Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts

EMPAT FIGUR KEZALIMAN DALAM SETIAP MOMENTUM PILKADA


Ali Syari’ati salah satu cendikiawan Muslim pernah berkata; ada empat figur penyebab berdirinya sistem kezaliman sepanjang zaman, empat figur tersebut masing-masing di wakili oleh Fir’aun sebagai  tonggak simbolisasi kekuasaan absolut, Hamann sebagai sosok intelektual bourjuis, Qarun sebagai visualisasi kapitalisme, dan Bal’am Bin Baura mewakili kelompok agamawan yang menjual ayat-ayat agama demi kepentingan pragmatis. Sepanjang sejarah figur-figur tersebut senantiasa berlawanan dengan keadilan, mereka tampil dengan wajah dan pola yang baru, tetapi dengan motif yang sama yaitu kekuasaan, kekayaan dan kepentingan sesaat. Kalaupun terdengar idiom-idiom keberpihakan terhadap rakyat, tidak lain hanya sekedar slogan yang digunakan untuk memeroleh apa yang ingin mereka capai.

Dalam hingar bingar demokrasi di Indonesia dewasa ini, memang setiap orang tidak terlepas dari kepentingannya, hanya saja bagaimana kepentingan tersebut diwujudkan, tentulah sangat ditentukan oleh motif yang melandasinya. Sejak arus reformasi menggeliat di negeri ini, Bangsa Indonesia terus belajar mengartikan sistem demokrasi dalam sistem pemilihan langsung dengan berbagai macam perangkat  undang-undangnya, tapi kenyataannya efek dari pemilihan langsung itu belum cukup berarti bagi peningkatan taraf hidup masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dianggap penting dibicarakan ketika pemilihan akan atau sementara berlangsung, sehingga setiap perangkat dan slogan untuk menarik dukungan masyarakat bertebaran dimana-mana, parahnya lagi masyarakat sendiri tidak terlalu mempersoalkan apa sebenarnya yang ada dalam benak para kandidat, Hakikatnya kebutuhan masyarakat adalah bagaimana taraf kehidupan mereka bisa meningkat. Sederhananya apakah dengan berkuasa menjadi syarat berbuat untuk masyarakat, jawabannya tentu tidak. Tetapi mengapa kekuasaan begitu berarti bagi segelintir orang hari ini.

Kalau melihat fenomena yang terjadi dalam proses pilkada, sudah sepatutnyalah masyarakat mengingat dan mewaspadai empat figur yang digambarkan oleh Ali Syari’ati. Figur Fir’aun akan lahir bila setiap orang yang terlibat dalam proses pilkada hanyalah orang-orang yang haus akan kekuasaan, baginya kekuasaan hanyalah kesenangan belaka. Ia menganggap tidak begitu penting apakah masyarakat mendukungnya dengan sepenuh hati atau tidak, yang penting ia dapat terpilih menjadi penguasa, maka cara apapun harus di tempuh. Padahal sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam pilkada ada aturan-aturan yang mengikat, akan tetapi kenyataannya setiap aturan senantiasa memiliki celah yang bisa dimanfaatkan. Aspek moralitas seorang pemimpin tidak begitu penting, ia lebih mengutamakan kemenangan daripada tegaknya keadilan, tengoklah dalam berita media elektronik maupun media cetak di beberapa daerah yang menyelenggarakan pilkada, ajang pilkada bukan lagi menjadi momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara damai, tetapi pilkada telah berubah menjadi tragedi konflik sosial. Bukankah lebih baik menjadikan pilkada sebagai sebuah jalan bagi setiap kandidat untuk melayani kemanusiaan. Kalah dan menang mestinya menjadi ujian, dalam artian jika menang kandidat terpilih memikul tanggungjawab yang begitu besar kepada masyarakat, lakukanlah segala bentuk kerja nyata serta pengabdian terhadap rakyat dan kalaupun kalah, tidak kemudian tugas kemanusiaan itu menguap setelah hingar bingar pilkada berakhir.

Dalam Islam suara yang buruk disandarkan kepada suara keledai, mengapa suara keledai dianggap suara yang buruk sebab keledai akan bersuara ketika lapar. Perwajahan ini sangat terasa pada figur Hamann, yang biasanya “berteriak”/mengkritik apa saja dan siapa saja demi memenuhi kebutuhan perutnya. Hari ini figur Hamann tampil dalam wajah “aktifis” dengan berbagai macam bentuk dan variannya, ia akan tampil berbicara bila yang dibicarakan itu menguntungkannya, tapi ia diam bila keinginannya telah terpenuhi walaupun sadar telah terjadi ketimpangan dan ketidakadilan, ia akan melakukan perlawanan kalau “makanannya” di ganggu tapi akan bungkam bila hak-hak orang lain diambil, ia tidak berbuat apa-apa menyaksikan penguasa berbuat zalim, lalu ia menjadi orang yang tidak berarti apa-apa ketika sudah menduduki jabatan tertentu. Dari cerita Hamann, sudah sepantasnya kita menaruh rasa curiga kepada setiap orang yang bersuara lantang dalam pilkada, karena sulit untuk mengetahui mengapa ia bersuara, apakah yang keluar itu suara hati nurani ataukah suara keledai.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan pembicaraannya begitulah nasehat Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya. Tetapi nasehat itu sudah terbalik, banyak diantara kita yang tidak bisa menahan pembicaraan walaupun hal itu sama sekali tidak bermanfaat baik bagi diri kita maupun bagi orang lain. Malah sebaliknya kelebihan harta yang dimiliki ditimbun dan ditumpuk setiap hari untuk memenuhi segala sesuatu demi kepuasan semata. Kalaupun ada yang memberi atau yang membagi-bagikan hartanya bukanlah sesuatu yang tanpa pamrih, harta yang dikeluarkan adalah modal yang harus kembali dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Begitulah sosok Qarun menampilkan wajahnya dalam masyarakat. Momen pilkada adalah momen yang begitu penting bagi Qarun-Qarun modern untuk meraup keuntungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di belakang para kandidat terdapat dukungan partai politik parlement maupun non parlement dan juga terdengar bahwa dalam dukungan tersebut ada istilah yang digunakan yaitu “kontrak politik”. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu kontrak apa yang dimaksud. Apakah kontrak tersebut untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat ataukah kontrak tersebut untuk meningkatkan taraf ekonomi para politisi dan pengusaha. Pastinya telah bermunculan Qarun-Qarun modern.

Fenomena pilkada mungkin membuat sebagian masyarakat menjadi bingung untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya, karena siapapun yang terpilih tetaplah hanya menguntungkan kelompok tertentu. Tetapi jangan khawatir, pada saat seperti inilah tampil sosok Bal’am bin Baura yang memiliki alat justifikasi untuk menghilangkan kebingungan masyarakat. Bal’am bin Baura sebagaimana yang digambarkan oleh ali Syari’ati adalah sosok agamawan yang “mengkampanyekan” ayat-ayat Tuhan untuk dijadikan slogan-slogan mendukung pasangan tertentu. Dengarlah hari ini, di beberapa tempat kita mendengarkan ayat-ayat Tuhan ditafsirkan dengan gampangan tanpa jelas sumber rujukan tafsirnya, dan fatalnya bila ayat-ayat Tuhan tersebut di sandarkan kepada kandidat tertentu yang bertarung dalam pilkada. Semoga saja hal ini tidak terjadi.


Mungkin ada benarnya apa yang di katakan oleh Naga Bonar (dalam film Nagabonar jadi dua) : “Salahku Hidup di zamanmu, zaman yang tidak pernah bisa kumengerti”. Sebagaimana Naga Bonar mungkin sebagian diantara kita akan berkata : “salahku karena hidup di era Pilkada, era yang sulit untuk dimengerti”. Akhirnya, tulisan inipun tidak bermaksud sebagai bentuk keberpihakan kepada suatu kelompok atau kandidat tertentu, melainkan keberpihakan kepada tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu ‘alam bis shawab. (*)

(*) Muh. Syahudin_Pegiat Literasi

tulisan yang sama pernah dimuat di kolom opini Palopo Pos, dan di Sureq.com

MEMBELA BUYA SYAFI’I MA’RIF



Sosok yang akan dibicangkan ini, adalah salah satu dari tokoh bangsa yang saya idolakan. Ia tampil apa adanya, dan berani berbicara dari sudut pandang yang kritis dan radikal. Pernyataannya kadang mengandung kontroversi, dan blak-blakan. Keberaniannya yang berbeda dari pandangan mainstrem, bukanlah pandangan yang asal-asalan. Beliau telah ditempa dengan kehidupan dan memahami betul kondisi zamannya. Karakteristik plural dan egaliter yang menjiwainya, membuat banyak orang menaruh simpati. Walaupun disatu sisi terkadang ada pula yang tidak menyukainya.

Buya Ahmad Syafi’i Ma’rif, itulah namanya.  Lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat 31 Mei 1935. Seorang ulama, pendidik dan ilmuwan Indonesia.  Ia pernah menjabat ketua umum Muhammadiyah periode 2000-2005, Presiden World Conference on Religion for Peace (WRCP), dan pendiri Ma’rif Institute. Beliau memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, sikap plural, dan kritis. Ia tak segan-segan mengritik sebuah kekeliruan, meskipun yang di kritik temannya sendiri. (sumber: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmad-Syafi’i-Ma’rif)

Riwayat pendidikannya terbilang terjal. Masuk Sekolah Rakyat (SR), pada tahun 1942. Beliau tak memperoleh Ijazah, setelah hanya bisa menempuh pendidikan selama lima tahun. Dikarenakan beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, beliau tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Baru di tahun 1950, ia masuk sekolah Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai kelas tiga. Pada tahun 1953, di usia menginjak 18 tahun. Buya syafi’i yang akrab dipanggil Pi’i, meninggalkan kampung halamannya menuju Yogyakarta. Niat awalnya ingin melanjutkan sekolahnya di Madrasah Muallimin di kota itu, namun di tolak dengan alasan kelas sudah penuh. Mengisi kekosongan itu, ia menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, sembari mengikuti sekolah montir.

Setahun setelah itu, iapun diterima kembali bersekolah di Madrasah Muallimin, dan menyelesaikannya di tahun 1956. Ia lagi-lagi tak dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, penyebabnya masih sama yaitu biaya. Apalagi setelah ayahnya meninggal di tahun 1955.  Ia baru melanjutkan studinya di Surakarta, setelah sempat menjadi guru di Lombok Timur dan menyelesaikan gelar Sarjana Muda di Universitas Cokroaminoto di tahun 1964. Lalu, dilanjutkan dengan pendidikan tingkat doktoral, pada Fakultas Ilmu Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang UNY) Yogyakarta yang ditamatkan pada tahun 1968. Selama kuliah itu, ia pernah menjadi guru ngaji, buruh dan pelayan toko kain. Disamping itu ia juga aktif di redaktur Suara Muhammadiyah dan PWI.

Selama menjadi Mahasiswa, Buya juga pernah  aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keseriusannya menekuti bidang ilmu sejarah, mengantarkannya mengikuti Program Master di departemen sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya di peroleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS. Disertasinya adalah Islam as the Basic of State: A Study of Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Selama di Chicago inilah, Buya secara intensif mengkaji Al-Qur’an di bawah bimbingan Fazlur Rahman, salah satu tokoh pembaharuan Islam.

Saya harus menjelaskan sedikit tentang kehidupannya, untuk mengingatkan publik bahwa beliau memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Dengan segudang pengalamannya, tidaklah pantas bila ada yang menghujatnya dengan kata-kata kotor dan tak ber-etika. Boleh saja kita memiliki pandangan yang berbeda dengan beliau, tapi tidak serta merta kita lupa untuk bercermin. Kontroversi memang sudah menjadi santapan hari-harinya. Publik tentu masih ingat, beberapa persoalan bangsa yang membuatnya sering dihujat. Bukan karena tendensi pribadi ia mengambil sikap berbeda, tetapi lebih karena kepeduliannya atas sesama dan NKRI. Sebuah manifestasi akan identitas ke-Islaman yang Rahmatan lil A’lamin.

Melawan arus, begitulah ciri khas Buya. Ia tidak pernah ragu berbicara “pedas”, bila dianggapnya terjadi penyimpangan ataupun kesalahan. Tak ada kata gentar,  meskipun berhadapan dengan arus besar sekalipun. Hal ini pulalah yang mengakibatkan  banyak orang seperti cacing kepanasan. Akhirnya membuat fitnah-fitnah murahan agar terjadi pemutarbalikan opini.


Terbaru dan hangat, Buya di bully habis-habisan hanya karena beliau berbeda pandangan tentang Ahok. Baginya, Ahok tidaklah menistakan agama dari pernyataannya di Belitung. Pernyataannya, yang melawan arus inilah ditenggarai sebagai penyabab di degradasinya seorang Buya sebagai seorang Ulama. Bahkan, ada yang sampai pada tingkat menyesatkannnya. Tapi apapun itu, bagi saya Buya tetaplah seorang petarung sejati. (*)

(*) Muh. Syahudin_ Pegiat Literasi

Analisis Framing dan Pentingnya Literasi Media

Pendidikan tinggi dan gelar yang berderet, bukanlah jaminan seseorang tidak terjebak pada kesalahan mencerna informasi. Dibeberapa akun facebook dan blog, saya sering mengamati kejadian ini. Betapa gampangnya sebuah pemberitaan di-share dan di-amini, hanya karena kontennya sesuai dengan suasana hati kita. Namun, bila ada berita yang kontra terhadap suasana hati, maka berlomba-lombalah kita bagai kawanan domba untuk menghujatnya. Mungkin karena alasan inilah, saya selalu selektif untuk men-share sebuah pemberitaan di media.

Makna adalah sebuah rumah bagi kata-kata, dibingkai untuk keperluan manusia memahami sebuah kalimat. Bila Makna, sudah dipaksakan berdasarkan kehendak kita, maka kata-kata tidak ada lagi yang ber-makna. Karena ia akan dibelenggu oleh hasrat kita. Biarpun makna itu sesuatu yang dapat dicerna akal. Namun terkadang karena kita mencernanya dengan perasaan, yang terjadi adalah makna menjadi simulakrum. Kesadaran akan realitas, kita hidupkan di dunia maya. Sedangkan, di-realitas kita hanya menjadi budak informasi tanpa kritik. Mungkin inilah yang disebut absurditas diri. Yaitu diri yang palsu.

Ada baiknya, sebelum menelan mentah-mentah konten media, pelajarilah bagaimana sebuah media bekerja. Di dalamnya kita akan menjumpai, apa yang disebut framing. Kalau anda yang belajarnya hanya sama Google, cari saja informasi tentang framing itu. Secara umum analisis framing adalah salah satu cara bagi kita untuk menganalisis media, sebagaimana kita menganalisis isi maupun unsur semiotik yang terlibat di dalamnya. Karena itu, framing juga disebut “bingkai” dari sebuah peristiwa. Proses pem-bingkai-an itu berdasarkan persfektif wartawan atau media massa, dalam mengelola isu dan berita.

Kalau kita mau untuk sedikit cerdas, gunakanlah kritik. Hatta, terhadap informasi yang sesuai dengan kondisi emosionalitas kita. Menelannya begitu saja, ibarat memasukkan makanan ke dalam tubuh tanpa seleksi. Akibatnya kita terserang penyakit. Namun, bedanya jiwa kita yang sakit. Parahnya lagi, kalau kita malah merasa bahwa kita sehat-sehat saja. Analisis framing, dipengaruhi oleh aspek sosiologi ala Peter L Berger juga aspek psikologi terkait faktor skema dan kognisi. Pem-bingkai-an dengan model sosiologi sebutlah paradigma konstruksi, bahasa halus dari propaganda. Berita yang merupakan informasi sebuah kejadian atau peristiwa dibuat dengan cara dikonstruksi dengan makna tertentu, agar lebih menyentuh khalayak ramai, atau menjadi viral. Dari sudut ini, kita dapat menerka bahwa informasi media cenderung hanya memenuhi ekspektasi publik. Bila tidak, media tersebut akan dengan mudah di-cap memihak atau antek aseng. Karena itu, masih menurut Berger, “realitas bukanlah sesuatu yang mandiri dan statis”. Tetapi ia dibentuk dan di-konstruksi.

Teori konstruksi bekerja dibalik bahasa sebagai instrumennya, proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan obyektifikasi terhadap suatu kenyataan, yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui persepsi itu diinternalisasi ke dalam diri konstruktor. Tahapan selanjutnya, dilakukanlah konseptualisasi terhadap obyek yang dipersepsi. Terakhir, proses eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi, melalui pernyataan-pernyataan. Nah, disinilah alat yang bekerja adalah bahasa. Sederhananya, antara fakta dan opini dalam media tidak dapat dipisahkan. Karena itu, dalam proses ulasan berita melibatkan unsur subyektifitas seseorang, melalui opini yang dibentuk dan dikonstruksi, berdasarkan kepentingan tertentu.

Akar historis analisis framing bermuara dari pendekatan analisis wacana.  Dipopulerkan oleh Beterson pada tahun 1955, untuk pertama kalinya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana dalam mengapreasi realitas. Dalam perkembangannya, framing dimaknai sebagai gambaran proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Ada dua esensi yang dapat dicerna dari analisis framing, yaitu; pertama, bagaimana sebuah peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta ditulis. Perihal ini terkait dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar yang mendukung gagasan.

Kegandrungan penggiat media sosial dewasa ini, cenderung instan dalam menyerap informasi. Tanpa alat ukur yang memadai, merasa nyaman terjajah dari pola arus informasi yang massif dan tendensius. Kalau tidak mempelajari pola, maka kita tidak akan mengetahui bentuk, isi dan motif informasi. Bijak sejak di dalam pikiran, adalah bagaimana akal kita mampu memfilter validitas setiap arus informasi secara adil. Fenomena media abal-abal dan hoax, begitu cepat diserap dan disikapi dengan kata-kata yang cenderung provokatif. Sudah selayaknya mencerna itu dibutuhkan kesadaran kritis, jangan lagi mau di provokasi hanya karena di situ identitas kita merasa tercedera, bisa jadi motif dibaliknya adalah imposible hands yang mengontrol serta membingkai kita untuk terus berada dalam pusaran pertikaian.

Membangun kesadaran kritis, salah satunya dengan menggiatkan pentingnya literasi media. Tentunya, selalu berbagi dengan informasi positif dan mencerdaskan. Berikut diantaranya :

1.    Telusuri-lah terlebih dahulu, konten berita tentang apa. Kalau genre-nya politik, analisis-lah dengan pendekatan politik. Bagaimana pola dan bentuk politik bekerja, modus-modus politik, motif serta tendensinya. Cari-lah informasi penyeimbang atau kontra. Cari puzzle dan klik-nya. Buatlah pertanyaan dan kerangka konklusi sementara. Bangunlah kritik, dengan analisis framing.
2.    Gunakanlah kaidah Logika. Bila terjadi polemik dalam sebuah pemberitaan, kaji-lah premis-premis yang digunakan. Teliti konsistensi diksi, dengan berbagai sumber yang ada. Pantau keseragaman media, juga perbedaannya dalam memuat berita. Lihat-lah sudut pandang dari penulis sebagai konstruktor. Karena pembaca memiliki dunia tanda-nya sendiri.  
3.     Hindari baskom (bicara asal komentar). Tentu kita masih ingat, seorang anak muda yang asal komentar terhadap tweet Gus Mus. Karena kicauannya yang asal, ia terancam dipecat dari pekerjaan. Sampai-sampai, ibunya harus ikut menyertainya minta maaf ke Gus Mus. Masih beruntung, Gus Mus memiliki jiwa besar dan pemaaf. Di jejaring sosial, ini sering saya saksikan. Merasa membela kebenaran, tapi menggunakan diksi yang kotor. Sampai mengumpat dan melibatkan semua binatang. Ada yang bertanya “anda sehat?” tapi, pernyataannya juga tidak sehat.
4.     Perbanyaklah membaca buku, agar kita kaya dengan persfektif. Hal ini penting, karena miskin persfektif membuat ruang berfikir sempit. Sehingga, mudah saja kita melakukan penilaian, tanpa berusaha untuk menguji shahih atau tidaknya sebuah berita.
5.        Don’t just a book by the cover (jangan menilai buku dari tampilannya). Sering kita terjebak pada simbolitas dan label. Menilai dari pandangan pertama, tanpa mau mengkaji isi. Kita baru menyesal setelah kebenaran terungkap. Oleh karena itu, bila tidak sependapat dengan orang lain. Pelajarilah sumber pengetahuannya, dan berdiskusi-lah untuk menguji argumentasi masing-masing. Bisa jadi argumentasinya memiliki landasan serta didukung data yang lengkap.
6.    Jangan mudah mempercayai gambar atau foto yang di-share secara massif. Seringkali sebuah pemberitaan untuk menggalang dukungan, atau membentuk pola common enemy dengan media gambar. Padahal, google image menyediakan fasilitasnya untuk kita menelusuri keaslian gambar. Cobalah anda lakukan, maka google image akan menyebutkan asal gambar/foto yang sebenarnya. Kalau akal kita masih bekerja, tentu kita akan bertanya “mengapa ini bisa terjadi?”
7.   Ketahuilah, tidak ada media yang netral. Media yang tidak memenuhi ekspektasi publik, cenderung di hujat tidak netral dan memihak. Sadarkah kita, media membutuhkan rating, oplah, dan ingin menjadi mainstream. Karena itu jangan mengharapkan media untuk bersikap netral, kalau anda sendiri memihak. Seharusnya, dari pembaca-lah sikap netral itu ditemukan.
8.    Olah data dan kemas informasi. Sebuah berita, yang sifatnya kronologis, reportase, dan investigatif harus memiliki data primer. Minimal, ditunjang data sekunder. Kalau tidak memiliki data, hanya sebatas “kicauan” media sosial semata. Sebaiknya abaikan saja. Alih-alih mau mengungkap “fakta”, justru malah jadi pesakitan. Lihatlah Bambang Tri, penulis buku Jokowi Undercover.
9.     Hindari sikap sok tahu, atau merasa paling tahu. Sikap seperti ini, bukan membuat orang lain bersimpati. Justru memperlebar jarak permusuhan. Biasanya dapat dilihat dari status, maupun komentar yang tidak pada tempatnya. Tidak menempatkan diksi pada jalurnya. Seperti, mengendarai mobil di atas air.
10.    Jadikanlah media sosial sebagai alat mengembangkan wawasan.

Kira-kira seperti itulah pendapat saya. (*)

(*) Muhammad Syahudin_ Pegiat Literasi Sureq Institute

GERAKAN MAHASISWA DALAM EUPHORIA REFORMASI


Mahasiswa sebagai identitas yang melekat kepada suatu komunitas ilmiah, dan memiliki basis intelektual. Karena potensi tersebut, maka dilekatkanlah sebuah tanggungjawab moral. Secara de facto kemudian menjadi sebuah indikator, terciptanya sebuah nilai baru dalam kehidupan masyarakat. Sejarah panjang Indonesia telah membuktikan, betapa mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik tersendiri. Dengan pro aktif mampu memberikan nilai tawar bagi perubahan sejarah bangsa.
Situasi politik yang tak begitu bersahabat dengan mahasiswa, juga mempengaruhi etape-etape dan taktik gerakan mahasiswa. Realitas historis menggambarkan kondisi Negara dalam beberapa babakan sejarah

Derita Manusia Modern



Satu apel jatuh teori Gravitasi ditemukan,
Ribuan Kepala jatuh, belum juga menyadarkan
Kemanusiaan kita (Charlie Chaplin)

Manusia modern konon lebih rasional dan cenderung ilmiah. Klaim itu muncul setelah era Positivisme ala Comte, menjadi propagandis  paling utama menciptakan masyarakat kapitalis. Sebuah fenomena dimana sains disembah sedemikian rupa. Kekayaan alam dikeruk untuk memenuhi ambisi manusia. Bahkan penjajahan pun dilakukan untuk memelihara dominasi atas Negara-negara yang lemah dan terbelakang. Bahkan, yang tidak sepakat dengan modernisasi, didapuk menjadi tradisionalis yang kolot dan ketinggalan zaman.

Nalar manusia yang dibuai arus modernisasi, menjadi tercemar dengan diktum-diktum skeptis. Polarisasi masyarakat dan struktur sosial, memengaruhi manusia sampai pada tingkat yang fundamental, yaitu pola komunikasi dan hubungan sosial. Menurut Sayyed Hossein Nasr; “Manusia modern telah tercebur ke dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata, namun tidak mampu menjawab problem kemanusiaan yang dihadapinya”. Kegersangan spiritual menjadi santapan jiwa, linglung dan bingung akhirnya mencari pemenuhan hasrat jiwa dengan jalan instan.

Revolusi industri di Inggris pada abad ke 17 M, menjadi penanda arus modernisasi. Kemajuan tersebut bahkan mendorong negara-negara adidaya untuk berperang. Ribuan bahkan jutaan manusia mati, namun belum juga menyadarkan kemanusiaan kita. Bukannya apriori dengan modern, nyatanya diktum tersebut telah menyekat masyarakat dalam kotak yang bernama “kepentingan”.  Michel Foucault, tanpa ragu mengatakan bahwa; tidak ada manusia yang lepas dari kepentingan. Karenanya, manusia modern dalam struktur sosial adalah makhluk berkepentingan.

Untuk menata struktur modern yang dibingkai kepentingan tersebut diciptakanlah sistem demokrasi, hukum, ekonomi, dan seabrek embel-embelnya. Budaya dan agama, nyatanya juga tak jarang menjadi alat untuk merefresentasikan kepentingan sekelompok orang atau golongan. Sementara kesenjangan semakin meruncing, keadilan menjadi tawanan oknum yang kebetulan berkuasa. Sekularisasi, individualistis bahkan sikap hedon melanda anak-anak muda, menempatkan kebebasan  dalam ruang sempit. Bebas dan terbuka, namun kehilangan jiwa dan spiritualitas.

Sejenak marilah menengok kebelakang, lalu merenung. Apa yang menyebabkan perang dunia ke I dan II. Mengapa Negara-negara Eropa menjajah. Mengapa Negara Timur Tengah saban hari terlibat konflik dan peperangan antar sesamanya. Atau di Negeri Kita, mengapa Muncul Pemeberontakan DI/TII. Mengapa ada kudeta berdarah G 30 S PKI. Mengapa terjadi pemberontakan di Aceh, RMS dan OPM. Apa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Poso, Ambon dan kalimantan. Mengapa muncul terorisme, yang belum mampu diberantas sampai ke akarnya. Mengapa prilaku korup di Negara kita dianggap lumrah oleh sebagian orang. Mengapa politik dijadikan bahan dagangan. Mengapa agama kadang menjadi topeng untuk memanipulasi orang, seperti fenomena Kanjeng Dimas dan AA Gatot.

Mungkin sulit untuk menyatukan puzzle itu menjadi utuh. Atau menemukan alasan yang faktual dari semua peristiwa sejarah itu. Akan tetapi, kita dapat berasumsi bahwa tatkala kepentingan sekelompok orang ingin dipaksakan terhadap kepentingan yang lain, pastilah terjadi benturan. Benturan tersebut, dapat mengarah kepada sengketa, perpecahan, pertikaian bahkan mungkin peperangan. Kita memang tidak bisa memaksakan keinginan kita, apalagi kepentingan kita terhadap orang lain. Tapi bagi yang merasa berwenang, atau mengklaim memiliki otoritas atas kepentingan itu, maka memaksakan adalah jalan yang harus ditempuh. Bisa dibayangkan, bila setiap orang yang memiliki kepentingan ini, saling memaksakan satu sama lain. Dapat dipastikan, konflik pasti terjadi.

Masalah Psikologis Manusia Modern

Salah satu problem psikologis manusia modern, adalah berubahnya pola hubungan personal; akrab dan bersahaja kepada hubungan Impersonal, dimana hubungan dibangun atas dasar kepentingan ekonomi dan kekuasaan belaka. Menurut Victor Frankl, tokoh Psikologi Eksistensial; Manusia modern mengalami frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang semakin luas. Frustasi dalam pemenuhan keinginan terhadap makna hidup, dan hampa karena merasa kehidupan tak memiliki makna.  Sesuatu yang disebutnya dengan Neuorosis kolektif. Adapun gejalanya, dapat diketahui sebagai berikut; pertama, sikap pesimis terhadap hidup. Kedua, Fatalistik atau bertingkah laku bukan dari dirinya sendiri. Ketiga, konformis atau bertingkah laku seakan-akan mereka adalah fungsi atau alat belaka dari massa. Keempat, fanatisme atau mengingkari kepribadian orang lain, mereka hanya mau mendengar opini-opini mereka sendiri, yang hakikatnya bukan opini mereka sendiri, melainkan opini penguasa, opini partai atau opini publik.

Senada dengan itu, Erich Fromm mengatakan; orang-orang yang tidak mampu mencintai dan gagal untuk membentuk kesatuan dengan orang lain sesungguhnya mengalami gangguan kepribadian secara psikologis. Ia kemudian, menjelaskannya dalam tiga bentuk. Pertama, Necrophilic kepribadian, yaitu sebuah kepribadian yang benci kemanusiaan, mereka rasis, pengganggu dan menyukai pertumpahan darah, mereka senang menghancurkan hidup lewat teror dan penyiksaan. Kedua, Narsisme berat, yaitu menghargai diri sendiri dan memaksakan orang lain untuk menghargainya. Bila orang tak menghargainya, muncullah depresi. Ketiga, Incest Simbiosis, yaitu semacam bentuk kecemasan, hidup tanpa kasih sayang sebagaimana mereka dapatkan dari ibu. Gangguan-gangguan tersebut, tanpa disadari menjadikan manusia teralienasi (terasing) dari dirinya sendiri. Kekosongan, kesepian dan kecemasan memantik perilaku menyimpang.

Apa sebenarnya watak manusia modern? Toynbee, dengan menggunakan persfektif sejarah mengatakan: “There is persistent vein of violence and cruelty in human nature.” Tidak henti-hentinya ada kekerasan dan kekejaman dalam tabiat manusia. Pada satu sisi, ada yang mengatakan manusia hanyalah Homo Mechanicus yang secara otomatis digerakkan dengan hukum-hukum fisika (Hobbes, juga Hume), oleh dorongan-dorongan alamiah seperti membela kepentingan diri sendiri (utilitarian), hasrat biologis (Freud), oleh warisan genetis (Jensen, Eysenck, Herrnstein), atau faktor-faktor lingkungan simulasi (Behaviorisme), lingkungan sosio-kultural (Neo-Freudian), alat-alat produksi (Marxisme), dan tekhnologi (Veblen, Ogburn, Toffler).

Pandangan-pandangan yang diulas ini, bisa saja tidak mewakili identitas manusia modern. Namun, dengan sedikit akal sehat, mungkin kita mau mengakui bahwa kemungkinan penyakit manusia modern, memang terkait gangguan kepribadian. Bisa jadi orang yang mengalami gangguan ini, berbicara menggunakan dalil kebenaran, tapi menyembunyikan karakter yang sesungguhnya.

Agama dan Derita Manusia Modern

Hidup adalah derita, ketakutan dan manusia tidak bahagia. Begitulah kata Dostoevsky. Sinyalemen tersebut seakan menguatkan asumsi, bahwa akutnya jiwa manusia modern. Otonomi manusia diagung-agungkan, mengganti Tuhan dengan idealisasi manusia sampai batas tak terhingga. Meminjam istilah Irish Murdoch, otonomi diri manusia. Parahnya lagi, akibat pemujaan berlebihan terhadap ilmu pengetahuan, Tuhan tak ubahnya hanya hipotesis. Meskipun demikian, fitrah akan kehadiran Tuhan dalam manusia tidak dapat dihilangkan. Sebagaimana Ivan Karamazov berkata : “Manusia membutuhkan sesuatu yang berada di luar dirinya. Tanpa itu, manusia tidak berbudaya. Adalah mustahil bagi manusia otonom dan terisolasi dari hal-hal di luar dirinya.”

Pemahaman manusia sebagai “aku” pada zaman modern, yang terlalu menekankan otonomi dan kebebasan, membuat “aku” dipahami sebagai supersubjek (Ivan, Kardinal, dan Raskolnikov). Kemudian, meng-objek-kan subjek-subjek yang lain. Sampai disini, superioritas atas yang lain membuat manusia modern, berlomba-lomba menciptakan ruang-ruang kuasa atas dirinya sendiri. Sejauh ini, manusia modern menganggap kekuasaan materi merupakan tolak ukur supremasi kesuksesan. Tetapi sebaliknya, justru mereka terjebak dalam lubang kegelapan yang menjadikan hidup hampa tiada arti. Kehampaan ini disebabkan penolakan terhadap hakikat manusia, menyingkirkan kebutuhan spiritual secara gradual (sayyed Hossen Nasr). Dan karena manusia adalah makhluk sosial, tidak akan menemukan kepuasan kecuali bersahabat dengan The Great Socius (Tuhan yang Agung) , begitu kata William James.


Kegelisahan akan makna spiritualitas, mendorong manusia untuk kembali kepada Agama. Menariknya, variabel keagamaan dewasa ini tergiring pula dalam arus kepentingan modernisasi. Terkadang arus itu justru lebih dominan. Namun, sejatinya agama adalah medium untuk mengisi kekosongan jiwa manusia. Agama hadir menjadi kontrol dari perilaku menyimpang, serta menuntun manusia kearah perdamaian, kasih sayang dan keadilan. Bila agama kehilangan spiritualitas, seseorang akan mengalami derita. Terkadang seorang yang mengalami derita kejiwaan tidak menyadarinya, disinilah peran agama untuk mengobatinya. Antara agama dan manusia adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Karena manusia membutuhkan agama, tentu kehadirannya  akan sejalan dengan fitrah manusia. Wallahu’alam bis-shawab.*

*) Muhammad Syahudin
    Pegiat Literasi 

INDONESIA DI TITIK NOL



Akhir-akhir ini, setiap saya membuka media sosial terasa sangat jenuh dan membosankan. Pembahasan yang jadi viral tentu kita semua sudah tahu, apalagi kalau bukan tentang Ahok dan demo 4 November beberapa hari yang lalu. Selama perdebatan sampai aksi tersebut, saya cenderung lebih memilih menjadi pembaca saja. Baik dari “pembela” maupun yang “kontra” dengan pernyataan Ahok sampai aksi 4 november berlangsung. Sebagai orang, yang pernah ikut dan mengelola gerakan aksi, saya sudah menduga aksi ini akan chaos dan berbuntut panjang. Meskipun saya sebenarnya berharap, pasca aksi mungkin perdebatan akan sedikit mereda. Tampaknya, hal itu tidak terjadi. Akhirnya, saya sulit untuk menahan diri untuk tidak memberikan komentar terhadap fenomena yang terjadi.

Sepengetahuan saya, belum pernah ada persoalan bangsa ini melibatkan hampir setiap unsur perangkat negara (TNI-Polri), ahli tafsir Islam, ahli bahasa, praktisi hukum, partai politik, musisi, Ormas dan organisasi mahasiswa, sekelas HMI. Dalam hal ini, saya ingin menegaskan netralitas dalam tulisan ini. Saya tidak ingin, terjebak dalam perdebatan “obat nyamuk”. Apalagi kata-kata sampah, cacian dan makian yang justru mengaburkan tujuan baik.

peradaban dapat tercipta dengan dialog