Pagi masih belum
benar-benar menampakkan pendarnya, matahari masih malu-malu untuk menyapa bumi.
Bergegas, kutangkupkan sarung yang ku kenakan sehabis salat subuh.
Tergopoh-gopoh mencari sesuatu, berharap ia nyata. Setengah berlari, ku susuri
jalan setapak yang belum jadi. Rumah kakek adalah tujuanku. Biasanya sepagi
ini, kakek sudah beranjak ke kebun atau sawahnya. Terlambat sedikit saja, aku
hanya menjumpai gelas kopinya yang kosong, petanda ia sudah tenggelam dalam aktifitasnya.
Dan kalau sudah demikian, kakek akan sulit untuk diajak bicara. Baginya bekerja
adalah ibadah, harus dilakukan dengan sepenuh jiwa, karena akan berpengaruh
terhadap hasil yang akan dipanen.
Rumah kakek memang
tidak terlalu jauh dari rumah orangtuaku, sekitar 2 KM. Namun jalan yang
berkelok, sedikit mendaki dan cenderung curam, membuatku agak kepayahan untuk
menapakinya. Lalai sedikit saja, bisa terpeleset dan jatuh. Lamat-lamat kulihat
embun membentuk barisan, sedikit mengaburkan jarak pandangku. Namun, tekadku
untuk bertemu kakek secepat mungkin, membuat tenagaku seakan berlipat-lipat,
padahal perutku masih kosong melompong. Kuabaikan semua itu demi sebuah
jawaban.
Setiba di pekarangan,
kulihat rumah panggung itu terlihat tenang. Model rumah kakek memang unik, khas
rumah-rumah yang ada di sulawesi selatan. Baginya, identitas budaya tidak boleh
dihilangkan. “Kalau tidak ada lagi rumah seperti ini. Tidak akan kau tahu
identitasmu”. Kata kakek suatu hari kepadaku. Aku sempat nyiyir, “masak sih
rumah jadi identitas. Yang identitas itu KTP”. Kataku dalam hati, tak berani
membantahnya. Mataku menyapu kolong rumah, namun kakek tak terlihat. Sambil
menarik nafas dalam-dalam, kucoba untuk menapaki tangga rumah kakek. Ku lihat
pintu rumahnya terbuka lebar. Sambil melongokkan kepalaku ke dalam rumah kakek.
“Assalamu’alaikum.
Kakek...kek, ini Rida Kek”. Namun tak ada jawaban.
Berkali-kali
kupanggil, tetap saja tak ada jawaban. Ah.. mungkin aku sudah lambat. Tapi
mengapa pintu rumah kakek masih terbuka. Biasanya kakek orangnya sangat detail.
Tidak mungkin ia pergi dengan pintu rumah masih tetap terbuka. Akhirnya,
kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah kakek. Saat mau kuayunkan langkahku.
Terdengar suara yang sudah sangat akrab ditelingaku.
“Sudahkah
kau dipersilahkan masuk.”
“Eh..kakek,
maaf. Aku mengira kakek lupa menutup pintu”.
“Tapi,
kakek dimana?”
“Disini,
di dekatmu”
“Ihh...tapi
kek, aku tak melihatmu.” Kataku, sedikit bergidik.
Kenapa
pula kakek mempermainkanku sepagi ini, apa dia tidak tahu kesulitanku untuk
menemuinya.
“Masuklah,
temui kakek di kamar”
Sedikit
ragu, ku ayunkan langkahku. Dengan sedikit berjingkrat, suara langkahku
menimbulkan bunyi di lantai papan, yang sudah mulai lapuk. Ku singkap tirai
lusuh yang menutupi kamar kecilnya. Ku lihat kakek tengah khusuk, mulutnya
komat kamit. Di atas sajadah, kulihat bulir air matanya menetes, namun tak
kudengar suara terisak. Matanya sembab, meskipun tertutup oleh kelopaknya.
Tenang tanpa suara. Hanya sesekali suara ayam berkokok, tanda pagi benar-benar
diterangi matahari. Ingin kusapa kakek, tapi kuurungkan demi membiarkan ia
bercengkrama dengan Tuhannya.
Kuputar
badanku, untuk menunggu kakek di kursi kayu diruang tengah rumah.
“Duduklah,
disamping kakek”
Terhenyak
aku putar haluan mendekati kakek. Tapi keherananku semakin mengumpal, saat ku
lihat kakek tanpa ekspresi. Dengan pelan, duduklah aku disamping kakek. Tak
tahu harus berkata apa-apa. Kepalaku terasa nyut-nyutan, mau mencari jawaban
tapi malah semakin banyak pertanyaan yang berkelindan. Kakek pagi ini, terasa
begitu misterius. Penuh aura mistis, terasa sejuk dan damai.
“Isyarat
ini sepertinya sudah dekat”
“Isyarat
apa, Kek?
“Keadilan”
“Maksud
Kakek?
“Aku
tahu, yang ingin kau tanyakan. Memang saat keraguan melingkupi manusia, mereka
membutuhkan jawaban. Tapi, tahukah engkau nak, saat jawaban tersingkap yang
muncul adalah pertanyaan-pertanyaan.”
“Darimana
kakek tahu, padahal aku belum menyampaikannya? Kataku sedikit kaget.
“Aku
tidak mengetahuinya nak, tapi aku menyaksikannya”
Pikiranku
kini terasa hanyut entah kemana. Betapa rumitnya untuk sekedar berbicara dengan
kakek. Membuat otakku bekerja lebih ekstra untuk mencernanya.
“Kakek
menyaksikan apa yang saya tanyakan?’
“bukan
pertanyaan, tapi makna yang ingin kau sampaikan”
“kakek
menyaksikan makna?
“Makna
itu memiliki makna, terkadang makna itu hanya bisa disaksikan, terkadang juga
makna sesuatu itu tidak memiliki makna”
“saya
bingung, kek”
“baguslah,
itu langkah awal menyelami makna”
Rasanya
aku dilemparkan dipadang pasir yang gersang, seperti mengharapkan air namun
hanya dapat mencerna oase. Pertanyaan yang membuatku pagi-pagi harus bertemu
kakek, kini menjadi berlapis-lapis.
“Kek,
aku masih penasaran”
“Tentang
apa?
“Mengapa
kakek tidak membiarkan aku menyampaikan pertanyaan?
“karena
engkau mengetahui sedikit rahasia, yang tidak engkau fahami”
“Keadilan,
makna dan rahasia, semua itu maksud kakek”
Kakek
menatap mataku dalam-dalam,
“sepertinya
engkau sudah mulai mencerna”
“apa
yang dapat saya cerna, kalau semua yang kakek sebut mengerutkan otakku”
“Hahahahaha.....”
“Kok,
kakek malah tertawa”
“Datanglah
nanti sore, sepulang aku menuntaskan semua urusan. Dan engkau akan tahu sedikit
rahasia yang ingin kau ketahui”
“Mengapa
tidak sekarang saja”
“Karena
jawabannya hanya bisa terungkap pada waktunya”
“Baiklah
kek...”
Dengan
malas, aku pamit mencium tangan kakek. Sebagai adab kesopanan yang selalu
diajarkan terhadap orangtua.
***
“Rida..rida..”
terdengar suara ibu memanggil
“Aku
masih capek, bu”
“ayolah,
cepat bangun. Kita kerumah kakek sekarang”
“sekarang
pukul berapa, bu?
“pokoknya
ini sudah sore, lihat sendiri saja”
Teringatlah
aku tentang janji bertemu kakek. Berbegaslah aku untuk mandi.
“Tidak
usah mandi, sekarang kita berangkat”
“Baiklah,
Bu”
“Saya
memang ada janjian dengan kakek sore ini”
“Apa..............???
“Iya,
tadi pagi saya kerumah kakek. Tidak sempat pamit sama ibu, karena kulihat pintu
kamar ibu masih tertutup. Mungkin ibu masih tertidur”
“Anakku.....!!!
ibu tidak sanggup menahan gejolak emosinya. Matanya tiba-tiba menjadi merah
berair.
“Kenapa
Ibu, apa yang terjadi?
“Dini
hari tadi, Ibu dan Bapakmu mengantarkan kakekmu ke rumah sakit, dan.....”
“Kakek
sakit apa bu” kataku linglung
“Kakek
sudah meninggalkan kita, tadi sore sepulang dari rumah sakit. Ia hanya berkata,
bahwa ia ingin menepati janjinya”
Gemetar
seluruh tubuhku, seakan dunia terbalik. Badanku terasa ringan. Ambruk,
meraung-raung. Ibu memapah langkahku ke rumah kakek dengan terus menghiburku. Tapi
ibu tidak tahu apa yang melanda akal dan perasaanku.
Sesampai
di rumah kakek, tersungkur aku di tubuh kaku itu. Kupeluk erat sambil meronta.
“Nak....”
ku dengar suara ibu
“Sebelum
kakekmu pergi, ia menitipkan secarik kertas ini buatmu”
Dengan
gemetaran, kuraih secarik kertas itu. Perlahan kubaca tulisan kakek.
“Rida,
engkau sudah memahami tentang sedikit rahasia itu, bukan? Bila engkau ingin
mengungkap jawaban atas pertanyaanmu. Carilah keadilan, makna dan rahasia itu. Kakekmu
sudah menepati janjinya, sekarang engkau akan merasakan derita pencarian. Bersabarlah......!!!”
*) Muh. Syahudin_Pegiat Literasi