Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

ELEGI SENJA


Pagi masih belum benar-benar menampakkan pendarnya, matahari masih malu-malu untuk menyapa bumi. Bergegas, kutangkupkan sarung yang ku kenakan sehabis salat subuh. Tergopoh-gopoh mencari sesuatu, berharap ia nyata. Setengah berlari, ku susuri jalan setapak yang belum jadi. Rumah kakek adalah tujuanku. Biasanya sepagi ini, kakek sudah beranjak ke kebun atau sawahnya. Terlambat sedikit saja, aku hanya menjumpai gelas kopinya yang kosong, petanda ia sudah tenggelam dalam aktifitasnya. Dan kalau sudah demikian, kakek akan sulit untuk diajak bicara. Baginya bekerja adalah ibadah, harus dilakukan dengan sepenuh jiwa, karena akan berpengaruh terhadap hasil yang akan dipanen.

Rumah kakek memang tidak terlalu jauh dari rumah orangtuaku, sekitar 2 KM. Namun jalan yang berkelok, sedikit mendaki dan cenderung curam, membuatku agak kepayahan untuk menapakinya. Lalai sedikit saja, bisa terpeleset dan jatuh. Lamat-lamat kulihat embun membentuk barisan, sedikit mengaburkan jarak pandangku. Namun, tekadku untuk bertemu kakek secepat mungkin, membuat tenagaku seakan berlipat-lipat, padahal perutku masih kosong melompong. Kuabaikan semua itu demi sebuah jawaban.

Setiba di pekarangan, kulihat rumah panggung itu terlihat tenang. Model rumah kakek memang unik, khas rumah-rumah yang ada di sulawesi selatan. Baginya, identitas budaya tidak boleh dihilangkan. “Kalau tidak ada lagi rumah seperti ini. Tidak akan kau tahu identitasmu”. Kata kakek suatu hari kepadaku. Aku sempat nyiyir, “masak sih rumah jadi identitas. Yang identitas itu KTP”. Kataku dalam hati, tak berani membantahnya. Mataku menyapu kolong rumah, namun kakek tak terlihat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, kucoba untuk menapaki tangga rumah kakek. Ku lihat pintu rumahnya terbuka lebar. Sambil melongokkan kepalaku ke dalam rumah kakek.
“Assalamu’alaikum. Kakek...kek, ini Rida Kek”. Namun tak ada jawaban.

Berkali-kali kupanggil, tetap saja tak ada jawaban. Ah.. mungkin aku sudah lambat. Tapi mengapa pintu rumah kakek masih terbuka. Biasanya kakek orangnya sangat detail. Tidak mungkin ia pergi dengan pintu rumah masih tetap terbuka. Akhirnya, kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah kakek. Saat mau kuayunkan langkahku. Terdengar suara yang sudah sangat akrab ditelingaku.

“Sudahkah kau dipersilahkan masuk.”

“Eh..kakek, maaf. Aku mengira kakek lupa menutup pintu”.

“Tapi, kakek dimana?”

“Disini, di dekatmu”

“Ihh...tapi kek, aku tak melihatmu.” Kataku, sedikit bergidik.
Kenapa pula kakek mempermainkanku sepagi ini, apa dia tidak tahu kesulitanku untuk menemuinya.

“Masuklah, temui kakek di kamar”

Sedikit ragu, ku ayunkan langkahku. Dengan sedikit berjingkrat, suara langkahku menimbulkan bunyi di lantai papan, yang sudah mulai lapuk. Ku singkap tirai lusuh yang menutupi kamar kecilnya. Ku lihat kakek tengah khusuk, mulutnya komat kamit. Di atas sajadah, kulihat bulir air matanya menetes, namun tak kudengar suara terisak. Matanya sembab, meskipun tertutup oleh kelopaknya. Tenang tanpa suara. Hanya sesekali suara ayam berkokok, tanda pagi benar-benar diterangi matahari. Ingin kusapa kakek, tapi kuurungkan demi membiarkan ia bercengkrama dengan Tuhannya.

Kuputar badanku, untuk menunggu kakek di kursi kayu diruang tengah rumah.

“Duduklah, disamping kakek”

Terhenyak aku putar haluan mendekati kakek. Tapi keherananku semakin mengumpal, saat ku lihat kakek tanpa ekspresi. Dengan pelan, duduklah aku disamping kakek. Tak tahu harus berkata apa-apa. Kepalaku terasa nyut-nyutan, mau mencari jawaban tapi malah semakin banyak pertanyaan yang berkelindan. Kakek pagi ini, terasa begitu misterius. Penuh aura mistis, terasa sejuk dan damai.

“Isyarat ini sepertinya sudah dekat”
“Isyarat apa, Kek?
“Keadilan”
“Maksud Kakek?
“Aku tahu, yang ingin kau tanyakan. Memang saat keraguan melingkupi manusia, mereka membutuhkan jawaban. Tapi, tahukah engkau nak, saat jawaban tersingkap yang muncul adalah pertanyaan-pertanyaan.”
“Darimana kakek tahu, padahal aku belum menyampaikannya? Kataku sedikit kaget.
“Aku tidak mengetahuinya nak, tapi aku menyaksikannya”

Pikiranku kini terasa hanyut entah kemana. Betapa rumitnya untuk sekedar berbicara dengan kakek. Membuat otakku bekerja lebih ekstra untuk mencernanya.

“Kakek menyaksikan apa yang saya tanyakan?’
“bukan pertanyaan, tapi makna yang ingin kau sampaikan”
“kakek menyaksikan makna?
“Makna itu memiliki makna, terkadang makna itu hanya bisa disaksikan, terkadang juga makna sesuatu itu tidak memiliki makna”
“saya bingung, kek”
“baguslah, itu langkah awal menyelami makna”

Rasanya aku dilemparkan dipadang pasir yang gersang, seperti mengharapkan air namun hanya dapat mencerna oase. Pertanyaan yang membuatku pagi-pagi harus bertemu kakek, kini menjadi berlapis-lapis.

“Kek, aku masih penasaran”
“Tentang apa?
“Mengapa kakek tidak membiarkan aku menyampaikan pertanyaan?
“karena engkau mengetahui sedikit rahasia, yang tidak engkau fahami”
“Keadilan, makna dan rahasia, semua itu maksud kakek”

Kakek menatap mataku dalam-dalam,
“sepertinya engkau sudah mulai mencerna”
“apa yang dapat saya cerna, kalau semua yang kakek sebut mengerutkan otakku”
“Hahahahaha.....”
“Kok, kakek malah tertawa”
“Datanglah nanti sore, sepulang aku menuntaskan semua urusan. Dan engkau akan tahu sedikit rahasia yang ingin kau ketahui”
“Mengapa tidak sekarang saja”
“Karena jawabannya hanya bisa terungkap pada waktunya”
“Baiklah kek...”

Dengan malas, aku pamit mencium tangan kakek. Sebagai adab kesopanan yang selalu diajarkan terhadap orangtua.

***

“Rida..rida..” terdengar suara ibu memanggil
“Aku masih capek, bu”
“ayolah, cepat bangun. Kita kerumah kakek sekarang”
“sekarang pukul berapa, bu?
“pokoknya ini sudah sore, lihat sendiri saja”

Teringatlah aku tentang janji bertemu kakek. Berbegaslah aku untuk mandi.

“Tidak usah mandi, sekarang kita berangkat”
“Baiklah, Bu”
“Saya memang ada janjian dengan kakek sore ini”
“Apa..............???
“Iya, tadi pagi saya kerumah kakek. Tidak sempat pamit sama ibu, karena kulihat pintu kamar ibu masih tertutup. Mungkin ibu masih tertidur”
“Anakku.....!!! ibu tidak sanggup menahan gejolak emosinya. Matanya tiba-tiba menjadi merah berair.
“Kenapa Ibu, apa yang terjadi?
“Dini hari tadi, Ibu dan Bapakmu mengantarkan kakekmu ke rumah sakit, dan.....”
“Kakek sakit apa bu” kataku linglung
“Kakek sudah meninggalkan kita, tadi sore sepulang dari rumah sakit. Ia hanya berkata, bahwa ia ingin menepati janjinya”

Gemetar seluruh tubuhku, seakan dunia terbalik. Badanku terasa ringan. Ambruk, meraung-raung. Ibu memapah langkahku ke rumah kakek dengan terus menghiburku. Tapi ibu tidak tahu apa yang melanda akal dan perasaanku.

Sesampai di rumah kakek, tersungkur aku di tubuh kaku itu. Kupeluk erat sambil meronta.

“Nak....” ku dengar suara ibu
“Sebelum kakekmu pergi, ia menitipkan secarik kertas ini buatmu”

Dengan gemetaran, kuraih secarik kertas itu. Perlahan kubaca tulisan kakek.


“Rida, engkau sudah memahami tentang sedikit rahasia itu, bukan? Bila engkau ingin mengungkap jawaban atas pertanyaanmu. Carilah keadilan, makna dan rahasia itu. Kakekmu sudah menepati janjinya, sekarang engkau akan merasakan derita pencarian. Bersabarlah......!!!”


*) Muh. Syahudin_Pegiat Literasi

Untuk Engkau diri-ku


22 januari bukanlah semata kenangan, tetapi sebuah peristiwa dalam sejarah yang begitu membekas dalam relung jiwaku. Sebuah peristiwa penyatuan Jamal dan Jalal, sebentuk Ying dan Yang. Suatu kejadian dimana sebagian diriku telah kutemukan. Tentang sebagian perjalanan hidup yang mengisi setiap langkahku. Sebagaimana kerinduan yang membias, kehadiranmu adalah pengobatnya.

Sebelas tahun silam, untuk pertama kalinya aku mengenal hakikat cinta. Medium makna yang sudah redup telah kau sinari dengan aura mistis-mu. Untuk pertama pula aku merasa tersihir oleh keindahan, itupun kamu. Mungkin, hal yang sama pun kau rasakan. Buktinya, mataku silau oleh keindahan cahaya yang menangkupmu. Karena aku tahu sesuatu yang pasti, kau adalah aku dalam bentuk kelembutan.

Sebelas tahun sudah, kita mengarungi bahtera ini. Namun, aku merasa baru kemarin ikrar cinta kita diucapkan. Tiga pejantan tangguh, kini telah ikut mengisi bahtera kita. Silih berganti riak dan gelombang, telah berhasil kita lalui. Karena menuju tujuan itu, engkau terkadang lebih tangguh dariku. Saat aku lemah, engkau menguatkan. Saat aku butuh pegangan, tanganmu kau ulurkan. Kau mendaku; adakah kekuatan seperti aku bercermin di wajahmu, aku menyaksikan diriku sendiri.

Sebelas tahun kini, engkau sempat meragu akan eksistensiku. Tahukah cinta ! betapa engkau lebih dari yang kau bayangkan. Betapa rapuhnya langkahku seandainya engkau melebur dengan semesta. Semoga waktu akan membuktikan putarannya.

Sebelas tahun lalu, 22 januari 2006
hari ini 22 januari 2017_

untuk bidadariku HAPPY WEDDING ANNIVERSARY. 

FIKSASI



Sulit untuk menemukan arti dari sikap ambigumu.
Tidak mungkin.
Engkau saja yang bersikap ambigu.
Bukan..bukan karena ambigu mungkin.
Lalu apa?.
Aku merasa, engkau sudah tidak lagi meletakkan makna itu pada tempatnya.
Maksudmu? Iya.. bukankah kita sedang berada dalam kepastian.
Kau salah, kita sedang berada dalam ketidakpastian.
Justru itulah, satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian.
Ah..semakin ngawur saja.
Apa yang ngawur?.
Kata-katamu.
Kau ambigu lagi.
Braakkkk.....
***
Maaf aku sulit mengendalikan diri.
Disitulah letak kelemahanmu.
Apa sebenarnya maksudmu, tadi kau bilang aku ambigu sekarang lemah.
Aku tak sebut kau lemah, tapi kau memiliki kelemahan.
Memangnya kau itu sempurna?.
Tidak, aku tidak menyebut bahwa diriku sempurna.
Lalu apa?
Bukankah kau sudah membandingkan.
Saya hanya mencoba memberikan sudut pandang.
Bagiku itu terlihat menghakimi.
Terserah pendapatmu, bagiku itulah sudut pandang.
Tapi, bukankah kau menganggap sudut pandangmu itu benar.
Apa tidak salah?.
Maksudmu?.
Kau tuduh aku menghakimi, bukankah kau juga melakukannya?.
Memang ku akui, kau pandai mengakali pembicaraan.
Loh..mengakali itu apa?.
Sudahlah, bosan bicara dengan kamu yang sok filosofis.
Waduh..semakin heran aku, kok filosof dibawa segala.
Cukup kataku.....

Sudahlah..

Misteri


Dalam kesunyian malam, ketika hantu malam memeluk semua ciptaan, aku melihat segala sesuatu, kadang-kadang bernyanyi, kadang-kadang berbisik. Kesedihan adalah aku, karena menatap  malam telah membuatku sia-sia. Tetapi aku seorang pecinta dan aroma cinta adalah kesadaran. Itulah hidupku yang harus kujalani.

Akankah engkau puas dengan cinta seorang laki-laki yang telah menjadikan cinta itu sebagai temannya, namun tidak membiarkan itu merajainya?

Akankah engkau temukan damai dengan perasaan jiwa yang remuk dalam badai namun tak membuatmu tumbang.

Apakah merdeka itu ?



Katanya. Derita, darah dan airmata adalah harga kemerdekaan
Benarkah derita itu telah abai?
Sudahkah darah itu berhenti mengalir?
Airmata.., masih deraskah ia ?
Lalu, kita ini sebenarnya merdeka atau dijajah ?

Katanya. Tak  ada lagi penjajah...,benarkah?
Apakah kemiskinan di negeri ini sudah punah?
Benarkah kesenjangan tidak lagi terjadi?
Benarkah berpendapat itu dihargai?
Dimana rasa aman itu?


MENCARI JAWABAN *


Berada dalam kebuntuan, sungguh menyedihkan. Tak bisa lagi berbuat, untuk sesuatu yang berarti. Enggan rasanya memelihara asa, yang kian padam. Harapan-harapan palsu itu, telah memasung semangat. Kemanakah semua arti itu? Sudahkah makna itu, terjawab? Ah..sedemikian memuncah saja tak karuan. Apa gunanya terus mengutuk keadaan ini, bila mereka sudah tak peduli lagi.

Aku menyaksikan, penguasa suka memberi nasehat, tapi tidak punya keteladanan. Ada yang berceramah, tapi ditinggalkan. Ada yang pintar, tapi bobrok. Kejujuran hanya pemanis bibir. Kerusakan moral jadi tontonan. Kepalsuan menjadi identitas. Predikat menjadi Dewa. Status sosial, menjadi harga diri. Agama diperdebatkan dalam ruang hampa. Keadilan, hanya menjadi cita-cita. Kebohongan disamarkan dengan bahasa intelek. Orang miskin digadai. Uang menjadi berhala. Politik dan kekuasaan menyingkirkan persaudaraan. Orang-orang dungu memberikan pengajaran. Orang baik di asingkan. Para penipu, dipuja sedemikian rupa. Hukum tak ubahnya seperti pasar. Pendidikan dinilai dari angka-angka.

peradaban dapat tercipta dengan dialog