Berada dalam kebuntuan, sungguh menyedihkan. Tak bisa lagi berbuat, untuk sesuatu yang berarti. Enggan rasanya memelihara asa, yang kian padam. Harapan-harapan palsu itu, telah memasung semangat. Kemanakah semua arti itu? Sudahkah makna itu, terjawab? Ah..sedemikian memuncah saja tak karuan. Apa gunanya terus mengutuk keadaan ini, bila mereka sudah tak peduli lagi.
Aku
menyaksikan, penguasa suka memberi nasehat, tapi tidak punya keteladanan. Ada
yang berceramah, tapi ditinggalkan. Ada yang pintar, tapi bobrok. Kejujuran
hanya pemanis bibir. Kerusakan moral jadi tontonan. Kepalsuan menjadi
identitas. Predikat menjadi Dewa. Status sosial, menjadi harga diri. Agama
diperdebatkan dalam ruang hampa. Keadilan, hanya menjadi cita-cita. Kebohongan
disamarkan dengan bahasa intelek. Orang miskin digadai. Uang menjadi berhala.
Politik dan kekuasaan menyingkirkan persaudaraan. Orang-orang dungu memberikan
pengajaran. Orang baik di asingkan. Para penipu, dipuja sedemikian rupa. Hukum
tak ubahnya seperti pasar. Pendidikan dinilai dari angka-angka.
Kemana
harus mencari jawaban? Rasanya kemuakan ini berakhir tragis dalam perang jiwaku. Aku tertegun, dan mencoba termangu
dengan keadaan seperti ini. Haruskah, segala idealisme bisu ini bergerilya
mencari pembuktian. Interpretasi, konteks, sudut pandang, argumentasi, tinggal
menjadi pajangan dalam perdebatan akal-ku sendiri. Setiap menempuh dahagaku
ini, hampir selalu saja aku melihat mata air, yang tercemar oleh ambisi. Keserakahan
sudah sedemikian akut merajang dan menusuk sukmaku. Aku seakan terhenti pada
titik nadir yang berkepanjangan. Setiap aku mencoba berlari, langkah kakiku
terikat oleh masa lalu. Mencoba bertarung dengan pedang waktu, namun lupa aku
mengasahnya. Sekarang aku hanya bisa terbaring dan terkapar, tak berdaya dibuai
angin kepalsuan yang menyesaki dada-ku.
Heran..aku
sungguh heran. Bunglon, seakan sudah menjadi watak identitas. Setiap perubahan
yang terjadi hanya menipu keadaan. Tapi tidak merubah apapun selain kepalsuan. Saat
bicara, mulut-nya berbau kebohongan kalau bukan penipuan. Kalau menangis,
tangisannya hanyalah klise agar dianggap “ber-iman”. Saat bersikap, gerakan
tubuhnya dibuat setangguh mungkin. Semakin intelek, tapi justru bertambah
tolol. Edan...aku hidup di zaman canggih dalam kepalsuan.
Pencarian
ini hanya menyiksa. Hanya sia-sia. Aku mendaku...terus mendaku. Bagaimana mungkin
ada sebuah jawaban dari persoalan yang tidak jelas.
*) Oleh: Muhammad Syahudin (Penggiat dan Peminat Literasi Sureq Institute)