Oleh: Alfit Sair
Perlahan dan
pasti, begitulah waktu bergerak. Gerakannya yang senyap tak bersuara siap
menggilas apapun yang dilaluinya. Tanah, pepohonan, hewan, bahkan manusia akan
lapuk dilintasi gerak waktu dalam keheningan. Mereka yang mengisi kehidupan
dalam tidur panjang kelalaian,
akan tersentak bangun kala jarum jam kematian tiba-tiba berdentang. Adapun, mereka yang menjalani
kehidupan dengan tetap terjaga, senantiasa bersiaga menyambut dentang jarum
kematian.
Beberapa waktu berlalu,
kita masih berada di awal-awal ramadan.
Namun kini, ramadan
akan berlalu. Ia bergerak dalam keheningan, meninggalkan mereka yang terbius
perhiasan dunia. Padahal, Tuhan dengan bulan suci-Nya telah mengetuk pintu
rumah manusia dengan membawa serta undangan perjamuan ruhani. Di bulan ramadan, Tuhan
mengadakan open house, mengundang
manusia berkunjung ke istana-Nya,
tuk mencicipi hidangan ruhani. Namun, nampaknya tak ada jiwa yang mendengar
ketukan Tuhan itu, hingga suara ketukan itu hilang dalam hening, bulan puasa pun
berlalu. Jiwa kita (khususnya jiwa-jiwa nusantara) begitu sibuk dengan aneka
rupa kelezatan-kelezatan hidangan berbuka puasa. Jiwa kita begitu rindu,
menanti beduk adzan magrib,
ketimbang menanti debum langkah para malaikat di malam lailatul qadr. Jiwa kita begitu sibuk menanti kemeriahan,
kegembiraan satu syawal sembari merasa diri menjadi pemenang. Jika demikian,
sesungguhnya di bulan puasa, kita belum beranjak kemana-mana. Kita masih
tertawan warna dunia. Kita tidak beroleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga.