Ali Syari’ati
salah satu cendikiawan Muslim pernah berkata; ada empat figur penyebab
berdirinya sistem kezaliman sepanjang zaman, empat figur tersebut masing-masing
di wakili oleh Fir’aun sebagai tonggak
simbolisasi kekuasaan absolut, Hamann sebagai sosok intelektual bourjuis, Qarun
sebagai visualisasi kapitalisme, dan Bal’am Bin Baura mewakili kelompok
agamawan yang menjual ayat-ayat agama demi kepentingan pragmatis. Sepanjang
sejarah figur-figur tersebut senantiasa berlawanan dengan keadilan, mereka
tampil dengan wajah dan pola yang baru, tetapi dengan motif yang sama yaitu
kekuasaan, kekayaan dan kepentingan sesaat. Kalaupun terdengar idiom-idiom
keberpihakan terhadap rakyat, tidak lain hanya sekedar slogan yang digunakan
untuk memeroleh apa yang ingin mereka capai.
Dalam hingar
bingar demokrasi di Indonesia dewasa ini, memang setiap orang tidak terlepas
dari kepentingannya, hanya saja bagaimana kepentingan tersebut diwujudkan,
tentulah sangat ditentukan oleh motif yang melandasinya. Sejak arus reformasi
menggeliat di negeri ini, Bangsa Indonesia terus belajar mengartikan sistem
demokrasi dalam sistem pemilihan langsung dengan berbagai macam perangkat undang-undangnya, tapi kenyataannya efek dari
pemilihan langsung itu belum cukup berarti bagi peningkatan taraf hidup
masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dianggap penting dibicarakan ketika
pemilihan akan atau sementara berlangsung, sehingga setiap perangkat dan slogan
untuk menarik dukungan masyarakat bertebaran dimana-mana, parahnya lagi
masyarakat sendiri tidak terlalu mempersoalkan apa sebenarnya yang ada dalam
benak para kandidat, Hakikatnya kebutuhan masyarakat adalah bagaimana taraf
kehidupan mereka bisa meningkat. Sederhananya apakah dengan berkuasa menjadi
syarat berbuat untuk masyarakat, jawabannya tentu tidak. Tetapi mengapa
kekuasaan begitu berarti bagi segelintir orang hari ini.
Kalau melihat
fenomena yang terjadi dalam proses pilkada, sudah sepatutnyalah masyarakat
mengingat dan mewaspadai empat figur yang digambarkan oleh Ali Syari’ati. Figur
Fir’aun akan lahir bila setiap orang yang terlibat dalam proses pilkada
hanyalah orang-orang yang haus akan kekuasaan, baginya kekuasaan hanyalah
kesenangan belaka. Ia menganggap tidak begitu penting apakah masyarakat
mendukungnya dengan sepenuh hati atau tidak, yang penting ia dapat terpilih
menjadi penguasa, maka cara apapun harus di tempuh. Padahal sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa dalam pilkada ada aturan-aturan yang mengikat, akan
tetapi kenyataannya setiap aturan senantiasa memiliki celah yang bisa
dimanfaatkan. Aspek moralitas seorang pemimpin tidak begitu penting, ia lebih
mengutamakan kemenangan daripada tegaknya keadilan, tengoklah dalam berita
media elektronik maupun media cetak di beberapa daerah yang menyelenggarakan
pilkada, ajang pilkada bukan lagi menjadi momentum bagi masyarakat untuk
memilih pemimpinnya secara damai, tetapi pilkada telah berubah menjadi tragedi
konflik sosial. Bukankah lebih baik menjadikan pilkada sebagai sebuah jalan
bagi setiap kandidat untuk melayani kemanusiaan. Kalah dan menang mestinya
menjadi ujian, dalam artian jika menang kandidat terpilih memikul tanggungjawab
yang begitu besar kepada masyarakat, lakukanlah segala bentuk kerja nyata serta
pengabdian terhadap rakyat dan kalaupun kalah, tidak kemudian tugas kemanusiaan
itu menguap setelah hingar bingar pilkada berakhir.
Dalam Islam
suara yang buruk disandarkan kepada suara keledai, mengapa suara keledai dianggap
suara yang buruk sebab keledai akan bersuara ketika lapar. Perwajahan ini
sangat terasa pada figur Hamann, yang biasanya “berteriak”/mengkritik apa saja
dan siapa saja demi memenuhi kebutuhan perutnya. Hari ini figur Hamann tampil dalam
wajah “aktifis” dengan berbagai macam bentuk dan variannya, ia akan tampil
berbicara bila yang dibicarakan itu menguntungkannya, tapi ia diam bila
keinginannya telah terpenuhi walaupun sadar telah terjadi ketimpangan dan
ketidakadilan, ia akan melakukan perlawanan kalau “makanannya” di ganggu tapi
akan bungkam bila hak-hak orang lain diambil, ia tidak berbuat apa-apa
menyaksikan penguasa berbuat zalim, lalu ia menjadi orang yang tidak berarti
apa-apa ketika sudah menduduki jabatan tertentu. Dari cerita Hamann, sudah
sepantasnya kita menaruh rasa curiga kepada setiap orang yang bersuara lantang
dalam pilkada, karena sulit untuk mengetahui mengapa ia bersuara, apakah yang
keluar itu suara hati nurani ataukah suara keledai.
Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan
pembicaraannya begitulah nasehat Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya. Tetapi
nasehat itu sudah terbalik, banyak diantara kita yang tidak bisa menahan
pembicaraan walaupun hal itu sama sekali tidak bermanfaat baik bagi diri kita
maupun bagi orang lain. Malah sebaliknya kelebihan harta yang dimiliki ditimbun
dan ditumpuk setiap hari untuk memenuhi segala sesuatu demi kepuasan semata.
Kalaupun ada yang memberi atau yang membagi-bagikan hartanya bukanlah sesuatu
yang tanpa pamrih, harta yang dikeluarkan adalah modal yang harus kembali
dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Begitulah sosok Qarun menampilkan
wajahnya dalam masyarakat. Momen pilkada adalah momen yang begitu penting bagi
Qarun-Qarun modern untuk meraup keuntungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di
belakang para kandidat terdapat dukungan partai politik parlement maupun non
parlement dan juga terdengar bahwa dalam dukungan tersebut ada istilah yang
digunakan yaitu “kontrak politik”. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu kontrak
apa yang dimaksud. Apakah kontrak tersebut untuk meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat ataukah kontrak tersebut untuk meningkatkan taraf ekonomi para
politisi dan pengusaha. Pastinya telah bermunculan Qarun-Qarun modern.
Fenomena
pilkada mungkin membuat sebagian masyarakat menjadi bingung untuk memilih siapa
yang akan menjadi pemimpinnya, karena siapapun yang terpilih tetaplah hanya
menguntungkan kelompok tertentu. Tetapi jangan khawatir, pada saat seperti
inilah tampil sosok Bal’am bin Baura yang memiliki alat justifikasi untuk
menghilangkan kebingungan masyarakat. Bal’am bin Baura sebagaimana yang
digambarkan oleh ali Syari’ati adalah sosok agamawan yang “mengkampanyekan”
ayat-ayat Tuhan untuk dijadikan slogan-slogan mendukung pasangan tertentu.
Dengarlah hari ini, di beberapa tempat kita mendengarkan ayat-ayat Tuhan
ditafsirkan dengan gampangan tanpa jelas sumber rujukan tafsirnya, dan fatalnya
bila ayat-ayat Tuhan tersebut di sandarkan kepada kandidat tertentu yang
bertarung dalam pilkada. Semoga saja hal ini tidak terjadi.
Mungkin ada
benarnya apa yang di katakan oleh Naga Bonar (dalam film Nagabonar jadi dua) :
“Salahku Hidup di zamanmu, zaman yang
tidak pernah bisa kumengerti”. Sebagaimana Naga Bonar mungkin sebagian
diantara kita akan berkata : “salahku
karena hidup di era Pilkada, era yang sulit untuk dimengerti”. Akhirnya,
tulisan inipun tidak bermaksud sebagai bentuk keberpihakan kepada suatu
kelompok atau kandidat tertentu, melainkan keberpihakan kepada tegaknya
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu
‘alam bis shawab. (*)
(*) Muh. Syahudin_Pegiat Literasi
tulisan yang sama pernah dimuat di kolom opini Palopo Pos, dan di Sureq.com