Akhir-akhir ini, setiap saya membuka media sosial terasa sangat jenuh dan membosankan. Pembahasan yang jadi viral tentu kita semua sudah tahu, apalagi kalau bukan tentang Ahok dan demo 4 November beberapa hari yang lalu. Selama perdebatan sampai aksi tersebut, saya cenderung lebih memilih menjadi pembaca saja. Baik dari “pembela” maupun yang “kontra” dengan pernyataan Ahok sampai aksi 4 november berlangsung. Sebagai orang, yang pernah ikut dan mengelola gerakan aksi, saya sudah menduga aksi ini akan chaos dan berbuntut panjang. Meskipun saya sebenarnya berharap, pasca aksi mungkin perdebatan akan sedikit mereda. Tampaknya, hal itu tidak terjadi. Akhirnya, saya sulit untuk menahan diri untuk tidak memberikan komentar terhadap fenomena yang terjadi.
Sepengetahuan saya,
belum pernah ada persoalan bangsa ini melibatkan hampir setiap unsur perangkat
negara (TNI-Polri), ahli tafsir Islam, ahli bahasa, praktisi hukum, partai
politik, musisi, Ormas dan organisasi mahasiswa, sekelas HMI. Dalam hal ini,
saya ingin menegaskan netralitas dalam tulisan ini. Saya tidak ingin, terjebak
dalam perdebatan “obat nyamuk”. Apalagi kata-kata sampah, cacian dan makian
yang justru mengaburkan tujuan baik.
Sebelum pernyataan Ahok
di Bangka Belitung, kita semua sudah tahu bahwa FPI adalah ormas Islam garda
depan yang menolaknya menjadi Gubernur. Penolakan itu didasari Qs. Al-Maidah:51.
Sebagai buktinya, FPI kemudian melantik Fakhrurozi sebagai Gubernur tandingan. Namun
seiring berjalannya waktu, Gubernur “inskontitusional” ini sulit mendapat
tempat dikarenakan tidak adanya kewenangan yang diberikan oleh Negara, kemudian
intensitas perdebatan Qs. Al-Maidah:51, berkurang .
Mendekati pemilihan
gubernur Jakarta 2017, Qs. Al-maidah:51 mulai terdengar lagi. Pemantiknya,
adalah Ahok sendiri. Seakan menggali lubang untuk dirinya, Ahok justru melakukan
“blunder” dengan mengangkat persoalan sensitif ke permukaan. Meskipun kemudian
Ahok minta maaf, namun kata-kata yang keluar dari mulut bukan lagi milik
penutur. Puncaknya, tatkala Buni Yani meng-upload video pidato Ahok ke media
sosial. Bak gayung bersambut, MUI pun menyatakan sikap atas pernyataan tersebut,
mengutuk pidato Ahok. Tak ingin kehilangan momentum, Tvone mengangkatnya dalam
perdebatan Indonesia Lawyer Club (ILC), edisi “setelah Ahok minta maaf”. Konon,
selama ILC perdebatan inilah yang memakan durasi waktu paling lama. Tak ketinggalan,
media online serta penggunanya, terus-menerus membagikan tautan perdebatan dan
tanggapan terhadap pernyataan tersebut. Ada yang mengutuk, mengritik dan ada
yang membela.
Sampai disini,
hangatnya perdebatan memasuki wilayah tafsir, linguistik, semiotik dan logika. Pengunaan
kata “pake” (baca:pakai), lalu “dibohongi” kemudian “dibodohi”, menjadi kata
kunci. Dalam tafsir, penggunaan kata “awliya” pada Qs. Al-Maidah:51 menjadi
topik. Namun, saya tidak ingin masuk pada wilayah itu, yang kira-kira sudah
dibahas oleh ahlinya. Saya ingin melihatnya pada psikologi komunikasi. Dalam buku
psikologi Komunikasi yang di tulis oleh Jalaluddin Rakhmat, beliau menjelaskan tentang
penggunaan “hallo effect”. Cara memahaminya sederhana. Bila kita mencintai seseorang,
betapapun besar kesalahan orang tersebut tidak akan tampak. Justru, kita akan
membelanya mati-matian. Begitupun, ketika kita membenci (tidak menyukai)
seseorang, betapapun besar kebaikannya tidak akan pernah kita terima. Dan kita
akan menggunakan segala cara untuk menjatuhkannya. Saya sebenarnya sangat
menyayangkan, perdebatan yang didasari “hallo effect”. saya kira, tidak elok
kita menyerang Ahok, sampai pada tingkat mau “membunuh” segala. Pun, tidak
terlalu bijak membela Ahok, sampai-sampai menganggapnya “sempurna”.
Ok. Minum kopi dulu
sebelum lanjut. Srruppppp....ahhh.
Bukan FPI, kalau tidak
melakukan kehebohan. Begitulah kata teman saya. Ajakan demo 4 November 2016 pun
digalang dengan mengajak ulama dan ormas Islam seluruh Indonesia bergabung. Bagai
suara gema yang bersahutan, ajakan itupun telah dishare sampai ribuan kali, lalu
diamini oleh banyak orang. Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko widodo tiba-tiba berkunjung ke Hambalang di kediaman Prabowo, yang natabene adalah “lawan”
pada pilpres lalu. Begitu ciamik, keduanya naik kuda dan makan nasi goreng
bersama. Setelah itu, presiden mengundang ulama dari tiga ormas Islam, NU,
Muhammadiyah dan MUI di istana negara. tak cukup dengan itu, kemudian presiden
mendatangi Panglima TNI dan Kapolri membahas potensi ancaman aksi 4 November
2016. Lalu, ngopi dibelakang istana dengan wakilnya Pak JK.
Sebagai orang yang
pernah memimpin negeri ini selama dua periode, SBY pun turut memberikan
komentarnya. Dari sinilah kita mengenal istilah “lebaran kuda”. Untung ini
hanya sekedar istilah, coba seandainya “lebaran kuda” ini ada, maka
bertambahlah hari raya kita. Kesan SBY mendukung aksi 4 november tentu tidak
bisa dinapikan dalam pidatonya. Seakan ingin mencari tahu, pak SBY pun bertemu pak
Wiranto dan JK. Sampai disini, saya merasa, ini sudah masuk permainan catur. Bukan
lagi semata perdebatan kata-kata pada pernyataan Ahok.
Ancaman Radikalisasi
dan potensi Teroris menyusup dalam aksi 4 november 2016, terus diantisipasi
oleh TNI-Polri. Ditandai dengan apel gabungan, persiapan membentengi dan
mengawal aksi tersebut. Bagi yang mengritik aksi 4 november 2016, dugaan
kelompok Islam “garis keras” saja yang akan menghadirinya, ternyata tidak
terlalu tepat. Disana, kita juga melihat pak Amin Rais, yang dianggap salahsatu
diantara cendikiawan muslim Indonesia berhaluan moderat. Ada juga Bang Fahri
Hamzah dan Fadli Zon, yang natabene adalah anggota legislatif. Di barisan
massa, saya pun dibuat kagum saat bendera HMI ikut berkibar dikalangan massa
aksi. Saya kemudian tersenyum, saat melihat Ahmad Dhani ada dalam barisan. Kita
tentu mengenalnya sebagai musisi papan atas dengan lagu-lagu hitsnya, namun
belakangan lebih cenderung mempopulerkan “nyanyian” politik. Gubernur NTB konon
turut hadir dalam aksi tersebut. Saya melihatnya, melalui facebook teman yang
dibagikan. Mungkin, disana telah terjadi akumulasi kekecewaan yang penyebabnya
tidak berdiri sendiri. Ingat, gerakan aksi tidak selalu terencana by design tapi bisa juga karena adanya
momentum.
Kerumunan aksi massa,
pada tanggal 4 november 2016 dihadiri oleh ratusan ribu orang. Barisan demonstrasi,
yang terkonsentrasi di tiga titik. Salahsatunya di istana negara. disinilah
aksi berlangsung sampai tengah malam, dan berakhir bentrok. Buntutnya, beberapa
orang diciduk aparat, diduga sebagai biang bentrok. Ahmad Dhani dilaporkan ke
Polisi, karena dianggap menghina presiden. Dan pemeriksaan terhadap Buni Yani
pun berlanjut. Polisi bergerak cepat, memeriksa Ahok dan memanggil sejumlah
saksi. Berdasarkan jaminan wakil Presiden JK, bahwa kasus Ahok akan
diselesaikan selambatnya 2 pekan. Pasca bentrok, Presiden menyindir bahwa ada
aktor politik dibalik peristiwa aksi yang berujung ricuh tersebut. Seakan merasa
tertuduh, pihak cikeas mendesak Presiden untuk membuktikan siapa aktor yang
dimaksudkan. Waduh sampai disini, kepala saya tambah puyeng. Sementara,
sebagian besar massa aksi menuntut agar Ahok segera diadili.
Ok. Pertanyaannya, apakah
Ahok telah menistakan agama Islam? Saya yakin, jawabannya akan beragam
tergantung sudut pandang, sebagaimana perdebatan selama ini. Yang meyakini Ahok
menistakan agama, akan sulit menerima kalau dikatakan tidak. Dan yang
beranggapan Ahok benar dalam konteks tertentu, pun agak susah menerima
pernyataan lain. Tinggal apakah kita, masih mau melanjutkan perdebatan itu,
atau melangkah ke soal lain. Lanjut, kita mau menyelesaikan persoalan ini dalam
ranah hukum, atau tidak? Kalau sepakat, kita serahkan sepenuhnya kepada Polri
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Apapun hasilnya, gunakanlah kanal
hukum untuk menyalurkannya. Selanjutnya, bagaimana sekiranya, dalam proses
pemeriksaan Polisi Ahok dinyatakan tidak bersalah.? Atau bersalah?
Sambil minum kopi dan
menonton ILC malam ini, edisi “setelah 411”. Semoga saja Indonesia tidak
kembali di titik nol.
*) M.Syahudin (peminat dan penggiat Literasi Sureq Institute)