L Berger juga aspek psikologi
terkait faktor skema dan kognisi. Pem-bingkai-an dengan model sosiologi
sebutlah paradigma konstruksi, bahasa halus dari propaganda. Berita yang
merupakan informasi sebuah kejadian atau peristiwa dibuat dengan cara
dikonstruksi dengan makna tertentu, agar lebih menyentuh khalayak ramai, atau
menjadi viral. Dari sudut ini, kita dapat menerka bahwa informasi media
cenderung hanya memenuhi ekspektasi publik. Bila tidak, media tersebut akan
dengan mudah di-cap memihak atau antek aseng. Karena itu, masih menurut Berger,
“realitas bukanlah sesuatu yang mandiri
dan statis”. Tetapi ia dibentuk dan di-konstruksi.
Teori konstruksi
bekerja dibalik bahasa sebagai instrumennya, proses konstruksi realitas dimulai
ketika seorang konstruktor melakukan obyektifikasi terhadap suatu kenyataan,
yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari
pemaknaan melalui persepsi itu diinternalisasi ke dalam diri konstruktor.
Tahapan selanjutnya, dilakukanlah konseptualisasi terhadap obyek yang dipersepsi.
Terakhir, proses eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara
internal tadi, melalui pernyataan-pernyataan. Nah, disinilah alat yang bekerja
adalah bahasa. Sederhananya, antara fakta dan opini dalam media tidak dapat
dipisahkan. Karena itu, dalam proses ulasan berita melibatkan unsur
subyektifitas seseorang, melalui opini yang dibentuk dan dikonstruksi,
berdasarkan kepentingan tertentu.
Akar historis analisis
framing bermuara dari pendekatan analisis wacana. Dipopulerkan oleh Beterson pada tahun 1955,
untuk pertama kalinya frame dimaknai
sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir
pandangan politik, kebijakan dan wacana dalam mengapreasi realitas. Dalam
perkembangannya, framing dimaknai
sebagai gambaran proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah
realita oleh media. Ada dua esensi yang dapat dicerna dari analisis framing, yaitu; pertama, bagaimana
sebuah peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan
mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta ditulis. Perihal ini terkait
dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar yang mendukung gagasan.
Kegandrungan penggiat
media sosial dewasa ini, cenderung instan dalam menyerap informasi. Tanpa alat
ukur yang memadai, merasa nyaman terjajah dari pola arus informasi yang massif
dan tendensius. Kalau tidak mempelajari pola, maka kita tidak akan mengetahui
bentuk, isi dan motif informasi. Bijak sejak di dalam pikiran, adalah bagaimana
akal kita mampu memfilter validitas setiap arus informasi secara adil. Fenomena
media abal-abal dan hoax, begitu cepat diserap dan disikapi dengan kata-kata
yang cenderung provokatif. Sudah selayaknya mencerna itu dibutuhkan kesadaran
kritis, jangan lagi mau di provokasi hanya karena di situ identitas kita merasa
tercedera, bisa jadi motif dibaliknya adalah imposible hands yang mengontrol serta membingkai kita untuk terus
berada dalam pusaran pertikaian.
Membangun kesadaran
kritis, salah satunya dengan menggiatkan pentingnya literasi media. Tentunya,
selalu berbagi dengan informasi positif dan mencerdaskan. Berikut diantaranya :
1. Telusuri-lah terlebih dahulu, konten
berita tentang apa. Kalau genre-nya politik, analisis-lah dengan pendekatan
politik. Bagaimana pola dan bentuk politik bekerja, modus-modus politik, motif
serta tendensinya. Cari-lah informasi penyeimbang atau kontra. Cari puzzle dan klik-nya. Buatlah pertanyaan
dan kerangka konklusi sementara. Bangunlah kritik, dengan analisis framing.
2. Gunakanlah kaidah Logika. Bila terjadi
polemik dalam sebuah pemberitaan, kaji-lah premis-premis yang digunakan. Teliti
konsistensi diksi, dengan berbagai sumber yang ada. Pantau keseragaman media,
juga perbedaannya dalam memuat berita. Lihat-lah sudut pandang dari penulis
sebagai konstruktor. Karena pembaca memiliki dunia tanda-nya sendiri.
3. Hindari baskom (bicara asal komentar).
Tentu kita masih ingat, seorang anak muda yang asal komentar terhadap tweet Gus
Mus. Karena kicauannya yang asal, ia terancam dipecat dari pekerjaan.
Sampai-sampai, ibunya harus ikut menyertainya minta maaf ke Gus Mus. Masih
beruntung, Gus Mus memiliki jiwa besar dan pemaaf. Di jejaring sosial, ini
sering saya saksikan. Merasa membela kebenaran, tapi menggunakan diksi yang
kotor. Sampai mengumpat dan melibatkan semua binatang. Ada yang bertanya “anda
sehat?” tapi, pernyataannya juga tidak sehat.
4. Perbanyaklah membaca buku, agar kita
kaya dengan persfektif. Hal ini penting, karena miskin persfektif membuat ruang
berfikir sempit. Sehingga, mudah saja kita melakukan penilaian, tanpa berusaha
untuk menguji shahih atau tidaknya sebuah berita.
5.
Don’t
just a book by the cover (jangan menilai buku dari
tampilannya). Sering kita terjebak pada simbolitas dan label. Menilai dari
pandangan pertama, tanpa mau mengkaji isi. Kita baru menyesal setelah kebenaran
terungkap. Oleh karena itu, bila tidak sependapat dengan orang lain. Pelajarilah
sumber pengetahuannya, dan berdiskusi-lah untuk menguji argumentasi
masing-masing. Bisa jadi argumentasinya memiliki landasan serta didukung data
yang lengkap.
6. Jangan mudah mempercayai gambar atau
foto yang di-share secara massif. Seringkali
sebuah pemberitaan untuk menggalang dukungan, atau membentuk pola common enemy dengan media gambar.
Padahal, google image menyediakan
fasilitasnya untuk kita menelusuri keaslian gambar. Cobalah anda lakukan, maka google image akan menyebutkan asal
gambar/foto yang sebenarnya. Kalau akal kita masih bekerja, tentu kita akan
bertanya “mengapa ini bisa terjadi?”
7. Ketahuilah, tidak ada media yang netral.
Media yang tidak memenuhi ekspektasi publik, cenderung di hujat tidak netral dan
memihak. Sadarkah kita, media membutuhkan rating, oplah, dan ingin menjadi mainstream. Karena itu jangan
mengharapkan media untuk bersikap netral, kalau anda sendiri memihak.
Seharusnya, dari pembaca-lah sikap netral itu ditemukan.
8. Olah data dan kemas informasi. Sebuah
berita, yang sifatnya kronologis, reportase, dan investigatif harus memiliki
data primer. Minimal, ditunjang data sekunder. Kalau tidak memiliki data, hanya
sebatas “kicauan” media sosial semata. Sebaiknya abaikan saja. Alih-alih mau
mengungkap “fakta”, justru malah jadi pesakitan. Lihatlah Bambang Tri, penulis
buku Jokowi Undercover.
9. Hindari sikap sok tahu, atau merasa
paling tahu. Sikap seperti ini, bukan membuat orang lain bersimpati. Justru memperlebar
jarak permusuhan. Biasanya dapat dilihat dari status, maupun komentar yang
tidak pada tempatnya. Tidak menempatkan diksi pada jalurnya. Seperti,
mengendarai mobil di atas air.
10. Jadikanlah
media sosial sebagai alat mengembangkan wawasan.
Kira-kira seperti
itulah pendapat saya. (*)
(*) Muhammad Syahudin_ Pegiat Literasi Sureq Institute
1 komentar:
komentarsebagai orang yang sulit memahami sebuah teori...ada baiknya bila diberikan contoh cara penggunaan analisis framing suhu...terimakasih
Reply