Satu apel jatuh teori Gravitasi ditemukan,
Ribuan Kepala
jatuh, belum juga menyadarkan
Kemanusiaan kita (Charlie
Chaplin)
Manusia
modern konon lebih rasional dan cenderung ilmiah. Klaim itu muncul setelah era Positivisme ala Comte, menjadi
propagandis paling utama menciptakan
masyarakat kapitalis. Sebuah fenomena dimana sains disembah sedemikian rupa.
Kekayaan alam dikeruk untuk memenuhi ambisi manusia. Bahkan penjajahan pun
dilakukan untuk memelihara dominasi atas Negara-negara yang lemah dan
terbelakang. Bahkan, yang tidak sepakat dengan modernisasi, didapuk menjadi
tradisionalis yang kolot dan ketinggalan zaman.
Nalar
manusia yang dibuai arus modernisasi, menjadi tercemar dengan diktum-diktum
skeptis. Polarisasi masyarakat dan struktur sosial, memengaruhi manusia sampai
pada tingkat yang fundamental, yaitu pola komunikasi dan hubungan sosial. Menurut
Sayyed Hossein Nasr; “Manusia modern telah tercebur ke dalam lembah pemujaan
terhadap pemenuhan materi semata, namun tidak mampu menjawab problem
kemanusiaan yang dihadapinya”. Kegersangan spiritual menjadi santapan jiwa,
linglung dan bingung akhirnya mencari pemenuhan hasrat jiwa dengan jalan
instan.
Revolusi
industri di Inggris pada abad ke 17 M, menjadi penanda arus modernisasi.
Kemajuan tersebut bahkan mendorong negara-negara adidaya untuk berperang.
Ribuan bahkan jutaan manusia mati, namun belum juga menyadarkan kemanusiaan
kita. Bukannya apriori dengan modern, nyatanya diktum tersebut telah menyekat masyarakat
dalam kotak yang bernama “kepentingan”. Michel
Foucault, tanpa ragu mengatakan bahwa; tidak ada manusia yang lepas dari
kepentingan. Karenanya, manusia modern dalam struktur sosial adalah makhluk
berkepentingan.
Untuk
menata struktur modern yang dibingkai kepentingan tersebut diciptakanlah sistem
demokrasi, hukum, ekonomi, dan seabrek embel-embelnya. Budaya dan agama,
nyatanya juga tak jarang menjadi alat untuk merefresentasikan kepentingan
sekelompok orang atau golongan. Sementara kesenjangan semakin meruncing,
keadilan menjadi tawanan oknum yang kebetulan berkuasa. Sekularisasi,
individualistis bahkan sikap hedon melanda anak-anak muda, menempatkan
kebebasan dalam ruang sempit. Bebas dan
terbuka, namun kehilangan jiwa dan spiritualitas.
Sejenak
marilah menengok kebelakang, lalu merenung. Apa yang menyebabkan perang dunia
ke I dan II. Mengapa Negara-negara Eropa menjajah. Mengapa Negara Timur Tengah
saban hari terlibat konflik dan peperangan antar sesamanya. Atau di Negeri
Kita, mengapa Muncul Pemeberontakan DI/TII. Mengapa ada kudeta berdarah G 30 S
PKI. Mengapa terjadi pemberontakan di Aceh, RMS dan OPM. Apa yang menyebabkan
terjadinya kerusuhan Poso, Ambon dan kalimantan. Mengapa muncul terorisme, yang
belum mampu diberantas sampai ke akarnya. Mengapa prilaku korup di Negara kita
dianggap lumrah oleh sebagian orang. Mengapa politik dijadikan bahan dagangan.
Mengapa agama kadang menjadi topeng untuk memanipulasi orang, seperti fenomena
Kanjeng Dimas dan AA Gatot.
Mungkin
sulit untuk menyatukan puzzle itu
menjadi utuh. Atau menemukan alasan yang faktual dari semua peristiwa sejarah
itu. Akan tetapi, kita dapat berasumsi bahwa tatkala kepentingan sekelompok
orang ingin dipaksakan terhadap kepentingan yang lain, pastilah terjadi
benturan. Benturan tersebut, dapat mengarah kepada sengketa, perpecahan,
pertikaian bahkan mungkin peperangan. Kita memang tidak bisa memaksakan
keinginan kita, apalagi kepentingan kita terhadap orang lain. Tapi bagi yang
merasa berwenang, atau mengklaim memiliki otoritas atas kepentingan itu, maka memaksakan
adalah jalan yang harus ditempuh. Bisa dibayangkan, bila setiap orang yang
memiliki kepentingan ini, saling memaksakan satu sama lain. Dapat dipastikan,
konflik pasti terjadi.
Masalah
Psikologis Manusia Modern
Salah
satu problem psikologis manusia modern, adalah berubahnya pola hubungan
personal; akrab dan bersahaja kepada hubungan Impersonal, dimana hubungan
dibangun atas dasar kepentingan ekonomi dan kekuasaan belaka. Menurut Victor
Frankl, tokoh Psikologi Eksistensial; Manusia modern mengalami frustasi
eksistensial dan kehampaan eksistensial yang semakin luas. Frustasi dalam
pemenuhan keinginan terhadap makna hidup, dan hampa karena merasa kehidupan tak
memiliki makna. Sesuatu yang disebutnya
dengan Neuorosis kolektif. Adapun
gejalanya, dapat diketahui sebagai berikut; pertama, sikap pesimis terhadap
hidup. Kedua, Fatalistik atau bertingkah laku bukan dari dirinya sendiri.
Ketiga, konformis atau bertingkah laku seakan-akan mereka adalah fungsi atau
alat belaka dari massa. Keempat, fanatisme atau mengingkari kepribadian orang lain,
mereka hanya mau mendengar opini-opini mereka sendiri, yang hakikatnya bukan
opini mereka sendiri, melainkan opini penguasa, opini partai atau opini publik.
Senada
dengan itu, Erich Fromm mengatakan; orang-orang yang tidak mampu mencintai dan
gagal untuk membentuk kesatuan dengan orang lain sesungguhnya mengalami gangguan
kepribadian secara psikologis. Ia kemudian, menjelaskannya dalam tiga bentuk.
Pertama, Necrophilic kepribadian, yaitu
sebuah kepribadian yang benci kemanusiaan, mereka rasis, pengganggu dan
menyukai pertumpahan darah, mereka senang menghancurkan hidup lewat teror dan
penyiksaan. Kedua, Narsisme berat, yaitu menghargai diri sendiri dan memaksakan
orang lain untuk menghargainya. Bila orang tak menghargainya, muncullah
depresi. Ketiga, Incest Simbiosis,
yaitu semacam bentuk kecemasan, hidup tanpa kasih sayang sebagaimana mereka
dapatkan dari ibu. Gangguan-gangguan tersebut, tanpa disadari menjadikan
manusia teralienasi (terasing) dari dirinya sendiri. Kekosongan, kesepian dan
kecemasan memantik perilaku menyimpang.
Apa
sebenarnya watak manusia modern? Toynbee, dengan menggunakan persfektif sejarah
mengatakan: “There is persistent vein of
violence and cruelty in human nature.” Tidak henti-hentinya ada kekerasan
dan kekejaman dalam tabiat manusia. Pada satu sisi, ada yang mengatakan manusia
hanyalah Homo Mechanicus yang secara
otomatis digerakkan dengan hukum-hukum fisika (Hobbes, juga Hume), oleh
dorongan-dorongan alamiah seperti membela kepentingan diri sendiri
(utilitarian), hasrat biologis (Freud), oleh warisan genetis (Jensen, Eysenck,
Herrnstein), atau faktor-faktor lingkungan simulasi (Behaviorisme), lingkungan
sosio-kultural (Neo-Freudian), alat-alat produksi (Marxisme), dan tekhnologi
(Veblen, Ogburn, Toffler).
Pandangan-pandangan
yang diulas ini, bisa saja tidak mewakili identitas manusia modern. Namun, dengan
sedikit akal sehat, mungkin kita mau mengakui bahwa kemungkinan penyakit
manusia modern, memang terkait gangguan kepribadian. Bisa jadi orang yang
mengalami gangguan ini, berbicara menggunakan dalil kebenaran, tapi
menyembunyikan karakter yang sesungguhnya.
Agama dan Derita
Manusia Modern
Hidup
adalah derita, ketakutan dan manusia tidak bahagia. Begitulah kata Dostoevsky.
Sinyalemen tersebut seakan menguatkan asumsi, bahwa akutnya jiwa manusia
modern. Otonomi manusia diagung-agungkan, mengganti Tuhan dengan idealisasi
manusia sampai batas tak terhingga. Meminjam istilah Irish Murdoch, otonomi
diri manusia. Parahnya lagi, akibat pemujaan berlebihan terhadap ilmu
pengetahuan, Tuhan tak ubahnya hanya hipotesis. Meskipun demikian, fitrah akan
kehadiran Tuhan dalam manusia tidak dapat dihilangkan. Sebagaimana Ivan
Karamazov berkata : “Manusia membutuhkan sesuatu yang berada di luar dirinya.
Tanpa itu, manusia tidak berbudaya. Adalah mustahil bagi manusia otonom dan
terisolasi dari hal-hal di luar dirinya.”
Pemahaman
manusia sebagai “aku” pada zaman modern, yang terlalu menekankan otonomi dan
kebebasan, membuat “aku” dipahami sebagai supersubjek (Ivan, Kardinal, dan
Raskolnikov). Kemudian, meng-objek-kan subjek-subjek yang lain. Sampai disini,
superioritas atas yang lain membuat manusia modern, berlomba-lomba menciptakan
ruang-ruang kuasa atas dirinya sendiri. Sejauh ini, manusia modern menganggap
kekuasaan materi merupakan tolak ukur supremasi kesuksesan. Tetapi sebaliknya,
justru mereka terjebak dalam lubang kegelapan yang menjadikan hidup hampa tiada
arti. Kehampaan ini disebabkan penolakan terhadap hakikat manusia,
menyingkirkan kebutuhan spiritual secara gradual (sayyed Hossen Nasr). Dan
karena manusia adalah makhluk sosial, tidak akan menemukan kepuasan kecuali
bersahabat dengan The Great Socius
(Tuhan yang Agung) , begitu kata William James.
Kegelisahan
akan makna spiritualitas, mendorong manusia untuk kembali kepada Agama.
Menariknya, variabel keagamaan dewasa ini tergiring pula dalam arus kepentingan
modernisasi. Terkadang arus itu justru lebih dominan. Namun, sejatinya agama
adalah medium untuk mengisi kekosongan jiwa manusia. Agama hadir menjadi
kontrol dari perilaku menyimpang, serta menuntun manusia kearah perdamaian,
kasih sayang dan keadilan. Bila agama kehilangan spiritualitas, seseorang akan
mengalami derita. Terkadang seorang yang mengalami derita kejiwaan tidak
menyadarinya, disinilah peran agama untuk mengobatinya. Antara agama dan
manusia adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Karena manusia membutuhkan
agama, tentu kehadirannya akan sejalan
dengan fitrah manusia. Wallahu’alam
bis-shawab.*
*) Muhammad Syahudin
Pegiat Literasi
Pegiat Literasi